Kegundahan yang Megah Menurut Mitski
Album ”Laurel Hell” dari Mitski lahir dari kegundahan akan keputusannya mundur dari dunia industri musik. Pertanyaan dalam kepalanya tersaji lewat langgam pop 1980-an yang sedih sekaligus meriah.
Mitski melepas album keenam, Laurel Hell, pada 4 Februari 2022. Sang ratu kancah indie-rock/pop ini menyuguhkan 11 lagu dengan kisah-kisah kerapuhan, kegundahan krisis perempat baya, serta keraguan pada keputusan. Dia perlu meluapkan semua itu dengan berdisko.
”Let’s step carefully into the dark/Once we’re in I’ll remember my way around” adalah kalimat pembuka di album pada lagu ”Valentine, Texas”. Terjemahan larik itu kira-kira, ”Mari melangkah hati-hati menuju kegelapan/Begitu sampai di dalamnya, akan kuingat jalan keluar”.
Larik itu menyiratkan optimisme. Tapi aura positifnya tak lepas dari kesuraman. Pendengar seolah diajak memasuki dunia gelap penuh pertanyaan di benak penyanyi keturunan Jepang-Amerika Serikat ini.
Larik itu datang sekonyong-konyong, mengingat ini adalah album pertamanya setelah ”cuti” sekitar dua tahun dari ingar-bingar industri musik dan keriuhan media sosial. Ibaratnya, baru bertemu, sudah diajak ngobrolin yang rumit-rumit.
Benar, penyanyi bernama lengkap Mitski Miyawaki ini memutuskan hiatus dari musik sejak akhir 2019, setelah menjalani tur panjang promo album kelima, Be the Cowboy keluaran 2018. Jakarta sempat ia sambangi pada 20 Februari 2019, dengan tata produksi yang terbilang sederhana. Musisi pengiringnya memasang instrumen, mengatur tata suara, beraksi, dan mengemas peralatannya sendiri setelah lagu terakhir usai.
Abum Be the Cowboy dirilis ketika dia berusia 27 tahun, usia kritis bagi banyak musisi. Album itu mengangkat namanya ke kancah pop arus utama, setelah berkutat di kancah indie sejak 2012. Dia pernah diundang langsung oleh Lorde, penyanyi dan penulis lagu muda asal Selandia Baru peraih Grammy, membuka konsernya. Rocker veteran macam Iggy Pop dan Dave Grohl juga memujanya. Mitski juga meraup pendengar fanatik, yang di antaranya menyapa dia dengan sebutan ”Mom”.
Ketenaran itu mengusiknya. ”Benakku berdenyut secara konstan memikirkan kritik dan apa yang bakal dikomentari orang tentang apa pun yang kuperbuat. Hal itu tak bakal pernah benar-benar pergi,” ujar Mitski kepada BBC, awal Februari 2022. Puncaknya terjadi menjelang konser penutup rangkaian tur album itu di Central Park, New York, akhir 2019.
Sebelum tampil, Mitski mengumumkan, konser itu bakal menjadi pertunjukan terakhir entah sampai kapan. Lewat akun Twitter, dia mencuitkan ”Saatnya menjadi manusia lagi,” sebelum menghapus semua akun media sosialnya.
Penggemarnya kalang kabut. Kepada sejumlah media yang mengonfirmasinya, Mitski menjelaskan, dia tak berhenti bermusik, hanya mengambil jarak untuk pemulihan.
”Sederhananya, bisa kubilang aku mengalami kelelahan fisik, dan ada benarnya juga. Tapi jika dilihat lebih jauh, itu adalah kelelahan mental sebagai seseorang yang berkecimpung di industri musik, sebuah industri yang sangat transparan dari konsumerisme. Aku cemas memikirkan diriku larut di dalamnya dan berpotensi membuat musik yang tidak kusuka. Jadi kupikir, aku perlu menjauh dari mekanisme itu, dan mencoba menjadi manusia lagi,” tutur Mitski, hampir tiga tahun kemudian.
Setelah pengunduran dirinya, dia meninggalkan New York yang metropolis, pindah ke Nashville. Di kota yang menjadi episentrum musik country ini, Mitski berencana berkiprah di belakang layar, menjadi penulis lagu saja. Tiba-tiba, pandemi Covid-19 melanda. Di era ini, para penulis lagu berupaya berkarya lewat medium sambungan video seperti Zoom atau Google Meet.
”Tapi aku enggak bisa bekerja seperti itu. Jadi kerjaanku hanya pesan makanan saja,” ujarnya. Di masa karantina (lockdown) Mitski bergulat dengan keputusannya mundur dari gebyar panggung. Dia sempat merasa keliru mengambil keputusan.
”Aku telah bekerja sedemikian keras meniti karier di musik. Apakah benar keputusanku melepas hasil kerjaku selama ini,” gugatnya pada dirinya sendiri. Hal ini berlarut-larut, sampai-sampai sulit menahan tangis ketika mendengar lagu orang lain atau menonton film. ”Rasanya seperti, ’Ya, ampun, semestinya aku masih melakukan ini (membuat lagu dan menyanyi)’, lalu aku menangis. Payah betul,” keluhnya.
Dari berkelana
Kegundahan Mitski beralasan kuat. Sejak masih kecil, dia berkelana negara, mengikuti orangtuanya. Dia lahir di Jepang, ketika ayahnya berdinas di negara itu. Sebelum genap berusia 18 tahun, Mitski pernah tinggal di Turki, China, Malaysia, Ceko, juga Kongo. Kadang, keluarga itu tak sampai satu tahun tinggal satu negara.
Kepada Rolling Stone, Mitski mengatakan, hidup berpindah-pindah itu membuatnya tak memiliki akar kuat dengan tempat tinggal. Dia enggan berteman karena toh tahun depan harus berpisah lagi. Musik menjadi ”teman” akrabnya, juga caranya beradaptasi dengan lingkungan sementaranya. Dia bergabung dengan paduan suara, tampil di ajang unjuk bakat, juga mulai menulis lagu curhatan remaja.
Ketika keluarganya tak lagi berpindah-pindah, Mitski memutuskan serius bermusik. Dia mengambil jurusan musik di kampus dan mengakrabi beragam corak musik, mulai dari musik klasik, jazz, hingga yang eksperimental seperti karya Bjork.
Di masa kuliah ini, Mitski mulai menghasilkan album, seperti Lush (2012) yang didominasi piano, diikuti Retired from Sad, New Career in Business (2013) yang lebih bernuansa rock. Warna ini makin tajam di album keempat, Puberty 2 (2016) yang banyak mencomot elemen punk rock, tapi dengan gaya bernyanyi yang dingin.
Lagu unggulan dari album Puberty 2 adalah “Your Best American Girl”. Di lagu ini, Mitski menceritakan hubungan percintaan yang gagal karena beda suku. Penulisan liriknya cenderung sinis, gaya yang kerap dipakai Mitski. Bagian refrain lagu ini, jika diterjemahkan bebas berbunyi, ”Ibumu tak kan cocok dengan cara ibuku membesarkanku… Kamu lelaki Amerika, aku tak akan bisa menjadi gadis Amerika terbaikmu.”
Album Be the Cowboy memberi lampu sorot terang pada musik dan cara penulisan Mitski. Pada lagu ”Nobody”, dia bercerita tentang rasa sepi. Penuturannya begitu mendetail sehingga banyak orang merasakan emosi yang sama. Bait pembukanya, dalam terjemahan, berbunyi, ”Ya Tuhan, aku kesepian/Aku buka jendela hanya untuk mendengar suara orang-orang”.
Lagu itu terasa pilu. Tapi di bagian refrain, Mitski berulang-ulang mengucapkan kata nobody dalam irama rancak. Komposisi begini memungkinkan pendengarnya yang kesepian bisa berjoget sendirian. Di masa orang berdiam di rumah saat pandemi, ini adalah lagu yang cocok. Belakangan, lagu ini moncer di aplikasi Tiktok.
Ditentukan pandemi
Pencapaian artistik Mitski itulah yang membuatnya resah setelah memutuskan hiatus. Tak terlalu lama setelah dirinya berpamitan dengan industri musik, Mitski pelan-pelan mulai menulis lagu, yang kelak berjudul ”Working for the Knife”. Lagu ini menggambarkan kegundahannya di masa-masa awal hiatus di Nashville.
Larik pembukanya diterjemahkan begini, ”Aku menangis di setiap awal film/Kuduga karena aku berharap bisa membuat sesuatu juga”. Di bait lainnya, Mitski berucap, ”Aku tahu dunia terus berputar/Yang tidak kusadari adalah dunia bisa berputar tanpa aku”. Ini juga pilu.
Kepada Pitchfork, Mitski menjelaskan, latar belakang lagu ini adalah tentang impian seorang bocah, lantas beranjak dewasa menekuni pekerjaannya. Tapi di saat yang bersamaan, tokoh lagu ini merasa terabaikan, hingga harus bergulat sedemikian gigih. Rasanya ini adalah refleksi perjalanan karier Mitski sendiri.
Lagu ini mengendap selama sekitar satu tahun hingga pada suatu titik, Mitski merasa perlu membuat album lagi. Dia mengajak lagi Patrick Hyland sebagai produser untuk membangun kembali kariernya yang pernah ia kubur sendiri. Namun, Mitski seperti kebanyakan kita yang mudah kehilangan motivasi selama pandemi sehingga progresnya lambat.
Album ini kelar dalam waktu sekitar tiga tahun. Banyak perubahan selama prosesnya. Semula, sebagian besar lagu berirama rock lambat, atau mendekati country yang pelan. Lagi-lagi, pandemi yang berlarut-larut menentukan corak album ini.
”Aku dan Patrick merasa perlu membuat sesuatu yang besar, sesuatu yang heboh karena berbulan-bulan berada di dalam ruangan terus. Apalagi yang bisa mewakili nuansa itu selain corak musik pop ’80-an,” kata Mitski kepada BBC.
Maka, lagu-lagu di album Laurel Hell mengadopsi warna musik pop ’80-an, mengambil inspirasi dari Giorgio Moroder, Abba, Vangelis, dan Ultravox yang piawai menyuguhkan rasa sedih nan megah dengan permainan synthesizer. Nomor ”Should’ve been Me” adalah contoh yang tepat.
Nuansa serupa juga ada di lagu ”Love Me More” yang terkesan ceria dan centil. Secara musikal, nomor ”The Only Heartbreaker” juga menjanjikan keceriaan yang sama. Tapi ada paradoks dalam hal penulisan liriknya. Lagu yang ”pop banget” ini menempatkan Mitski sebagai antagonis, tokoh yang menyakiti. Ini berkebalikan dengan ”Your Best American Girl” yang membuat pendengarnya simpati pada Mitski yang tersakiti.
Formula lagu Mitski yang mengandung paradoks serta sedikit sinisme masih memikat di Laurel Hell. Album bersampul foto muka Mitski yang entah sedang terbelenggu atau mengalami ekstasi ini laris di pasaran. Billboard mencatat, penjualan fisik album ini merupakan yang terlaris di tahun 2022 hingga Februari bersaing ketat dengan album Once Twice A Melody milik band dream pop Beach House. Selamat datang kembali, Mitski!