Seni Daya Juang Perempuan Komponis
Ragam kehidupan menawarkan pilihan dan daya juang tersendiri. Termasuk bagi perempuan komponis, daya juang sekaligus sebagai ibu rumah tangga memberi nuansa perempuan seperti dialami komponis, Gema Swaratyagita.
Ragam kehidupan menawarkan pilihan dan daya juang tersendiri. Termasuk bagi perempuan komponis, daya juang sekaligus sebagai ibu rumah tangga memberi nuansa. Kesetaraan pun menjadi keinginan nyata untuk digenggam.
Seorang perempuan komponis, Gema Swaratyagita (38), menyelami pengalaman tumbuh dan berkarya bersama dua anak kembarnya yang sekarang berusia sekitar tiga tahun. Pernah suatu ketika semasa usia bayi kembarnya beranjak sekitar 40 hari, Gema membawa mereka turut serta untuk mengikuti latihan orkestra bersama.
”Waktu itu banyak yang memberikan perhatian sehingga latihan-latihan berikutnya sering di rumah saya. Kemudian saya tidak perlu lagi membawa serta kedua bayi kembar untuk latihan,” ujar Gema, Rabu (16/3/2022), di Jakarta.
Latihan bersama saat itu untuk persiapan pentas sekitar dua bulan ke depan. Inilah salah satu daya juang Gema demi komitmen dan keinginan menggenggam kesetaraan sebagai komponis profesional.
Pada Mei 2021, perempuan kelahiran Jakarta yang menuntaskan studi S-1 Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik) di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu, bersama empat rekan perempuan komponis lainnya, mendirikan wadah komunitas Perempuan Komponis Forum & Lab.
Keempat perempuan komponis itu ialah Halida Bunga Fisandra, Marisa Sharon Hartanto, Dinar Rizkianti, dan Ignatia Aditya Setyarini. Saat ini mereka bekerja sama dengan Bandung Philharmonic menyuguhkan kegiatan Resital Perempuan Komponis secara virtual di Youtube Bandung Philharmonic, sejak Minggu (13/3/2022).
Sebanyak tujuh karya dari tujuh perempuan komponis disajikan. Selain Gema, ada Junita Batubara, Nyak Ina ”Ubiet” Raseuki, Marisa Sharon Hartanto, Dinar Rizkianti, Ignatia Aditya Setyarini, dan Mery Kasiman.
Di dalam Resital Perempuan Komponis itu, Gema menampilkan satu komposisi yang diberi judul ”Bane”. Dalam bahasa Sanskerta, bane bermakna kurang lebih ’mengelola rasa kehilangan’. Ini respons Gema selama masa pandemi Covid-19 menghadapi rasa kehilangan orang-orang di sekitar yang menjadi korban pandemi.
”Komposisi Bane terlahir dari hibah Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) untuk program Jagongan Wagen. Karya ini ditampilkan pertama kali pada September 2021,” ujar Gema, seraya mengimbuhkan, durasi komposisi ”Bane” sepanjang 45 menit.
Komposisi itu memiliki awal dan akhir yang hampir mirip. Ia menggali suara kata-kata hitungan angka sebagai materi utama. Ini mengacu peristiwa jatuhnya korban Covid-19 yang tumbuh dan berkembang setiap waktu menjadi jumlah angka- angka yang cukup mengerikan.
Ada komposisi yang membedakan pada bagian awal dan akhirnya. Gema memberikan sentuhan lagu yang diberi judul ”Tanda Semesta”. Di bagian awal, lagu ini hanya disenandungkan melodinya. Di bagian akhir, Gema melantunkan lirik lagu tersebut. Formatnya, lirik vokal yang hanya disertai suara dari instrumen pendeteksi denyut nadi di rumah-rumah sakit.
”Komposisi ’Bane’ mengeksplorasi latar suara yang makin akrab kita dengar selama pandemi. Di situ saya menampilkan suara sirene ambulans, suara alat pendeteksi denyut nadi, sampai pada suara-suara pengumuman atas kematian seseorang di kampung-kampung,” tutur Gema, yang kebetulan mencuplik komposisi ”Bane” dan disuguhkan dengan durasi sekitar tiga menit untuk Resital Perempuan Komponis.
Lagu ”Tanda Semesta” sebagai respons atas tiga hal yang meliputi pataka, pralaya, dan mamala. Pataka bermakna sebagai tanda atau penyampai pesan, pralaya sebagai bentuk kemalangan, dan mamala sebagai dampak yang terjadi.
Pataka dari semesta mungkin sering hadir, tetapi sering kali tidak sepenuhnya dimengerti. Gema mengambil contoh, pada awal tahun 2020 pernah muncul pataka berupa bintang kemukus. Baginya, hal ini bisa dibaca sebagai tanda bahaya akan datangnya pandemi Covid-19.
”Manusia sekarang sudah disibukkan dengan urusan material sehingga tanda-tanda semesta tidak pernah bisa dimengerti,” ujar Gema, yang menggarap komposisi ”Bane” dengan melibatkan tiga musisi lainnya.
Gema menunjukkan estetika dari kepekaan terhadap situasi terkini. Perempuan komponis berikutnya, Junita Batubara, menyuguhkan komposisi yang diberi judul ”Alam Menyapa”.
Junita menetap di Medan. Ia pun menceritakan muasal komposisi ini yang terlahir ketika sebagai musisi dan pengajar di Universitas HKBP Nommensen di Medan, pernah diminta mengajar di Universitas Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim, Malaysia, pada 2016.
Pada 2017, Junita mendapat hibah riset dari perguruan tinggi tersebut. Ia memanfaatkan untuk meneliti suku terasing di Malaysia yang belum tersentuh modernisme. Bahkan, komunitas suku itu pun belum mengenal agama-agama modern.
”Saya meriset musik dan vokal yang ada di suku tersebut. Mereka memiliki musik yang diolah dari alam, seperti bebunyian burung, bahkan suara ular pun dimasukkan,” kata Junita yang tidak bisa menilai keterbelakangan peradaban sebuah suku yang selama ini dianggap terasing.
Suku itu mengembangkan musik pentatonik dengan lima nada. Junita mengolah menjadi musik kromatik dan lahirlah komposisi ”Alam Menyapa”. Komposisi ini kemudian berkembang menjadi alunan komposisi musik terapan untuk relaksasi.
”Pada 2019 saya kembali mengajar di Universitas Nommensen. Kemudian mulai 2020 garapan komposisi ’Alam Menyapa’ ini dijadikan musik terapi oleh suatu yayasan,” kata Junita, yang meraih gelar doktor pengkajian komposisi musik dari Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Penang, Malaysia, pada 2013.
Saya meriset musik dan vokal yang ada di suku tersebut. Mereka memiliki musik yang diolah dari alam, seperti bebunyian burung, bahkan suara ular pun dimasukkan. Junita.
Junita, Gema, dan lima perempuan komponis lain di dalam Resital Perempuan Komponis menunjukkan kreativitas yang saling berbeda. Mereka sekaligus membuktikan daya juang masing-masing. Penggalian materi menunjukkan keberagaman yang diolah dengan tidak sederhana.
Mempersatukan
Ada sedikit upaya dari salah satu penggagas Perempuan Komponis Forum & Lab, Halida Bunga Fisandra, yang akrab disapa Dida Fisandra. Saat ini ia bekerja sama dengan suatu lembaga di Inggris untuk menerbitkan jurnal komposisi musik kontemporer karya para perempuan komponis Indonesia. Usaha ini sekaligus ingin mempersatukan para perempuan komponis Indonesia.
”Komunitas yang kami bentuk bukan untuk bersaing dengan komponis laki-laki. Kami ingin mempersatukan perempuan komponis Indonesia yang sekarang masih tercerai-berai,” ujar Dida, yang pernah menggarap komposisi musik kontemporer dengan materi musik tradisional.
Dida pernah mencuplik lagu-lagu Betawi dan suara tari Kecak dari Bali. Ia kemudian menyuguhkan ke dalam satu komposisi baru dan menjadi musik kontemporer.
Para perempuan komponis seperti layaknya perempuan dengan profesi apa pun selalu menghadapi persoalan yang cukup kompleks. Ada semacam peran ganda yang tak terelakkan. Sebagian besar perempuan akan mengemban tugas domestik sebagai ibu rumah tangga.
Baca juga : Dari Fotografi Merambah Otak
Peran yang kompleks itulah yang menimbulkan stigma bagi perempuan di dalam memproduksi karya. Pada akhirnya, mereka pun terpinggirkan.
”Seperti ada penilaian underestimate yang kami hadapi sebagai perempuan komponis. Seperti ketika saya memiliki anak usia tiga bulan, sering dianggap tidak bisa lagi pentas. Tetapi, saya menunjukkan tetap bisa pentas,” demikian kata komponis Gema Swaratyagita.
Kalangan perempuan yang berprofesi apa pun ketika akan memasuki kehidupan rumah tangga akan menjumpai trauma adanya penilaian underestimate tersebut. Padahal, sebagai perempuan komponis, Gema merasa tidak ada perubahan untuk tetap berkarya dan menunjukkan hasil yang sebaik-baiknya.
Gema sudah membuktikan itu.