Urusan membagi warisan bisa jadi hal pelik yang terjadi di banyak keluarga. Film ”Gara-gara Warisan” mengemasnya dengan balutan drama dan komedi. Ada tangis, ada tawa.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Film Gara-gara Warisan produksi Starvision menyuguhkan drama kehidupan yang bisa memeras air mata. Namun, selalu ada tawa di antara air mata. Film yang mulai tayang di bioskop pada 30 April ini dirasa cocok ditonton bersama keluarga sehabis menyantap ketupat Lebaran.
”Iiih, kamu nangis, ya? Iya, itu air mata,” bisik seorang penonton kepada orang yang duduk di sebelahnya ketika pemutaran perdana untuk kalangan terbatas pada Selasa (19/4/2022) di bioskop Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan.
Bisikan itu terdengar cukup jelas ketika adegan film hening sejenak. Sebelumnya, tokoh Dahlan (diperankan Yayu Unru) menyampaikan pesan kepada tiga anaknya lewat rekaman video yang dia rekam ketika sakit. Yayu berakting amat meyakinkan. Rasanya, adegan inilah puncak drama film ini. Monolog yang cukup panjang begitu dramatis mulus dilakoni Yayu. Tak heran, air mata bisa tiba-tiba meleleh menyaksikannya.
Puncak drama itu tak dibiarkan menggantung begitu saja. Ada keresahan lain yang mengikutinya meski tidak sekental adegan penyampaian pesan itu. Tensi keharuan diturunkan perlahan-lahan, lantas kembali dipatahkan dengan kelucuan, seperti yang tersebar di awal-awal film.
Dahlan memiliki wisma (di film disebut guest house) di daerah Lembang, Jabar. Wisma yang asri itu hendak dia wariskan. Masalahnya, dia punya tiga anak, Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas). Ketiganya memendam masalah satu sama lain. Siapakah yang bakal jadi ahli warisnya?
Itulah pertanyaan mendasar yang jadi premis film debut sutradara Muhadkly Acho ini. Menentukan ahli waris harta tentu bukan masalah besar jika hartanya ada dan bisa dibagi rata. Keputusan juga akan lebih mudah jika para calon ahli waris akur-akur saja. Namun, itu bukan modal cerita yang baik untuk sebuah film. Film harus ada konflik.
Dahlan bisa saja membagi wisma itu kepada tiga anaknya sekaligus berdasarkan jumlah kamar atau luas tanah. Itu mungkin saja terjadi di dunia nyata. Namun, ini sinema. Penulis naskah dan sutradara berhak menentukan konfliknya, juga solusinya. Wisma itu adalah satu-satunya harta yang bakal diwariskan. Ahli warisnya pun harus tunggal. Maka diputuskan, Dahlan menguji kecakapan setiap anaknya mengelola losmen itu secara berganti-gantian.
Di sinilah keseruan film ini berjalan. Setiap anak punya gayanya sendiri, yang terkait dengan relasi antar-anak, juga relasi setiap anak dengan Dahlan. Si Sulung Adam adalah karyawan biasa yang selalu merasa kurang dihargai oleh Dahlan. Sementara Laras seperti punya dunianya sendiri, mendedikasikan masa mudanya mengelola panti jompo. Si Bungsu Dicky adalah anak emas Dahlan, tetapi punya pemberontakannya sendiri.
Tiga bersaudara ini kehilangan ibu mereka yang terkena kanker. Kehadiran ibu tiri menjadi ganjalan tersendiri. Sementara Dahlan lebih intens berinteraksi dengan karyawan-karyawannya ketika ketiga anaknya sudah keluar dari rumah. Keluarga di film berdurasi hampir dua jam ini bukan tipikal keluarga ”lurus-lurus” saja. Namun, intrik relasi antaranggota keluarga bisa jadi mewakili banyak keluarga. Setiap keluarga punya problematikanya sendiri, bukan?
Muhadkly Acho adalah stand-up comedian atau komika. Ini adalah debutnya sebagai sutradara, sekaligus penulis naskah. Namun, sebelumnya, dia pernah beberapa kali menjadi konsultan naskah di bidang komedi untuk film-film garapan Ernest Prakasa, yang juga komika.
Seperti film Ernest, misalnya Cek Toko Sebelah, film ini bertaburan para pelawak tunggal, seperti Aci Resti, Lolox, Ence Bagus, dan Dicky Difie. Mereka berempat berperan sebagai karyawan di wisma milik Dahlan. Dalam analogi wayang, mereka adalah tokoh Punakawan yang bertugas memancing gerr.
Pengelompokan karakter sepertinya jadi ciri khas film-film yang diproduksi Ernest Prakasa. Dalam film Imperfect, misalnya, ada sejumlah karakter warga kontrakan yang memancing tawa. Pola itu kembali dipakai di Gara-gara Warisan.
Namanya komedian, apalagi naskahnya juga ditulis komedian, lawakan mereka tertata dengan baik. Masalah lucu atau tidak sudah jadi urusan penonton. Candaan dalam bentuk rangkaian kalimat khas stand-up comedy bermunculan berulang kali. Ge Pamungkas, pemeran Dicky, sebenarnya adalah komika juga. Namun, di film ini, dia total berakting drama. Dia sama sekali tidak kebagian dialog lucu.
Premis meneruskan usaha orangtua mengingatkan pada film Cek Toko Sebelah besutan Ernest Prakasa. Tak mengherankan juga sebenarnya. Premis film Gara-gara Warisan memang berasal dari Ernest. Di film ini, Ernest adalah produser bersama Chand Parwez Servia.
”Karena satu dan lain hal, saya tidak punya kesempatan untuk mengerjakannya. Kebetulan ngobrol dengan Acho, dan dia punya kisah yang cukup personal dan relate dengan premis ini. Akhirnya, dia yang mengembangkan,” kata Ernest, yang juga muncul di layar sebagai tokoh Benny.
Sebelum film dimulai, Muhadkly Acho sempat melontarkan gugatan kepada majelis penontonnya. ”Ketika warisan dibagi, seberapa jauh keutuhan keluarga diuji?” Jawabannya bisa ditemukan mulai 30 April nanti, apakah berujung tragedi atau komedi.