Setelah tertunda dua tahun selama pandemi Covid-19, pentas musikal monolog Inggit akhirnya terlaksana pada 20-21 Mei 2022. Happy Salma cemerlang memerankan Inggit Garnasih yang menolak dipoligami Sukarno.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·6 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pementasan Teater Musikal Monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Kamis (18/5/2022). Monolog Happy Salma yang memerankan Inggit Garnasih ini terinspirasi dari roman Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH yang mengeksplorasi lapisan-lapisan emosi yang dirasakan oleh Inggit selama 20 tahun menjalani pernikahan dengan Soekarno.
Keteguhan Inggit Garnasih dalam pentas monolog Inggit yang diperankan Happy Salma semakin menguat dan bersinar dalam pementasan ke-14 kalinya. Pertunjukan yang berlangsung di gedung Ciputra Artpreneur Theatre itu dibalut orkestra, paduan suara, koreografi, serta permainan lampu dan tata multimedia yang ciamik. Sikap Inggit yang emoh dimadu oleh laki-laki nomor satu bergema dari jantung kota.
"Tadi pagi itu kami diberangkatkan dengan mobil sedan. Aku duduk di belakang di sebelah kiri, Kusno di sebelah kanan, di tengah-tengah Kartika,” ucap Inggit di babak awal pementasan.
Babakan itu berkisah tentang kepulangan Inggit ke Bandung, kota asalnya, untuk kembali ke handai taulannya setelah Kusno, nama muda Soekarno, presiden pertama RI, menceraikannya setelah 20 tahun menjalani pernikahan.
Pada bagian itu, latar belakang panggung menampilkan foto Kota Bandung tempo dulu. Imaji jalanan yang ditempuh Inggit pada hari kelabu itu bikin sendu. Lampu bernuansa biru menambah kesan haru. Suaranya terdengar bening berkat tata suara dan akustik ruangan yang bagus. Kesedihan dan kehampaan perasaannya menjalari para undangan yang hadir di gedung pertunjukan yang terletak di daerah sibuk Kuningan, Jakarta Selatan, itu pada Kamis (19/5/2022) malam.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pementasan Teater Musikal Monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Kamis (18/5/2022). Happy Salma memerankan Inggit Garnasih.
Di babakan itu, Inggit menceritakan kepulangannya ke Bandung bukanlah ke rumah yang pernah ia tinggali dulu, melainkan ke rumah kerabatnya di Lengkong Besar. Di rumah itulah Soekarno menyerahkan surat cerai yang disaksikan KH Mas Mansyur dan Mustari, kakak Inggit. Inggit tak lagi punya rumah di Bandung karena sudah lama dijual sebagai modal hidup saat Soekarno diasingkan ke Ende, sebuah kota di Pulau Flores, oleh Pemerintah Hindia Belanda. Inggit sudah menikah dengan Soekarno ketika pengasingan terjadi. Inggit selalu ada ke mana pun Soekarno diasingkan: Ende, Bengkulu, dan Padang.
Kepingan cerita semacam ini: proses perceraian Inggit dan Soekarno, rumah pondokan yang sudah dijual untuk menyambung hidup di pengasingan, seperti kepingan yang lepas dari susunan sejarah bangsa. Pentas monolog itu merajut kepingan-kepingan itu dan melengkapi gambaran peristiwa yang menyelimuti masa menjelang kelahiran negara Republik Indonesia.
Monolog Inggit, yang pertama kali dipentaskan pada 2011, masih berpijak pada buku roman Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH. Dalam 13 pertunjukan sebelumnya, yang umumnya berlangsung di aula-aula kampus di Bandung dan Jakarta, penulis Ahda Imran adalah penyusun naskahnya. Kali ini, naskah dipercayakan kepada perempuan penulis Ratna Ayu Budhiarti, yang bukan kebetulan juga berdarah Sunda seperti Inggit.
Kepingan cerita semacam ini: proses perceraian Inggit dan Soekarno, rumah pondokan yang sudah dijual untuk menyambung hidup di pengasingan, seperti kepingan yang lepas dari susunan sejarah bangsa.
Naskah yang ditulis Ratna amat tajam menggambarkan kepiluan, kegundahan, kemarahan, dan keteguhan sikap Inggit. Gambaran perasaan itu tampil begitu wajar, naluriah. Mungkin sebagai sesama perempuan, Ratna memahami perasaan Inggit dan menuangkannya menjadi naskah. Ketajaman itu, misalnya, muncul ketika Inggit gundah gulana saat Soekarno meminta izin menikah lagi dengan alasan ingin punya keturunan dari benihnya sendiri. Ketika itu, pasangan ini memiliki dua anak angkat, Ratna Djuami dan Kartika.
”Kenapa dia menginginkannya sekarang? Kenapa tidak dari dulu semasa di Bandung atau di Ende? Atau jangan-jangan alasan itu bisa muncul apabila dibutuhkan?” Gugatan itu bisa jadi adalah eufimisme bahwa alasan apa pun bisa dibuat-buat belaka. Soekarno mulai berpaling kepada Fatmawati ketika di pengasingan di Bengkulu. Kelak, nama Fatmawati ditulis di buku sejarah sebagai orang yang menjahit bendera merah putih untuk dikibarkan pada proklamasi kemerdekaan RI, dua tahun setelah perceraian Inggit dengan Soekarno.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pementasan Teater Musikal Monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Kamis (18/5/2022).
Permohonan Soekarno untuk menikahi Fatmawati tanpa menceraikan Inggit ditolak mentah-mentah. Dengan lantang, Inggit berujar, ”Kus, Enggit ini orang Banjaran, pantang kalau dimadu…. Kau boleh menikahinya, tapi ceraikan aku terlebih dahulu….”
Ucapan itu dilanjutkan dengan paduan suara yang menyanyikan lirik ”jangan biarkan karam, jangan sampai tenggelam” menggambarkan kegundahan Inggit: dia murka, tapi berusaha mempertahankan pernikahannya.
Naskah yang sedemikian tajam dipresentasikan dengan amat baik oleh Happy Salma. Sepanjang durasi pertunjukan 120 menit, totalitas aktingnya terpancar jelas. Segenap perasaan karakter Inggit ia munculkan lewat dialek dan bahasa tubuh yang tepat. Dia menyimpul senyum ketika berujar, ”Ah, lelaki, sepandai apa pun mereka, ternyata bisa melontarkan pertanyaan bodoh bila rahasianya terbongkar.”
Perhatikan pula gerakan tangannya ketika menggambarkan pengalaman pertama berdekatan fisik dengan Kusno: kenes dan penuh gairah. Ekspresi wajah Happy, bahkan ketika masygul tanpa kalimat, terlihat meyakinkan. Aktris kelahiran Sukabumi, 42 tahun lalu, ini seperti berada dalam puncak aktingnya, nyaris tanpa cela—hanya satu atau dua kali dia silap memenggal kalimat.
Penyusunan kalimat barangkali satu-satunya kekurangan pentas ini meski sebenarnya tergolong minor belaka. Beberapa kalimat terkesan tidak efektif, terlalu panjang untuk diucapkan dalam sebuah pentas monolog. Ini salah satu contohnya, ”Aku membutuhkan diriku untuk menenangkan diri….” Kalimat itu bisa disingkat tanpa kehilangan makna dan rasa.
Ah, lelaki, sepandai apa pun mereka, ternyata bisa melontarkan pertanyaan bodoh bila rahasianya terbongkar.
Selain berakting, menghafalkan naskah dengan kalimat panjang, Happy juga bernyanyi. Ya, namanya juga drama musikal. Ekspresi juga dimunculkan lewat lagu, tak hanya bicara. Adalah sutradara Wawan Sofwan yang mengusulkan menambahkan bentuk musikal dalam pementasan kali ini. Menurut Wawan, musik dan lagu juga wahana ekspresi perasaan.
”Ketika Happy mengatakan ingin memerankan lagi tokoh Inggit Garnasih, saya menawarkan bagaimana jika monolog ini dihadirkan dalam bentuk musikal. Sebab, musikal juga berkaitan dengan tradisi Sunda, dan ungkapan kegelisahan tokoh Inggit akan lebih kuat dalam bentuk nyanyian,” kata Wawan.
Usulan Wawan dieksekusi dengan baik oleh Happy meski satu-dua kali kehilangan not dalam pertunjukan monolog dua jam amat bisa dimaklumi. Lagi pula Happy bukan penyanyi. Aspek lagu dan musik pertunjukan ini ditangani komposer Dian HP, dan diwujudkan oleh pemusik orkestra dari Jakarta Concert Orchestra yang dikonduktori Avip Priyatna. Mereka berkolaborasi dengan paduan suara dari Batavia Madrigal Singer.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pementasan Teater Musikal Monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Kamis (18/5/2022).
Sekumpulan musisi dan kelompok paduan suara ini ditempatkan di bawah panggung sehingga panggung sepenuhnya milik Happy dan sembilan perempuan penari yang sesekali muncul. Meski berlabel monolog, Happy juga ditemani tiga aktris pendukung, yaitu Ati Sriati (berperan sebagai Amsi, ibu Inggit), Jessica Januar (Ratna Djuami), dan Desak Putu Pandara Btari Patavika (Kartika). Ketiganya bernyanyi tanpa berdialog dengan tokoh Inggit.
Lagu, musik, dan monolog berjejalin dengan baik. Sesekali, ketiga unsur itu diperkuat dengan koreografi sembilan penari, yang juga tidak terlalu banyak berlenggak-lenggok itu.
Pertunjukan khusus undangan dan awak media itu berlangsung mulus dan penuh haru. Betapa tidak, pentas ini semestinya dijadwalkan pada April 2020 yang akhirnya berantakan karena pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19. Jadwal kembali dimunculkan pada Agustus 2021, yang lagi-lagi terpaksa ditunda. Meski begitu, penyelenggara Titimangsa Production, Bakti Budaya Djarum Foundation, dan Sleepbuddy bersikukuh menggelar pertunjukan secara luring, entah kapan itu.
”Selama dua tahun pandemi, orang sudah terbiasa menonton pertunjukan daring dan gratis. Setelah pertunjukan tadi, tampil secara langsung di hadapan penonton rupanya tak tergantikan oleh medium apa pun,” kata Happy, salah satu pendiri Titimangsa, seusai pertunjukan.
Pertunjukan untuk publik berlangsung pada Jumat dan Sabtu (21/5/2022). Karcis untuk pertunjukan Sabtu terjual habis sejak beberapa waktu lalu. Antusiasme masyarakat pada pertunjukan langsung sepertinya sedang bagus-bagusnya. Pentas drama musikal monolog Inggit Garnasih bisa jadi penanda kebangkitan industri pertunjukan seni. ”Sejengkal jarak yang mendekatkan” seperti yang diucapkan Inggit sedang berlangsung.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pementasan Teater Musikal Monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Kamis (18/5/2022). Happy Salma memerankan Inggit Garnasih.