Ilustrasi-ilustrasi Ipong terkadang justru lebih mencekam ketimbang tulisan cerpennya. Itulah daya Ipong dalam mengilustrasikan aspirasi, perasaan, dan kemauan orang lain yang dituangkan di dalam cerpen.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·6 menit baca
Satu-satunya goresan ilustratif Ipong Purnama Sidhi (1955–2021) sebagai karya seni digital berada di layar komputer tablet milik menantunya, Agung Prabowo. Sewaktu membikinnya, Ipong seraya tertawa lepas sempat berujar, ”Coba saja zaman dulu ada beginian. He-he-he…. Bikin ilustrasi tiap hari jadi lebih gampang.”
Ipong menemukan kesegarannya kembali. Kenangan berjibaku sebagai ilustrator harian Kompas antara 1990 dan 1995 kembali menguar. Peristiwa menggambar di atas layar komputer tablet ini terjadi menjelang hari-hari terakhir Ipong, yang berpulang pada 9 November 2021 di Bali. Sekelumit peristiwa ini dituturkan Agung Prabowo, Kamis (17/2/2022), dalam pembukaan pameran seni rupa ”Garis-garis Ipong Purnama Sidhi” di Bentara Budaya Jakarta secara virtual.
Pameran ini sekaligus menandai 100 hari berpulangnya Ipong. Karya seni digital satu-satunya itu memancarkan gairah Ipong yang tak kunjung padam. Batinnya selalu terikat dengan masa-masa aktif sebagai ilustrator cerpen koran Kompas yang terbit setiap hari Minggu. Peristiwa menggores di layar komputer tablet menerbangkan ingatan dan sukacita Ipong tatkala menjalani tugas sebagai ilustrator.
Sebelum menjalani tugas itu, Ipong sempat menjadi desainer buku untuk percetakan Kompas Gramedia antara tahun 1982 dan 1989. ”Ipong terlihat selalu bersemangat setiap kali mengerjakan ilustrasi cerpen pada waktu itu,” ujar Efix Mulyadi, pensiunan wartawan Kompas yang menjadi kurator Bentara Budaya Jakarta sekaligus kurator pameran ini.
Selain karya seni digital tadi, pameran Garis-garis Ipong Purnama Sidhi menampilkan 38 lukisan di atas kanvas disertai beberapa karya ilustrasi, karya grafis, lukisan di piring keramik, dan arsip kekaryaan Ipong lainnya. Ipong menawarkan kegairahan yang abadi. Di situ ditampilkan pula lini masa Ipong dalam menjalani 66 tahun masa hidupnya.
Ipong lulus dari pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta pada 1981. Waktu itu ISI masih sebagai Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI Yogyakarta. Selepas tugas sebagai staf artistik Kompas, sejak 1 April 1995 Ipong menjadi Kepala Bidang Pengelolaan Seni Budaya Bentara Budaya Jakarta. Ini mengawali derap langkah panjang Ipong dalam memperluas tapak jalan keseniannya.
Merawat semangat
Selama beberapa pekan sebelum kepergiannya, Ipong tinggal di sebuah vila yang disewa di dekat tempat tinggal putri pertamanya, Sekarputi Sidhiawati, di Tegalalang, Ubud, Bali. Agung Prabowo, suami Sekarputi, menyatakan sangat menyukai karya-karya Ipong sehingga sekuat tenaga ia merawat semangat bapak mertuanya itu untuk terus berkarya.
”Sampai beberapa kali beliau menggambar bersama cucu-cucunya dengan penuh semangat. Saya mempersiapkan kertas-kertas dan tinta dari studio, termasuk menawarkan komputer tablet untuk terus memberikan stimulasi berkarya,” ujar Agung, yang juga seorang seniman grafis.
Agung mengajarkan cara melukis di atas komputer tablet itu. Ipong pun tekun mengikutinya. Secara perlahan Ipong menorehkan garis-garis hitam dan merah, hingga akhirnya membentuk sebuah figur wajah. Sesaat kemudian Ipong tertawa lepas. Ipong memang dikenal ramah, murah senyum, dan banyak tertawa.
Kesehariannya memang selalu menunjukkan rasa bahagia. Akan tetapi, kala itu tawa Ipong tampak lebih lepas. Ia seperti menerbangkan ingatannya ke masa-masa masih aktif ketika setiap hari merancang dan membuat ilustrasi untuk cerpen koran. Melalui teknologi komputer tablet itu, Ipong mendendangkan sebuah kemenangan dan harapan baru akan dunia ilustrasi.
Peristiwa ini menandakan perjuangan yang tidak mudah dijalani Ipong dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai ilustrator. Jejak karyanya hanya hadir selama periode lima tahun menjadi staf artistik Kompas. Akan tetapi, beberapa ilustrasi Ipong masih hadir untuk cerpen Kompas pada era tahun 2000-an.
Karya-karya ini sempat ditampilkan beberapa di buku pameran tunggal Ipong yang berjudul Kakang Kawah, Adhi Ari-ari tahun 2015. Di antaranya ilustrasi berjudul ”Telepon dari Aceh” (dimuat Kompas, 8/8/1999), ”Umairah” (6/2/2000), ”Seorang Wanita dengan Samaran Senja” (4/3/2000), dan ”Lelaki yang Mati” (30/4/2000).
Salah satu penulis di buku itu, Agus Dermawan T, menyinggung ilustrasi-ilustrasi Ipong terkadang justru lebih mencekam ketimbang tulisan cerpennya. Itulah daya Ipong dalam mengilustrasikan aspirasi, perasaan, dan kemauan orang lain yang dituangkan di dalam cerpen.
Dengan karya-karya ilustrasinya itu, Ipong menunjukkan kemampuan daya empatinya yang luar biasa kuat. Ipong sekaligus menunjukkan sebuah ketaatan terhadap kisah milik orang lain yang tidak bisa lagi ditawar-tawar. Ipong membuat ketaatan itu bukan menjadi sebuah belenggu. Di situ justru Ipong menemui kehendak bebasnya.
Efix Mulyadi sejak lama mengamati karya-karya ilustrasi Ipong. Ia melihat ada letupan kebebasan Ipong. Ia selalu menggambar figur atau suatu bentuk, tetapi figur dan bentuk ini seolah menjadi tidak penting. ”Di dalam setiap karya ilustrasinya, Ipong selalu membuat ledakan emosi. Ia menunjukkan dirinya sebagai seniman yang memiliki kebebasan sepenuhnya walaupun bekerja di sebuah redaksi koran yang penuh dengan ikatan,” ujar Efix.
Letupan kebebasan dan ledakan emosi Ipong hadir sebagai garis-garis yang bebas. Bahkan, Efix membahasakan garis-garis kebebasan Ipong itu seperti awut-awutan atau berantakan. Ipong seperti semau-maunya sendiri dalam menorehkan garis bebas berantakan menjalari tiap ruang sela ataupun tubuh figur dan bentuk yang dibuatnya secara deformatif pula. Beberapa lukisan Ipong yang dihadirkan di dalam pameran ini masih kuat mengesankan Ipong yang seperti berkarya semau-maunya.
Namun, Efix mengingatkan, lukisan-lukisan Ipong itu terbangun dan terasah oleh pengalaman selama puluhan tahun dalam membuat ilustrasi di sebuah redaksi koran. ”Karya lukisan Ipong memang seperti semau-maunya dan menjadi seolah-olah gampang. Tidak demikian halnya karena sebelum itu Ipong selama puluhan tahun latihan mengonstruksi bentuk lewat ilustrasi cerpen,” ujar Efix.
Satu lukisan terbesar Ipong ditampilkan di dalam pameran ini. Lukisan itu tanpa judul (Untitled 4), dibuat pada 2020 dengan media campuran di atas kanvas berukuran 290 kali 200 sentimeter. Ipong membentuk figur sentral berupa seorang laki-laki dengan mata terpejam, sebelah tangan kanannya mendekap dada sebelah kiri. Ipong melukiskan seorang lelaki dengan kepasrahan total. Figur-figur sentral di lukisan Ipong seperti ada di karya-karya sebelumnya itu cenderung mengilustrasikan dirinya sendiri.
Mungkin saja Ipong sedang melukiskan dirinya sendiri dalam kepasrahan total, dalam penyerahan diri sepenuhnya. Di sekelilingnya dilukiskan figur wajah-wajah bertopeng. Semua matanya terbuka. Mereka seperti ingin menyapa dan menghibur lelaki pasrah itu. Ipong melukis pula seorang perempuan bertopeng muka warna putih di sisi kanvas sebelah kanan. Perempuan itu mengulurkan tangan kirinya yang dicat dengan warna hijau dan bertato.
Derai gelombang rambut setiap figur dilukiskan Ipong penuh nuansa semarak. Lelaki yang pasrah menampilkan sebuah ironi. Ia lelaki yang larut dalam kesenyapan. Matanya terpejam menatap gelap di tengah kesemarakan penuh warna, di tengah gegap gempita, di tengah riang ria hiburan serta sapaan manusia-manusia bertopeng. Ipong memainkan ironi kehidupan. Hingga pada masa-masa akhir hidupnya, Ipong menemukan kesadaran akan rapuhnya penglihatan matanya. Akan tetapi, mata batinnya sudah terasah. Mata batinnya mampu menatap dengan jelas setiap peristiwa kehidupan yang terjadi. Ipong adalah mata batin kita.