Belajar dari Maestro Dunia
Pameran karya Raffaello memunculkan nuansa beraneka keilmuan, seperti teologi, filsafat, psikologi, dan arsitektural. Karya dia juga berenang di antara kesakralan dan keduniawian.
Sebuah instalasi video seni dari lukisan Raffaello Sanzio da Urbino (1483-1520) menghidupkan kembali karya-karya maestro dunia yang juga dikenal sebagai Raphael, satu di antara trinitas seni periode renaisans Italia selain Leonardo da Vinci dan Michelangelo. Raffaello menguatkan pentingnya dunia gagasan, yang bahkan terlihat sampai merembet pada usaha-usahanya menduniawikan kesakralan.
Seorang bocah laki-laki dilukiskan Raffaello sedang mengangkat lutut kaki kanan. Bocah itu sedang berupaya mematahkan sebuah ranting kayu dengan lututnya itu. Raffaello menempatkan posisi bocah itu persis di samping kiri tokoh Yosef atau Yusuf, yang sedang menjalani prosesi pernikahannya dengan Maria. Di kemudian hari Yosef dan Maria inilah yang menjadi orangtua Yesus Kristus, yang selanjutnya dimuliakan umat Kristen.
Adegan ini disertakan di dalam instalasi video lukisan Raffaello yang berjudul ”Pernikahan Perawan Maria”. Lukisan dengan cat minyak berangka tahun 1504 ini berada di bagian depan dari enam area pameran instalasi seni video yang bertajuk Magister Raffaello.
Kedutaan Besar Italia dan Pusat Kebudayaan Italia menggelar pameran ini di Galeri Ciputra Artpreneur, Jakarta. Ada sekitar 50 lukisan Raffaello dikemas dengan teknik digital dan disajikan sesuai ukuran aslinya di dalam pameran yang berlangsung 25 Februari hingga 31 Maret 2022.
”Pameran ini dirancang Pemerintah Italia untuk merayakan 500 tahun Raffaello yang meninggal pada 1520. Magister Raffaello digelar di berbagai negara, termasuk Indonesia, dan kita beruntung bisa belajar banyak hal dari maestro dunia ini,” ujar Rina Ciputra Sastrawinata, Presiden Direktur Ciputra Artpreneur, Jumat (25/2/2022), di Jakarta.
Sehari sebelumnya, secara virtual digelar konferensi pers untuk pembukaan pameran ini. Di antaranya hadir Rina Ciputra, Duta Besar Italia untuk Indonesia Benedetto Latteri, juga Maria Battaglia sebagai Atase Kebudayaan Kedutaan Italia dan Direktur Pusat Kebudayaan Italia.
Secara virtual, pameran Magister Raffaello juga bisa diakses melalui aplikasi Magister Art. Jelena Jovanovic yang mengelola muatan aplikasi tersebut turut hadir. Selain itu, hadir restorator lukisan asal Italia, Michaela Anselmini, dan akademisi serta pematung Indonesia, Dolorosa Sinaga.
Mahakarya pertama
Raffaello membuat lukisan ”Perkawinan Perawan Maria” pada saat menginjak usianya yang cukup muda, 21 tahun. Lukisan ini kemudian menjadi penanda mahakarya pertama Raffaello hingga akhir hayatnya yang cukup singkat, 37 tahun.
Lukisan ”Perkawinan Perawan Maria” dibuat ketika Raffaello berada di Citta del Castello setelah berpindah dari kota kelahirannya, Urbino. Latar lukisan ini menarik, yakni sebuah bangunan yang sebelumnya ada di sebuah lukisan yang cukup terkenal waktu itu, tetapi hingga kini tidak dikenali siapa nama pelukisnya.
Lukisan yang dimaksud, La Citta Ideale. Ini sebuah bangunan melingkar dua lantai dengan atap berbentuk kubah. Ini sebuah metafora bangunan yang dibutuhkan untuk membentuk kota yang ideal pada waktu itu.
Di pelataran bangunan itu dilukiskan seorang imam sedang menjalankan prosesi pernikahan Yosef dan Maria. Adegan dipilih ketika Yosef hendak mengenakan cincin di jari manis Maria di hadapan imam tadi.
Beberapa perempuan berada di belakang Maria, sedangkan di belakang Yosef tampak beberapa laki-laki. Ini termasuk bocah yang sedang mematahkan ranting dengan lutut kaki kanannya yang berada menyamping di sisi kiri Yosef.
Kisah perkawinan Yosef dan Maria tidak pernah disebutkan di dalam kitab suci umat Kristen, yakni Injil. Raffaello menunjukkan gagasan yang cukup berani dan imajinatif. Lukisan ini sepertinya ingin menonjolkan nilai arsitektural yang sedang digandrungi di masa itu berupa La Citta Ideale. Akan tetapi, Raffaello dengan penuh percaya diri mengembangkan imajinasi kesakralan bagi umat Kristen tentang sosok Yosef dan Maria. Raffaello menduniawikan sosok sakral itu ke dalam peristiwa perkawinan yang cukup manusiawi. Dihadirkan lukisan bocah sedang mematahkan ranting kayu ini memperkuat keduniawiannya. Bahkan, ini cukup menggelitik dan memancing aneka tafsir.
Mungkin saja, bocah itu sedang bermain dan tidak memedulikan adanya peristiwa perkawinan Yosef dan Maria. Perkawinan di pelataran sebuah bangunan kota La Citta Ideale memang menunjukkan kewajaran situasi sosial. Raffaello juga melukiskan latar aktivitas warga lain yang tidak memedulikan peristiwa perkawinan itu.
Bagi perestorasi seni Michaela Anselmini, bocah yang mematahkan ranting kayu itu memiliki metafora tersendiri. Raffaello ingin menunjukkan suasana hati Yosef yang mampu mematahkan keraguan yang dialami sebelumnya.
Di dalam Injil dikisahkan Maria mengandung selagi menjadi tunangan Yosef atau belum resmi menjadi istrinya. Yosef sempat ragu untuk meneruskan hubungan itu hingga ke jenjang perkawinan. Akan tetapi, dikisahkan di dalam Injil bahwa malaikat utusan Tuhan berhasil meyakinkan Yosef bahwa Maria mengandung atas kehendak Tuhan.
Ranting patah ibarat hati Yosef. Yosef mampu mematahkan keraguannya terhadap Maria. Di sinilah kepiawaian Raffaello muda tentang dunia gagasan dihadirkan melalui lukisannya.
Lukisan ini membuat Raffaello disejajarkan dengan gurunya waktu itu, yaitu Perugino. Di hari-hari berikutnya, Raffaello terus mengembangkan kemampuan ini.
Simbol religiositas
Pameran keliling dunia Magister Raffaello dikuratori Claudio Strinati, seorang ahli sejarah seni dalam lukisan renaisans. Ia menampilkan kesan kuat tentang Raffaello yang menyentuh simbol religiositas dan disajikan di dalam lukisan dengan napas kontemporer di masa sekitar 500 silam.
Suasana seperti ini kental terasa di area ketiga ruang pameran. Claudio Strinati menampilkan salah satu karya Raffaello di Firenze. Setelah beberapa tahun berkarya di Citta del Castello, Raffaello berpindah ke Firenze.
Di Firenze, ada keluarga Baglioni sebagai orang terkaya yang ingin memesan lukisan kepada Raffaello. Mereka meminta Raffaello melukiskan Grifonetto Baglioni, salah satu anak di keluarga itu yang meninggal.
Raffaello tidak serta-merta menghadirkan sosok Grifonetto di bidang lukisannya. Raffaello kembali melukiskan simbol religiositas berupa sosok Yesus Kristus yang wafat dan diturunkan dari salib-Nya untuk dimakamkan. Di situlah Raffaello menghadirkan sosok Grifonetto secara mengejutkan. Grifonetto dilukiskan sedang memegangi salah satu bagian kain pembungkus tubuh Yesus Kristus yang terkulai.
Adegan ini disebut-sebut sebagai sekuens yang dramatis dan liris. Raffaello berkontribusi besar terhadap penggambaran simbol religiositas yang ditautkan dengan kehendak kekinian di masanya ke dalam sebuah lukisan.
Hal ini relevan dengan konteks seni rupa kontemporer yang berdengung selama beberapa dekade sampai sekarang. Sejak sekitar 500 tahun silam, Raffaello sebetulnya sudah membangkitkan gelora dan revolusi lukisan kontemporer.
Claudio Strinati melanjutkan di area berikutnya, karya-karya Raffaello tentang sosok-sosok orang yang memesan karya lukisan Raffaello. Di situ ada lukisan potret diri sosok Doni dan pasangannya, bertajuk ”Madonna del Cardellino”, yang ditera ke dalam karya digital.
Selain lukisan laki-laki dan perempuan awam lainnya, karya Raffaello tentang sosok Bunda Maria, ibu Yesus Kristus, juga ditampilkan. Dolorosa Sinaga mengamati kepiawaian Raffaello dari sisi pemilihan warna.
”Coba lihat, warna-warna yang digunakan Raffaello tidak pernah menggunakan warna yang mudah didapat. Hampir semua warna yang digunakan itu hasil pengolahan warna yang cukup unik,” ujar Dolorosa, seraya menunjukkan bagian tertentu lukisan Raffaello yang dilukis dengan warna kehijau-hijauan mendekati warna sedikit kuning keemasan.
Raffaello, bagi Dolorosa, sekaligus menunjukkan keahlian di dalam mengolah warna cat minyak dari alam. Ia menyuguhkan percampuran warna yang spesifik dan menarik.
Kisah berikutnya, dari Firenze kemudian Raffaello berpindah ke Roma. Di situ Raffaello mendapat penugasan berkarya dari Paus, puncak kekuasaan tertinggi Gereja Katolik di Vatikan, Roma. Beberapa karya lukisan terkenal disajikan, di antaranya ”Sekolah Athena”, ”Pengusiran Heliodorus dari Bait Suci”, dan ”Kebakaran Borgo”.
Kurator pameran ini ingin menyuguhkan pesona karya Raffaello secara utuh yang terus berkelindan. Di situ muncul nuansa beraneka keilmuan seperti teologi, filsafat, psikologi, dan arsitektural.
Karya lukisan Raffaello yang berjudul ”Transfigurasi” dihadirkan di area enam, area terakhir. Ternyata ini mahakarya terakhir yang diciptakan menjelang Raffaello meninggal tanpa diketahui sebab penyakit yang jelas di usia 37 tahun.
Lukisan ”Transfigurasi” berkisah tentang Yesus bersama dua nabi lainnya, Nabi Musa dan Nabi Elia. Mereka seperti bersinar dan melayang di udara. Di bagian bawahnya terdapat para murid Yesus yang melihat takjub. Di bawahnya lagi dilukiskan umat yang juga melihat takjub ke arah Yesus, Musa, dan Elia tersebut.
Di situlah Raffaello berakhir. Akan tetapi, karya-karyanya tiada akhir mengingatkan di antara kesakralan dan keduniawian sebenarnya bukan hal terpisahkan.