”Bridgerton”, Pertanyaan Soal Makna Pernikahan
Pernikahan sekelebat terlihat indah. Gaun pengantin, pesta meriah, hingga pasangan yang tengah mabuk asmara. Namun, tidak semua berjalan selayaknya.
Pernikahan sekelebat terlihat indah. Gaun pengantin, pesta meriah, hingga pasangan yang tengah mabuk asmara. Namun, tidak semua berjalan selayaknya. Tidak sedikit yang melabuhkan diri ke biduk pernikahan karena enggan dilabeli stigma tertentu oleh masyarakat atau sekadar ingin lepas dari masalah. Padahal....
Pernikahan merupakan titik awal perjalanan dari dua orang yang memutuskan untuk hidup bersama. Cinta selalu disebut-sebut sebagai resep utama dari pernikahan. Ini pula yang diangkat pada serial Bridgerton yang memasuki musim kedua. Delapan episode dalam musim ini dapat disaksikan di Netflix sejak 25 Maret 2022.
Kehadiran musim keduanya sudah dinantikan para penonton fanatiknya. Musim pertama yang mengemas kisah cinta Daphne Bridgerton (Phoebe Dynevor) dan seorang duke bernama Simon Basset (Regé-Jean Page) sukses membuat khalayak kepincut.
Ramuan adegan romantis malu-malu kucing menggemaskan hingga berani khas Shonda Rhimes, pemilik rumah produksi Shondaland, menjadi andalan.
Harapan itu pun melambung pada musim ini mengingat sorotannya kini jatuh pada si sulung dari keluarga Bridgerton, Anthony (Jonathan Bailey). Pada musim pertama, Anthony terlibat hubungan dengan seorang penyanyi opera yang bukan dari kalangan ningrat, Siena Rosso (Sabrina Bartlett). Namun, hubungan itu kandas.
Sesuai dengan adaptasi dari novel milik Julia Quinn berjudul The Viscount Who Loved Me, Anthony akan bertemu dengan belahan jiwanya; meski pertemuan tersebut terasa mendadak. Akan tetapi, bukan tidak mungkin, kan, cinta pada pandangan pertama?
Sejumlah karakter baru muncul pada penayangan kali ini. Dua di antaranya adalah Kate Sharma (Simone Ashley) dan Edwina Sharma (Charithra Chandran) yang menyita perhatian Anthony.
Di tengah upayanya yang tergesa mencari pasangan, luka batin hingga trauma Anthony terungkap. Usahanya untuk segera menikah pun sekadar menjaga nama baik keluarga dan menjalankan kewajibannya sebagai kepala keluarga setelah ayahnya meninggal.
Berbicara tentang kewajiban, beban itu juga dipikul oleh Daphne pada musim pertama. Tidak hanya Daphne, semua perempuan muda yang saat itu hidup pada Regency Era di Inggris merasakan kewajiban diburu-buru untuk menikah. Bahkan, ketika seorang perempuan menginjak usia di atas 21 tahun dan belum menikah, ia akan menjadi buah bibir yang tidak mengenakkan.
Hal ini muncul ketika Kate diketahui telah berumur 26 tahun dan belum menikah. Banyak tatapan tak nyaman diikuti kasak-kusuk setiap ia melangkah. Kabar dirinya memutuskan untuk hidup sendiri dan menjadi pengajar tersebar. Hingga sejumlah pria sengaja dikenalkan kepadanya untuk melakukan penjajakan. Namun, Kate bergeming saat itu.
Daphne juga sempat mengalami hal serupa. Ia yang ditunjuk sang ratu sebagai berlian pada musim itu khawatir tak bisa menemukan pasangan yang tepat dan dicintainya. Di sisi lain, jika ia tidak berhasil menikah pada akhir musim, reputasinya bisa hancur sehingga khawatir tak ada lagi pria ningrat yang mau menikahinya. Lembaga pernikahan yang sakral pun terasa dangkal.
Apalagi menyaksikan para perempuan berparade muncul di depan ratu. Berpakaian serba putih dengan bulu melambai di atas kepala, para perempuan harus berjalan anggun dan tersenyum semanis mungkin di depan sang ratu.
Bagi yang memikat hati ratu, ia akan memperoleh label berlian. Berlian ini yang nantinya akan diperebutkan oleh para pria bangsawan dan kemudian dinikahinya. Entah berlandaskan cinta atau hanya mengejar wibawa semata.
Kritik sosial
Tradisi ini coba didobrak oleh Eloise Bridgerton (Claudia Jessie), adik dari Anthony dan Daphne. Sejak kemunculannya pada musim pertama hingga kini, Eloise menunjukkan keengganannya terhadap acara parade di depan ratu hingga pesta dansa yang menurut dia palsu. Bahkan, tradisi perempuan muda diharuskan menikah pada umur tertentu dinilainya dapat menjadi batasan bagi perempuan yang ingin maju.
”Apa harus menikah? Bagaimana jika dia ingin bersekolah lagi? Bagaimana jika dia ingin menjadi penulis? Atau dia ingin berkeliling dunia? Memangnya perempuan tidak boleh melakukan itu?” ujar Eloise, yang tengah membaca buku, dalam salah satu episode kepada anggota keluarganya yang sedang berkumpul.
Sejenak Eloise mengingatkan pada penulis asal Inggris, Mary Wollstonecraft, yang gencar menyuarakan hak-hak perempuan. Lewat buku bertajuk A Vindication of The Rights of Woman, Wollstonecraft mengkritik habis-habisan perlakuan terhadap perempuan pada Georgian Era tahun 1750-an di Inggris. Era tepat sebelum Regency Era.
Bahkan, Wollstonecraft menulis dengan gamblang, penilaian kebajikan terhadap seorang perempuan hanya didasarkan pada kemampuannya melakukan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak, urusan ranjang, hingga bersolek. Perempuan yang menambah kemampuannya dengan memperkaya pengetahuannya akan dianggap membangkang. Tidak berbakti kepada suami karena suami adalah seorang tuan yang titahnya harus diikuti.
Padahal, urusan pendidikan anak dipasrahkan seutuhnya kepada perempuan. Sebab, para pria hanya berurusan mencari uang di luar dan melepas lelah di rumah. Para pria juga bebas memperkaya wawasannya. Bahkan ketika pria terlibat affair rumah tangga, khalayak seperti memahaminya. Berbeda dengan perempuan, lagi-lagi stigma buruk menempel padanya.
Di masa kini, gugatan Wollstonecraft dan kritik Eloise tersebut masih relevan. Perjuangan untuk hak-hak perempuan terus bergulir. Salah satunya, perlawanan terhadap pernikahan anak di bawah umur dan juga pernikahan paksa yang diawali dengan perjodohan yang tak diinginkan.
Dari studi bertajuk ”Girls Not Brides” milik Koalisi Perempuan Indonesia (2019), terdapat 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun. Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak. Praktik ini berlangsung karena perkawinan dianggap bisa menjadi jalan keluar dari persoalan keuangan yang mengimpit keluarga, tanpa memikirkan kesiapan mental dan kesediaan si anak.
Feminisme
Menariknya, pada musim kedua ini, Anthony diingatkan oleh sekelilingnya untuk tak menikah karena kewajiban. Cinta merupakan yang utama jika memang mantap untuk menikah. Meski di sisi lain, Anthony mematok kriteria lain selain cinta, yaitu perempuan yang pintar dan berani berpendapat.
Dalam beberapa adegan, ia juga digambarkan sebagai pria yang siap memberikan kebebasan kepada pasangannya untuk menambah pengetahuan dan berkarya setelah menikah. Bahkan, pertanyaannya seputar anak yang diajukan kepada beberapa perempuan yang disodorkan ibunya sengaja dilakukan untuk mengetahui seberapa perempuan berani berpendapat.
Kembali pada Eloise yang sinis terhadap kondisi sekitarnya, nyatanya ia tetap mampu jatuh cinta. Pandangannya yang sarat nilai feminis bukan berarti menghalanginya untuk jatuh cinta. Begitu pula dengan Penelope Featherington, sahabat Eloise, yang merupakan sosok di balik Lady Whistledown juga memelihara cinta meski menganut nilai kebebasan bagi perempuan.
Karen R Blaisure dan Katherine R Allen dalam artikel berjudul ”Feminists and The Ideology and Practice of Marital Equality” yang terbit di Journal of Marriage and Family menjelaskan, nilai feminis berbeda dengan anti-pernikahan. Justru pernikahan yang dilandasi dengan nilai feminis menghasilkan pernikahan yang setara antar-pasangan.
Contoh kecil, ada pada pembagian tugas domestik dan mengasuh anak yang dikerjakan bersama-sama. Ditambah lagi kebebasan untuk tetap berdaya di luar rumah atau mengenyam pendidikan lagi. Dukungan penuh akan diberikan kepada pasangan yang dalam pernikahannya menganut nilai feminis. Hal ini juga termasuk pada kesepakatan memiliki anak dengan tidak memaksakan kepada perempuan.
Pernikahan memang sepatutnya dilandasi cinta. Bukan diburu-buru karena takut dikejar usia atau atas desakan orangtua. Namun, dalam perjalanannya, pernikahan sejatinya setara bukan sekadar menjadi abdi dan kehilangan diri.