Menari dan Belajar Berkehidupan
Menari adalah belajar berkehidupan untuk memperjuangkan kejujuran dan ketulusan yang kini makin mahal harganya.
Menari bukan semata menata gerak atau mendendangkan lagu yang urutannya ditata. Lebih jauh dari itu, menari adalah belajar berkehidupan untuk memperjuangkan kejujuran dan ketulusan yang kini makin mahal harganya.
Maestro penari Jawa klasik, Retno Maruti (75), telah lama memegang teguh kesadaran itu. Hal itu pula yang digunakannya untuk menjelaskan mengapa ia berada di dalam tajuk perbincangan ”Kini Saya Menari dalam Diam”. Perbincangan ini menjadi bagian tayangan virtual di kanal Youtube Bentara Budaya. Bagi Retno, diam juga menjadi puncak gerak tari. Diam sekaligus mempersilakan emosi dan naluri rasa menyembur tak terbendung.
”Sejak kecil di usia 5 tahun, menari bagi saya untuk bergerak indah. Saya suka sekali dengan gerak tari yang lincah,” ujar Retno, Jumat (6/5/2022), di Jakarta.
Retno lahir di Solo, tumbuh dalam lingkungan dengan daya seni yang selaras. Meski belajar menari di sekolah dan sanggar-sanggar tari sejak kecil, asuhan sang ayah ternyata paling membekas.
Ayahnya, Soesiloatmadja, sering mengajak Retno kecil menonton seni pertunjukan tari atau seni wayang. Ayahnya juga seorang penari dan dalang. Retno makin tumbuh dan makin sering diajak menyaksikan ayahnya pentas. Ia mendapat anugerah pelajaran tidak semata tutur kata, tetapi juga contoh nyata dari sang ayah.
Petuah belajar menari untuk belajar berkehidupan juga diperoleh Retno dari sang ayah. Ketika menginjak usia 14 tahun atau tahun 1961, ia mulai pentas di sebuah pergelaran yang cukup besar, yakni sendratari Ramayana di kompleks Candi Prambanan, Yogyakarta.
Pentas ini bagi Retno menjadi sekolah tari sesungguhnya. Tanpa disadari, di situlah Retno mulai dibentuk untuk menari dan belajar berkehidupan memperjuangkan kejujuran dan ketulusan yang tidak lagi sederhana. Kejujuran dan ketulusan untuk menghadapi persoalan yang tidaklah ringan.
Lincah dan lambat
Di dalam sendratari Ramayana di Prambanan, Retno Maruti dengan tubuhnya yang mungil mendapat peran sebagai Kijang Kencana. Kejujuran dan ketulusan Retno diuji untuk adegan awal yang harus menghadapi tantangan menari lincah layaknya kijang, tetapi diiringi gending Kemanak, sebuah alunan musik gamelan yang justru mengalun lambat.
Panggung sendratari Ramayana bagi Retno yang bertubuh mungil tentulah terasa sangat luas. Kalau saja menari tanpa mengenali gendingnya, tentu bisa berakibat fatal.
”Bayangkan, kalau saja saya masih menari di ujung panggung yang jauh dari pintu masuknya, kemudian gending itu tiba-tiba selesai. Saya harus melangkah cukup lama untuk keluar dari panggung,” ujar Retno Maruti, yang menjadi Kijang Kencana sendratari Ramayana selama delapan tahun, mulai tahun 1961 sampai 1969.
Kijang kencana menjadi awal petaka di dalam kisah Ramayana. Kijang kencana menjadi awal peperangan Rama Wijaya melawan Rahwana. Kijang itu diciptakan Rahwana dengan mengubah wujud hambanya yang bernama Kala Marica.
Rahwana menghadirkan kijang kencana untuk mendapatkan Sinta. Usaha itu berhasil. Sinta luput dari pengawasan Rama dan Lesmana sehingga Rahwana begitu mudah menculik Sinta.
”Setidaknya ada tiga adegan untuk tarian kijang kencana. Adegan awal menjadi tarian pikatan kepada Sinta. Berikutnya, kijang dikejar Lesmana, kemudian diburu Rama hingga akhirnya kijang kencana sebagai kijang jadi-jadian itu tewas dipanah Rama,” ujar Retno Maruti, yang pernah menarikan Bedaya Ketawang di Keraton Surakarta pada 1965. Bedaya Ketawang merupakan tarian istimewa. Ini harus dibawakan gadis-gadis yang belum menikah.
Pada 1972, Retno Maruti menetap di Jakarta. Selain menggubah banyak tarian, bersama suaminya, Arcadilus Sentot Sudiharto, pada 1976 ia mendirikan sanggar tari Padnecwara. Di Jakarta, Retno pun pernah mengajar di Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Di kanal Youtube Bentara Budaya, perbincangan bersama Retno Maruti yang diberi tajuk ”Kini Saya Menari dalam Diam” diluncurkan pada Jumat (29/4/2022). Keesokan harinya, perbincangan dilanjutkan dengan episode kedua, ”Kijang Kencana Itu Menjelma Ibu”.
Di situ berbincang beberapa narasumber, seperti kritikus seni tari Sal Murgiyanto; sastrawan Yanusa Nugroho; pengajar seni tari ISI Surakarta, Wasi Bantolo; seniman tari I Wayan Dibia; dan Arcadilus Sentot. Retno Maruti menjadi bahasan yang cukup kompleks dan menarik.
Tayangan virtual ini dikemas dalam agenda Bentara Budaya Pekan Ini. Pada hari yang sama, perbincangan ”Kini Saya Menari dalam Diam” didahului peluncuran perbincangan tentang Seni dan Pesan di Ruang Publik, bersama pelukis mural asal Bali, Dwymabim.
Selanjutnya, ditayangkan Miniseri Tari dengan tagar HariTariSedunia meliputi Semarak Silang Budaya dalam tari cokek Betawi. Dilanjutkan, Tari Bali, Warisan Budaya yang Mendunia; Bagong Menari dan Melukis; serta Gendon Sang Pembaharu.
Selain itu, ditampilkan pula tarian karya koreografer Fitri Setyaningsih dengan penari Caecilia Dilliani dengan judul ”Tepi Tubuh”. Perbincangan bersama dan tentang Retno Maruti dilanjutkan dengan penutup Workshop & Melukis bersama Kolcai di Kebun Raya Bedugul, Bali.
Kembang desa
Ada hal menarik di dalam karya mural yang diperbincangkan bersama Dwymabim. Ia mengambil sosok perempuan untuk setiap muralnya dan berusaha memancing rasa penasaran bagi penikmatnya untuk menebak-nebak siapa perempuan itu.
”Salah satunya, saya pernah membuat mural perempuan kembang desa di Tenganan, Karangasem, Bali, dari sebuah foto jadul (zaman dulu),” ujar Dwymabim.
Tenganan menyimpan misteri tersendiri. Secara komunal warga Tenganan menganut agama Hindu layaknya warga lainnya di Bali. Akan tetapi, bentuk ritual keagamaan di Tenganan itu berbeda dengan yang lainnya di Bali.
Ritual tahunan di Tenganan juga menunjukkan pemujaan kepada dewa-dewa yang berbeda dengan warga Bali yang lainnya. Dewa Indra menjadi salah satu dewa yang dipuja warga Tenganan.
Perbedaan ini memengaruhi beragam ritual hingga produk budaya lainnya. Di antaranya, yang cukup dikenal dan banyak diburu kolektor internasional berupa kain tenun pegringsingan dari Tenganan.
”Aku menghadirkan sosok perempuan di setiap mural untuk menunjukkan setiap perbedaan gestur ataupun wajah perempuan. Di situ aku juga tidak menggambarkan sosok perempuan yang harus langsing atau berkulit putih, tetapi dengan warna-warni,” ujar Dwymabim, pria kelahiran Tabanan, Bali, pada 25 Desember 1995.
Dwymabim juga mengambil corak warna yang tidak biasa. Warna-warni yang dipilih tidak jarang dengan sengaja bernuansa bertumbukan. Ia mencontohkan, wajah seorang gadis dengan warna kulit perpaduan antara biuru dan kuning.
”Saya memilih seperti warna-warna yang dianggap norak, ngejreng, tetapi pada akhirnya bisa membentuk suatu harmoni,” ujar Dwymabim, lulusan Fakultas Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, pada 2018.
Tidak hanya sosok perempuan yang diambil dari foto lama di internet, Dwymabim juga bisa menghadirkan siapa pun sebagai modelnya. Bisa model seorang teman atau figur publik lainnya. Figur pahlawan perempuan tidak pernah dipilih. Dwymabim punya alasan tersendiri.
”Kalau melukis mural pahlawan perempuan itu menjadi mudah diterka,” ujar Dwymabim.
Di tangan Dwymabim, seni memberi kejutan, memberi teka-teki yang sesungguhnya menawarkan pengetahuan yang kontekstual. Jika terus digali dan dikaitkan dengan kekinian, pengetahuan yang ditawarkan pun memiliki kegunaan.
Seperti halnya seni tari klasik berbasis seni tradisi seperti yang dijalani Retno Maruti selama ini. Selalu ada pengetahuan kontekstual yang bisa ditawarkan untuk merawat kegunaan pada masa kekinian karena menari untuk berkehidupan yang lebih baik.