Merawat dan Menghidupi Imajinasi
Imajinasi pun membentuk sebuah obsesi. Karya seni rupa kontemporer sekarang lebih terseret isu sosial, politik, dan budaya, yang kadang lebih menarik untuk diperbincangkan.
Imajinasi memberi gairah, menciptakan mimpi, menjadi sumber daya kreativitas yang memberi kebaruan, bahkan pembaruan yang bisa memimpin peradaban. Akan tetapi, elan kehidupan menggiring manusia mengedepankan rasio serta meminggirkan imajinasi. Beruntung ada seni yang hadir demi merawat dan menghidupi imajinasi.
Betapa runtuhnya hati Iwonk Ridwan (30) lantaran tulang di dekat pergelangan kaki kirinya retak saat bertanding sepak bola. Peristiwa itu terjadi 12 tahun silam pada 2010 di Bandung. Cita-cita Iwonk menjadi pesepak bola andal akhirnya kandas.
Ketika itu Iwonk masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK), yang sebelumnya sebagai sekolah menengah seni rupa (SMSR) di Bandung. Ia lunglai menerima kenyataan pergelangan kaki kiri yang tidak lagi sempurna seperti sedia kala. Bahkan, sebelum itu, karena saking kuat tulang kakinya, Iwonk pernah dijuluki bertulang besi. Ketika itu, ia pun sangat optimistis bisa meraih mimpi menjadi pesepak bola terkenal.
Iwonk takluk dan menerima kenyataan. Akan tetapi, ia tidak tunduk kepada nasib. Imajinasi menjadi orang berprestasi terus menyala. Ia memutuskan beralih ke bidang seni dan ingin mewujudkan cita-cita sebagai pematung.
Selepas lulus SMK, Iwonk melanjutkan kuliah di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Ia mengambil program jurusan seni pertunjukan meski keinginannya tetap menjadi seorang pematung.
Pengalaman di masa SMP ternyata membentuk cita-cita Iwonk. Ketika itu, ia pernah mengerjakan pertukangan dengan material kayu dan besi. Dari situ muncul ketertarikan membentuk obyek seni patung dengan material kayu dan besi. Minat itu sejenak mengendap karena Iwonk beralih cita-cita menjadi pesepak bola.
Mimpi lama Iwonk menjadi seorang pematung terwujud. Setidaknya, saat ini ia sedang mengikutsertakan karya patungnya ke dalam sebuah pameran seni rupa bertajuk ”Imagination Sequence”. Pameran berlangsung di Galeri Orbital Dago, Bandung, 11 Maret hingga 11 April 2022.
”Saya ingin menjadi seniman yang penuh imajinasi. Saya mewujudkan imajinasi menjadi karya yang berpijak dari pengalaman,” ujar Iwonk, Rabu (16/3/2022), di Bandung.
Pameran ”Imagination Sequence”menampilkan karya 12 seniman. Selain Iwonk, para seniman peserta meliputi Andreas Camelia, Eris Lungguh Sumantri, Hendrik Lawrence, Indra Wahyu Karyadi, Jessica Xaviera, Klarissa Emeralda, Prabu Perdana, Ronny P Tjandra, Rosid, Tara Shakin, dan Toni Masdiono.
Kurator pameran Asmudjo Jono Irianto menandaskan, hanya manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan berimajinasi. Akan tetapi, kapasitas serta kemampuan berimajinasi ini lambat laun berkurang.
”Sejak kecil, manusia berimajinasi. Namun, perlahan kapasitas imajinasi makin berkurang karena manusia setelah dewasa makin rasional,” ujar Asmudjo.
Di dalam seni, imajinasi menjadi perkara penting karena imajinasi adalah bahan bakar kreativitas seniman. Tanpa imajinasi, seniman hanya melahirkan karya-karya yang kering.
Hati dan otak
Iwonk memberi judul karya patungnya ”I am Iwonk”. Ini patung bocah laki-laki yang disertai metafora kepala berbentuk rumah, tangan kanan membawa organ hati, dan tangan kiri membawa organ otak. Kaki kirinya pun sedang menyepak bola.
”Karya patung ini berpijak pada pengalaman selama masa pandemi Covid-19 yang disarankan untuk selalu berada di rumah. Meski di rumah, saya berimajinasi bisa bermain bola,” ujar Iwonk.
Iwonk menyertakan bentuk organ hati dan otak yang dibawa kedua tangannya. Ia mengingatkan diri untuk berpegang teguh pada hati dan pikiran. Seperti di masa menekuni profesi sebagai pemain sepak bola, hati dan pikiran mengendalikan egonya.
”Bermain sepak bola tidak boleh egois karena harus bekerja di dalam sebuah tim. Ketika menjadi seniman, justru terbentuk menjadi egois. Di sinilah saya harus tetap menggunakan hati dan pikiran,” ujar Iwonk.
Imajinasi tidak memiliki batas. Peserta pameran lain, Indra Wahyu Karyadi, menampilkan imajinasi dari sebuah legenda. Ia menampilkan karya tiga dimensi terbarunya yang berpijak pada legenda Ratu Kidul. Ia membentuk wujud Ratu Kidul sebagai perempuan cantik dengan warna tubuh dan pakaian keemasan. Karya itu diberi judul ”Perception A & B”.
”Di bawah figur Ratu Kidul, saya menggambarkan beraneka rupa sesajian kontemporer, seperti bitcoin mata uang kripto dan mobil. Imajinasi saya ingin mengatakan, sesajian kontemporer itu mungkin sama dengan sesajian yang diberikan kepada Ratu Kidul,” ujar Indra Wahyu.
Indra Wahyu memberikan metafora tentang persembahan, yang berubah menjadi sogokan demi suatu tujuan tertentu. Sogokan atau suap akan terus berkembang mengikuti perubahan zaman. Indra Wahyu menuangkan imajinasi satirnya.
Imajinasi pun membentuk sebuah obsesi. Ini seperti diungkapkan peserta berikutnya, Jessica Xaviera. Perempuan seniman pembuat tato ini memiliki imajinasi dengan menggunakan teknik menato kulit tubuh manusia bisa menjadi karya seni rupa yang menarik.
”Saya menggunakan jarum tato untuk melukis di kulit sintetis berbahan dasar karet. Saya melukis figur-figur di masa renaisans Italia,” ujar Jessica, lulusan dari Jurusan Desain Komunikasi Visual pada Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB) Bandung pada 2019.
Setelah lulus studi, Jessica sempat ke Bali untuk menjajaki profesi sebagai seniman pembuat tato. Kemudian ia kembali lagi ke Bandung dan membuat usaha jasa pembuatan tato sejak akhir 2019 sampai sekarang.
”Ketika melukis, saya merasa jauh lebih mudah dengan menggunakan jarum tato ketimbang kuas. Itu karena setiap hari saya menato tubuh orang dengan jarum,” ujar Jessica, yang membuat karya dengan judul ”Orologio”, dalam bahasa Italia yang berarti sebuah jam.
Pluralitas
Karya para peserta berikutnya menunjukkan keberagaman media dan tema. Asmudjo menyebut, hal ini menunjukkan makin luasnya pluralitas seni rupa kontemporer kita. ”Sebanyak 12 seniman dengan 12 karya itu menunjukkan 12 imajinasi dengan tampilan visual dan narasi yang saling berbeda,” ujar Asmudjo.
Ia menyorot karya seni rupa kontemporer sekarang lebih terseret isu sosial, politik, dan budaya, yang dirasakan akan lebih menarik untuk diperbincangkan. Ini aspek politis sebuah karya sebagai politically correct atau motif berkarya yang didasari kepedulian terhadap situasi yang tidak ideal.
Politically correct menjadi komponen penting sebuah karya. Akan tetapi, kekuatan estetik atau gagasan visual menjadi hal yang tidak kalah penting.
”Keduanya harus berpadu, yaitu benar secara politis dan benar secara estetis. Banyak seniman yang terjebak dalam rutinitas ’berkesenian’ tanpa jeda kontemplasi berimajinasi,” kata Asmudjo seraya mengimbuhkan, ketika imajinasi dikelola dengan baik, akan melahirkan kebaruan dan terobosan karya.
Asmudjo menyinggung, karya seni rupa kontemporer ada yang menjadi transgresif, misalnya ketika hendak melukiskan keburukan realitas dunia ditunjukkan pula dengan bahasa rupa yang buruk. Tentu hal ini tidak memicu kontemplasi imajinatif para pemirsanya.
”Bagaimanapun, karya seni akan diapresiasi publik melalui aspek perseptual sebagai pengalaman estetik. Setelah mengalami estetik, publik lalu membaca dan mencoba menafsir konten,” kata Asmudjo.
Pada akhirnya, karya seni itu membangkitkan imajinasi, persepsi, dan kognisi, yang akan saling berkelindan di dalam diri para penikmat karya. Imajinasi seniman harus menuntun ke arah itu.