Kaligrafi dan Pegangan Transendental
Bayangkan, di satu sisi teknologi yang diciptakan manusia akan terus maju, sedangkan karakter manusia belum tentu selalu maju. Manusia masih bisa saling menginjak, masih bisa saling membinasakan.
Seni kaligrafi berbasis Al Quran tak ubahnya sebuah pegangan transendental. Ia sekaligus memberikan arah kehidupan yang tidak menyesatkan. Merawat dan mengembangkan seni kaligrafi itu suatu kemuliaan.
”Bayangkan, di satu sisi teknologi yang diciptakan manusia akan terus maju, sedangkan karakter manusia belum tentu selalu maju. Manusia masih bisa saling menginjak, masih bisa saling membinasakan, masih ada yang terus memelihara karakter kebinatangan, sehingga manusia harus membutuhkan pegangan yang transendental,” ujar perupa kaligrafi Al Quran, Arif Syukur, Kamis (21/4/2022), di Jakarta.
Pegangan transendental berkait erat dengan kebenaran hakiki. Hal transenden sebagai cara melihat fenomena yang tidak terlihat, seperti kuasa alam semesta. Akan tetapi, manusia dengan kemampuan akal budinya merasakan hal yang transenden. Di situlah pegangan transendental hadir dan dibutuhkan.
Arif Syukur baru-baru ini memelopori kembali pameran kaligrafi di Jakarta Islamic Center (JIC), Jakarta. Ia selaku Direktur Pameran Seni Islami JIC sekaligus menjadi Ketua Pelaksana Pameran Kaligrafi The Power of Quran yang berlangsung pada 15–22 April 2022.
Sebanyak 102 perupa kaligrafi yang terdiri atas 71 perupa asal Indonesia dan 31 perupa asal luar negeri turut berpartisipasi. Pameran secara fisik digelar di koridor gedung Jakarta Islamic Center maupun secara virtual.
Beberapa karya perupa kaligrafi dari luar negeri direproduksi atau dicetak, kemudian ditampilkan. Kurator pameran Ilham Khoiri menyebutkan, ada tiga sisi menarik untuk menikmati pameran ini.
”Pertama, menelisik tema pameran,’The Power of Quran’, sebagai jiwa pameran ini. Kedua, menelusuri proses kreatif para seniman dalam melahirkan beragam ekspresi seni. Ketiga, menelisik upaya seniman dalam mengeksplorasi seni kaligrafi,” ujar Ilham, yang juga pengajar Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Doa Sapu Jagat
Arif Syukur menjadi perupa yang paling banyak menampilkan karya di pameran ini. Ada 30 karya kaligrafi Arif ditampilkan. Satu di antaranya, karya kaligrafi yang diberi judul ”Doa Sapu Jagat” (2021).
”Seni kaligrafi 'Doa Sapu Jagat' itu doa untuk mengusir Covid-19,” ujar Arif, yang tinggal tidak jauh dari Gedung JIC di Jakarta Utara.
”Doa Sapu Jagat” dituangkan Arif di atas kanvas berukuran 150 x 150 sentimeter. Ia membaginya ke dalam 25 bidang bujur sangkar. Di bagian tengah kanvas ia menampilkan bentuk gunungan wayang kulit. Di dalam gunungan itu Arif menorehkan khat, seni kaligrafi atau gaya menulis indah berhuruf Arab.
Di situlah Arif menyematkan ”Doa Sapu Jagat” untuk mengusir Covid-19. Arif memanfaatkan unsur simbolik tradisional dari dunia pewayangan masyarakat Jawa berupa gunungan.
Arif beranjak ke karya berikutnya, ”Pusaran Ka’bah”. Ini penuh makna mendalam. Karya ini ditujukan Arif menjadi pegangan transendental bahwa tatanan sistem sosial ibarat pusaran. Pusaran itu akan memengaruhi karakter individual di dalamnya.
Ia melukiskan pusaran dengan pusat sebuah titik berbentuk kotak hitam kecil di tengahnya. Itulah Ka’bah.
”Saya ingin menyampaikan bahwa pusaran ibarat sebuah sistem. Ketika seseorang berada di sistem yang baik, berada di tengah-tengah kerumunan orang baik, ia akan menjadi baik. Begitu pula sebaliknya,” ujar Arif.
Ia mengingatkan, pusaran atau sistem tatanan sosial membutuhkan ketersalingan sebagai bentuk komunikasi. Akan tetapi, fenomena keseharian yang sedang berlangsung tidaklah demikian. Saat ini hampir setiap orang disibukkan dengan telepon seluler masing-masing.
Ketika berada di ruang publik, orang yang bersebelahan pun bisa tidak saling menyapa. Keduanya sudah disibukkan dengan telepon seluler masing-masing. Ini menunjukkan hilangnya saling komunikasi, meski berada berdekatan.
”Ini pusaran kehidupan yang perlu kita cermati. Dengan hilangnya komunikasi, apakah satu sama lain bisa saling menjaga? Tidak mustahil, hilangnya komunikasi bisa makin menebar ancaman,” ujar Arif.
Arif menyinggung fenomena global. Saat ini diperkirakan banyak negara berlomba dalam menciptakan senjata nuklir, senjata pemusnah massal. Di situ komunikasi satu sama lain untuk saling menjaga tidak dipelihara dengan baik. Di situ ada pusaran yang tidak baik.
Perupa kaligrafi Sutardi yang menetap di Sragen, Jawa Tengah, menampilkan karya lukisan kaligrafi yang serupa dengan kaligrafi ”Doa Sapu Jagat” milik Arif. Ia memberi judul ”Corona”.
”Karya seni kaligrafi saya sebagai doa tolak bala,” ujar Sutardi. Doa tolak bala berkait erat dengan pandemi Covid-19. Doa dipanjatkan supaya pandemi lekas berakhir.
Sutardi menganggap pandemi sebagai dentuman besar peradaban. Manusia kembali diajak merengkuh pegangan hidup, pegangan transendental, di antaranya berupa ayat-ayat suci Al Quran.
”Seni kaligrafi yang menjadi doa tolak bala ini sekaligus sebagai efek keterharuan saya selama memimpin jemaah dalam menghadapi pandemi,” ujar Sutardi.
Sutardi lantas menceritakan pengalaman memberikan dakwah selama pandemi. Ia dikenal sebagai ulama yang suka mendendangkan tembang Jawa atau dikenal sebagai geguritan macapat.
Suatu ketika, ia mengajak jemaah ibu-ibu agar semuanya mengenakan mukena saat doa membersihkan diri kembali. Doa bersama itu untuk kembali menjadi bayi, doa untuk kembali menyerahkan hidup sepenuhnya kepada yang Maha Kuasa.
”Kita dibenturkan pandemi untuk kembali menjadi bayi. Di situlah saatnya membersihkan diri, saat untuk fokus kembali melihat ke mana arah kehidupan kita,” ujar Sutardi.
Inspirasi Al Quran
Pameran kaligrafi The Power of Quran kembali menguatkan inspirasi berbagai ekspresi seni yang datang dari Al Quran. Kurator Ilham Khoiri menyebutkan, ekspresi seni yang terinspirasi Al Quran di antaranya, tilawah untuk seni audio, adab untuk sastra, tahfidz (hafalan), tashwir (gambar), dan huruf indah kaligrafi (khat).
”Di Indonesia, sebagian ekspresi seni itu telah dikemas dan disajikan dalam program Musabaqah Tilawah Al Quran (MTQ). Ini dirintis sejak tahun 1940-an dan mulai dilombakan pada MTQ di Makassar, Sulawesi Selatan, Ramadhan tahun 1968,” ujar Ilham, yang menempuh studi tafsir Hadits di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (tahun 1999).
Ilham kemudian menyelesaikan studi magister di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2002. Pada 2009 ia pernah menempuh kursus The International Art Journalism Institute in The Visual Art di The American University, Washington DC, Amerika Serikat.
Menurut Ilham, di antara semua ekspresi seni yang terinspirasi Al Quran, kaligrafi menduduki posisi penting. Seyyed Hossein Nasr dalam buku Spiritualitas dan Seni Islam (1993) menempatkan seni huruf indah sebagai leluhur seni visual Islam tradisional. Ini memiliki jejak yang sangat istimewa dalam peradaban Islam. Bahkan, kaligrafi atau khat kemudian disebut sebagai ”the art of Islamic art”, seninya seni Islam.
”Di dalam pameran ’The Power of Quran’ ini nyaris tidak ada karya yang ditolak atau disisihkan. Alih-alih membentuk grup eksklusif terbatas, pameran ini justru bersemangat membangun jejaring luas yang bersifat inklusif,” ujar Ilham.
Mengenai proses kreatif para perupa kaligrafi, tidak diungkiri adanya jejak pengaruh pendekatan visual modern Barat (Eropa dan Amerika Serikat). Kita bisa menemukan gejala visual yang mengarah pada gaya dekoratif yang cenderung datar dan menekankan ornamentasi.
Ada pula gejala mengarah pada gaya realis yang meniru kenyataan sepersis mungkin. Kemudian ada gaya surealis dengan menggabungkan beberapa kenyataan menjadi adegan khayali. Gaya naturalis juga muncul dengan mengolah pemandangan alam.
Gaya abstrak untuk membangun unsur visual secara bebas tanpa meniru figur-figur nyata juga hadir. Termasuk gaya kubistis dengan mengolah bidang multiperspektif dalam pecahan kubus-kubus.
Adanya banyak jejak gaya lukisan dari Barat itu sama persis sebagai suatu pegangan. Akan tetapi, pegangan transendental benar-benar jauh melampuai itu semua.