Seni Menjamah Sejarah
Ladang tak terbatas bagi inspirasi dunia seni rupa kontemporer di antaranya bersumber peristiwa sejarah bangsa. Akhirnya, seni menjamah sejarah. Ketidakterdugaan estetika pun bermunculan di situ.
Ladang tak terbatas bagi inspirasi dunia seni rupa kontemporer di antaranya bersumber dari peristiwa sejarah bangsa. Seni lantas menjamah sejarah. Ketidakterdugaan estetika pun bermunculan di situ.
Ada umbi-umbi singkong yang masih utuh menyatu di pangkal batangnya, disusun bergelantungan di pintu masuk ruang pamer. Pengunjung yang datang harus menundukkan badan dan melintas di bawah umbi-umbi itu.
Di lantai, persis di bawahnya, tertulis angka 1 sampai 5. Setiap angka memiliki garis membentang yang menunjukkan pembagian lima ruang pamer. Di situlah digelar pameran bertajuk Daulat & Ikhtiar di salah satu gedung lantai dua dalam kompleks Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Pameran berlangsung antara 1 hingga 30 Maret 2022.
”Pameran ini mempertemukan seni dengan peristiwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949. Tiga perupa dan dua kolektif seni menampilkan karya-karya dengan pendekatan kritis,” ujar kurator pameran Mikke Susanto, Rabu (2/3/2022) di lokasi pameran.
Umbi-umbi singkong yang membuat pengunjung harus menundukkan badan itu bagian karya. Menurut Mikke, singkong menjadi metafora sulitnya pangan untuk menopang para pejuang kita di masa Perang Revolusi Kemerdekaan hingga peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi.
Ketika menuju area pertama di sisi kanan, karya seniman Dedy Sufriady cukup mengentak. Ia memasukkan televisi flat tipis ke dalam struktur beton cor semen. Dari televisi berukuran 50 inci itu, pengunjung bisa menyaksikan film Janur Kuning yang dibuat pada 1979, mengisahkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
”Film ini versi Orde Baru. Di film itu diceritakan Letnan Kolonel Soeharto, yang kemudian menjadi presiden di masa Orde Baru, menjadi perancang atau inisiator Serangan Umum dan saya tidak setuju hal itu,” ujar Dedy. Ia memberi judul karya instalasinya ”Kukutuk Kau Menjadi Batu”. Karya dibuat tahun 2019 dengan dimensi 160 cm x 90 cm x 45 cm.
Film Janur Kuning yang disutradarai Alam Rengga Surawidjaja terbenam cor beton di bagian kiri. Dedy tak rela menyajikan film sepenuhnya karena ia menganggap ada cerita yang tidak sesuai dengan realitas sejarah. Pada intinya, Dedy menolak, bukan Soeharto yang merancang Serangan Umum 1 Maret 1949 seperti dikisahkan di dalam film itu.
Dedy sampai mengutuk televisi yang menampilkan film itu menjadi batu, meski film itu sendiri tidak pernah membatu. Film itu masih tetap berputar di televisi itu. Begitu pula, masih bisa diputar di televisi-televisi lainnya.
Tak terhenti di situ. Dedy kembali menampilkan instalasi seni dengan pendekatan kritis lainnya. Ia menyusun tumpukan buku dengan jumlah sekitar 16.000 buku yang sebagian besar sudah rusak terkena air. Instalasi seberat sekitar 5 ton itu membentuk dinding di sisi kanan ruang pamer.
Dengan karya ini, Dedy ingin menyentuh peran Tentara Pelajar yang semestinya mengenyam pendidikan di bangku sekolah, tetapi harus terlibat di dalam Perang Revolusi Kemerdekaan hingga terjadi peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Instalasi ini diberi judul ”Story X Sorry”.
Dedy juga membuat karya tiga dimensi berbentuk buku yang diberi judul ”Teori Rekonstruksi Neohistori”. Dari sini terlihat kerinduan Dedy tentang rekonstruksi atau pembentukan sejarah baru, sejarah yang bertalian dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Ia memiliki penilaian tersendiri tentang pentingnya Yogyakarta dan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ini. Yogyakarta memiliki heterogenitas masyarakat yang cukup tinggi. Tingkat solidaritasnya pun tinggi. Serangan Umum 1 Maret 1949 didukung dan melibatkan banyak pihak.
”Di situ ada peran Ibu Ruswo. Selama ini saya hanya mengenal nama itu untuk nama jalan di Yogyakarta, ternyata Bu Ruswo ini sosok perempuan yang mengorganisasi dapur-dapur umum selama Perang Revolusi Kemerdekaan di Yogyakarta,” ujar Dedy, lulusan Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 1995-2004.
Kemudian dari masyarakat yang berada di sepanjang Selokan Mataram dapat ditemukan berbagai artefak yang bertalian dengan peristiwa Perang Revolusi Kemerdekaan, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal ini ditampilkan peserta berikutnya, seniman Riyan Kresnadi. Di antaranya berupa kentongan yang digunakan sebagai sarana penghubung di masa perang revolusi.
”Banyak pihak yang semestinya masuk ke dalam neohistori atau pembentukan sejarah baru terkait Serangan Umum 1 Maret 1949,” ujar Dedy, yang menyebut serangan umum tersebut menjadi sejarah besar dalam pembentukan Indonesia dan disaksikan mata dunia pada masa itu.
Perang baru
Menengok sejarah bukan untuk sekadar melihat masa lalu. Peserta pameran Lutse Lambert Daniel Morin menampilkan karya-karya yang ingin menengok perang di masa revolusi fisik kemerdekaan untuk melihat perang baru di masa kekinian.
Lutse mengumpulkan artefak sebanyak tujuh topi baja milik tentara di masa peperangan itu. Kemudian ia membuat karya instalasi seni dengan topi baja tersebut.
”Satu topi baja saya beli dari orang yang mengoleksi di Jepara, kemudian enam lainnya dari pengepul barang rongsokan di Yogyakarta,” ujar Lutse, yang juga akademisi di ISI Yogyakarta.
Lutse menyusun tujuh topi baja menjadi tujuh karya instalasi yang diberi judul ”Echo War” 1 sampai 7. Dari peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Lutse mengajak publik untuk menjadikan peristiwa itu sebagai awal mula perang baru penyelamatan bumi.
Karya instalasi ”Echo War 5” ingin menyampaikan, peperangan yang saling menghancurkan sudah usai. Saatnya sekarang berperang membangun peradaban baru, peradaban yang menyelamatkan, baik manusia maupun lingkungan hidupnya.
Karya itu senada dengan karya lainnya, seperti ”Echo War 3”. Di situ ada topi baja yang terbungkus lilitan tembaga hingga menjuntai ke atas seperti membentuk serumpun pohon. Lilitan itu menembus kaca dan membentuk rumpun pohon. Lutse menggambarkan kekuatan baru untuk menembus batas. Kekuatan baru itu lagi-lagi sebagai perang baru untuk menyelamatkan bumi.
Karya peserta berikutnya, kolektif Tempa dan kolektif Broken Pitch, memberi kesegaran baru. Tempa menghadirkan beragam instalasi seni gerabah dilengkapi artefak dapur umum perang revolusi fisik kemerdekaan yang menjadi koleksi museum.
Kolektif Broken Pitch menampilkan potongan lukisan anak-anak yang menjadi murid pelukis istana Dullah semasa perang revolusi itu. Potongan lukisan figur itu dicetak seukuran manusia dewasa, kemudian ditempelkan di sebuah papan dan didirikan tegak. Potongan lukisan figur diberi lubang di bagian wajah. Pengunjung pun bisa berpose di situ dengan wajahnya.
Tak pelak peristiwa pameran seni bertemu sejarah ini menampilkan berbagai koleksi museum lainnya yang cukup menarik. Mikke menunjukkan koleksi museum berupa sebuah buku kode milik Umar Said Noor.
”Dari sinilah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta sampai ke Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat, hingga kemudian disiarkan dan sampai terdengar PBB bahwa Pemerintah Republik Indonesia masih ada,” ujar Mikke.
Buku kode itu dilengkapi sebuah tas. Di sampul buku kode tertulis ”Djanoko” B. Umar Said Noor kemudian dikenal sebagai tokoh persandian yang memiliki peran besar dalam menyampaikan informasi rahasia, termasuk seputar peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Pameran bersumber dari satu peristiwa sejarah ini ternyata menyingkap banyak kemungkinan ekspresi seni rupa kontemporer. Di luar itu, tentu masih banyak lagi peristiwa sejarah lainnya yang mungkin sudah dibengkokkan, yang bisa dibedah. Seni rupa kontemporer masih memiliki ladang garapan yang luas.