Dari Fotografi Merambah Otak
Ve Dhanito menggabungkan sains dan seni sebagai eksplorasi atau penggalian kerumitan tentang neurosains otak kita.
Menuangkan karya seni rupa bisa melalui media apa saja serta berpijak pada tema yang sekalipun tidak pernah diduga, seperti media fotografi dengan tema merambah otak. Di situ seni bertemu sains hingga mengalirkan narasi-narasi keseharian yang cukup reflektif.
Potret seorang gadis dengan tangan kiri memegang sebuah kaca pembesar di depan mata. Tangan kanannya merentang jauh ke depan dan memegang kaca pembesar pula.
Ini metafora kerja otak. Otak seperti kamera menangkap 50 persen realitas, sedangkan 50 persen lainnya diolah sistem saraf di kepala hingga lahirlah sebuah persepsi. Di sinilah awal mula terjadinya perbedaan antarmanusia, karena persepsi seseorang dipengaruhi banyak hal yang saling berkelindan.
Persepsi sebagai hasil kerja kesatuan saraf di kepala yang menyusun dan mengenali, hingga menafsir informasi. Persepsi memberi pemahaman terhadap lingkungan sekitar yang hasilnya berbeda-beda, karena dibentuk perbedaan ingatan, perbedaan pembelajaran, perbedaan kebutuhan, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Potret gadis dengan dua kaca pembesar sebagai salah satu karya yang dihadirkan ke dalam sebuah pameran seni rupa bertajuk Insight oleh fotografer Ve Dhanito (43). Pameran diselenggarakan 5-15 Maret 2022 di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.
”Pengalaman serta kondisi kebutuhan seseorang berpengaruh tatkala otak kita merespons sesuatu. Kerja otak tidak berpikir, tetapi memprediksi sesuatu dengan bekal informasi lama yang dimilikinya,” kata Ve Dhanito, Kamis (10/3/2022) di Jakarta.
Jangan pula disangka otak bekerja untuk mencari kebenaran. Menurut Ve, otak justru bekerja mencari pembenaran. Tugas utama otak sebetulnya tidak untuk berpikir, tetapi berfungsi mengatur organ dan sumber daya internal di dalam tubuh.
”Fungsi utama otak tidak untuk berpikir, bukan pula untuk merencanakan. Otak bisa melakukan hal-hal itu dan kita justru lebih banyak membebani otak untuk terus berpikir dan merencanakan segala sesuatu di luar kehendak tubuh,” ujar Ve, yang menuntaskan studi S-2 Magister Ilmu Teknik Sipil Universitas Indonesia (UI) pada 2006.
Karya potret gadis pembawa kaca pembesar diberi judul ”Beholder Share”. Untuk mengilustrasikan tugas dan fungsi utama otak, Ve menuangkan ke dalam karya yang diberi judul ”The Controller”. Di situ Ve menjepret sebuah stoples yang di dalamnya diimbuhkan foto seorang gadis. Gadis itu terperangkap di dalam stoples. Ve juga menampilkan figur gadis lain di balik stoples.
Latihlah otak
Otak memprediksi, mencari pembenaran, bisa pula menilai sebuah moral atau pesan baik-buruknya sesuatu yang dihadapi. Akan tetapi, kemampuan otak sangat bergantung pada kualitas individu sehingga latihlah otak demi meraih kemampuan-kemampuan itu secara optimal.
Pesan demikian dituangkan Ve Dhanito ke dalam karya yang diberi judul ”Tuning-Pruning”. Ia menjepret tubuh seorang laki-laki meletakkan telapak tangan kanan di dada kiri yang terbuka. Kemudian diimbuhkan foto pohon dengan ranting-rantingnya di atas tubuh itu. Ve menganalogikan otak seperti tumbuhan yang selalu tumbuh setiap waktu.
Titik tumbuh ranting membutuhkan habitat yang baik. Begitu pula tumbuhnya otak perlu habitat yang baik. ”Bahkan, ketika sel-sel otak tidak dilatih, maka sel-sel otak akan mati. Melatih otak bisa dengan kata-kata,” ujar Ve, yang pernah memamerkan karya-karya fotografinya di Taiwan pada 2018.
Melatih otak dengan kata-kata, menurut Ve, menuntun ke tujuan komunikasi yang baik di antara sesama manusia. Komunikasi yang baik menghasilkan sesuatu yang baik.
Dengan perkembangan teknologi informatika terkini, kata-kata makin memuncak. Kata-kata makin mudah mendapat ruang. Kata-kata menjadi begitu mudah dituangkan, tertampung, dan begitu mudah disebarkan kepada orang banyak melalui media sosial. Kita sering menyebutnya, era sekarang sebagai era banjir informasi.
”Perubahan teknologi ini memengaruhi budaya masyarakat,” ujar Ve, yang gemar berolahraga crossed fitness (crossfit), olah tubuh dengan intensitas tinggi menggabungkan latihan kardio dan latihan beban.
Aktifnya Ve ke dalam olah tubuh juga dilandasi pemahaman tentang kekuatan otak yang harus dilatih. Otak dipengaruhi kekuatan dan kesehatan fisik tubuh. Otak juga membangun kondisi mental. Untuk meraih mental yang kuat dan sehat, dibutuhkan kondisi fisik tubuh yang kuat dan sehat pula.
Ve menyinggung kebudayaan masyarakat juga berpengaruh terhadap individu. Daya kreativitas individu dibentuk oleh kebudayaan yang melingkupinya. Dari sinilah Ve menuangkan karya-karya fotografi dengan obyek yang diberi warna glow in the dark (menyala di kegelapan) dengan melibatkan sosok wayang kulit sebagai produk kebudayaan masyarakat Jawa.
Di dalam karya ”Local History”, Ve Dhanito menjepret figur manusia yang tidur telentang. Di sisi kanan kepalanya terdapat wayang. Tampilan figur dituangkan dengan teknik glow in the dark, dengan garis warna-warni. Garis-garis itu membentuk citra figur manusia dan wayang kulit. Di bagian atas kepala manusia terdapat garis-garis glow in the dark pula yang membentuk organ otak.
”Otak kita rata-rata memiliki bobot 1,3 kilogram. Organ ini akan bekerja makin ringan ketika pekerjaannya memprediksi cukup dengan bekal pengetahuan lama yang sudah dimiliki otak dan menjadi keyakinan,” ujar Ve.
Otak akan makin bekerja keras ketika dituntut untuk mengenali dan memprediksi sesuatu yang bertentangan dengan bekal informasi atau keyakinan yang dimiliki. Itu sebabnya, ketika kita menghadapi sesuatu yang bertentangan akan jauh lebih mudah menimbulkan rasa lelah.
”Ketika berurusan dengan orang yang bertentangan dengan otak kita, itu makin melelahkan untuk kerja otak kita,” ujar Ve, yang mengundang seorang ahli dan peneliti genetika molekuler Herawati Supolo Sudoyo untuk membuka pamerannya itu.
Eksplorasi kerumitan
Herawati Supolo menyebutkan, Ve Dhanito menggabungkan sains dan seni sebagai eksplorasi atau penggalian kerumitan tentang neurosains otak kita. ”Neurosains di dalam seni ini sebagai lapangan luas yang belum banyak dieksplorasi,” ujar Herawati.
Seorang ahli neurosains dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Agnes Nauli, membeberkan, pertemuan sains dan seni ke dalam kreativitas akan melahirkan kebaruan (novelty). Ia menyebutkan beberapa nama yang berpendapat demikian. Di antaranya, tokoh dunia filsafat Thomas Kuhn (1922-1996) untuk bidang sejarah sains dan Stanley Cavell (1926-2018) untuk bidang estetika dan kesenian.
Agnes menyinggung pula sosok Leonardo da Vinci (1452-1519). Ia dikenal sebagai saintis di berbagai bidang seperti arsitektural dan paleontologi, tetapi juga sebagai seniman pematung dan pelukis ternama. Tokoh Santiago Ramon y Cajal (1852-1934) disinggung pula sebagai seorang dokter, yang juga kemudian dikenal melahirkan lukisan-lukisan sel neuron yang detail dan cukup indah.
Agnes mengutip pula sebuah pernyataan yang dilontarkan ilmuwan Albert Einstein (1879-1955). Kutipan itu berbunyi demikian, ”Setelah mencapai keterampilan teknis di tingkat lanjut, sains dan seni cenderung menyatu dalam estetika, plastisitas, dan bentuk. Ilmuwan-ilmuwan terhebat adalah juga seniman.”
Antara sains dan seni diibaratkan Agnes sebagai anak kembar yang bisa bermain bersama. Tentu itu melewati penguasaan keterampilan dan proses kreatif tertentu.
Ve Dhanito sekarang tengah memercikkan api permainan itu. Neurosains tentang otak dan karya seni fotografinya tengah bermain bersama. Ini makin menggenapi dunia seni rupa kontemporer kita.