Seni ”Plasticology” Berbekal Mitologi
Bayak membuat karya ”plasticology” bukan demi mengikuti tren global. Namun, ia terdorong oleh kekuatan mitologi Gajahmina dan Naga.
Mitologi masih ampuh. Ia masih memiliki daya dalam menghadirkan inspirasi serta napas berkreasi seni. Ini seperti dijalani seniman Made Muliana (41) asal Bali yang memegang erat sebuah mitologi demi menjalankan kredo plasticology, berkarya seni dengan bahan limbah plastik.
Lelaki lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dengan program studi Seni Rupa Murni tahun 2006 ini akrab disapa Made Bayak. Ia lahir dan tumbuh di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar, Bali. Kini, Bayak menetap dan berkarya di Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, masih di wilayah Gianyar.
Selain sebagai seniman, ia dikenal pula sebagai aktivis lingkungan yang banyak menggelar edukasi maupun kegiatan bersih-bersih lingkungan dari limbah plastik. Limbah-limbah plastik yang ditemukan lalu diolah dan dijadikan bahan untuk karya seni seperti lukisan, patung, atau seni instalasi.
Inilah proyek plasticology Made Bayak. Di sepanjang profesi berkesenian dalam rentang 20 tahun terakhir, Bayak sudah menampilkan karya-karya plasticology di Napoli (Italia), Hamburg (Jerman), beberapa kota di Belanda, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Bayak menandaskan, plasticology bukan demi mengikuti tren global. Ia terdorong oleh kekuatan sebuah mitologi. Salah satunya, mitologi Gajahmina. Gajahmina menjadi mitos di dalam keyakinan Bayak sebagai makhluk bertubuh ikan dan berkepala gajah. Makhluk air ini diyakini sebagai kekuatan dahsyat Dewa Baruna, penguasa lautan, dalam usaha-usaha penyelamatan dunia.
”Dari sinilah saya terinspirasi untuk selalu memuliakan Gajahmina dengan jalan memuliakan air. Caranya dengan mengangkat persoalan yang ada sekarang, yaitu menangani makin banyaknya limbah plastik yang akhirnya mencemari air,” ujar Made Bayak, Kamis (10/2/2022), sehari menjelang penampilannya di acara Pesona Indonesia–Plasticology Made Bayak, hasil kerja sama Bentara Budaya dan Radio Sonora FM.
Pesona Indonesia menyuguhkan perbincangan dengan Made Bayak yang juga ditayangkan melalui kanal Youtube Bentara Budaya dan Radio Sonora FM.
Tanpa plastik
Perbincangan demi perbincangan tentang penanganan limbah plastik dijalani Bayak sebagai konsekuensi perjuangan. Sesekali ia mengajak komunitas untuk bergerak ke tempat-tempat yang harus dibersihkan dari limbah plastik. Limbah itu kemudian diolah menjadi karya seni.
”Saya sering mengawali perbincangan dengan periode Bali ketika tanpa plastik. Orang Bali ketika itu mengambil air masih dengan menggunakan jun atau gerabah, membungkus makanan dengan daun pisang atau upih dari pelepah pinang, lalu batok kelapa digunakan untuk mangkuk,” ujar Bayak.
Periode Bali tanpa plastik ditengarai berlangsung hingga tahun 1920 sampai 1940-an. Bali ketika itu memiliki lingkungan air dan tanah terbebas dari limbah plastik. Air sungai masih mengalir bersih dan digunakan warga untuk mandi. Limbah rumah tangga dibuang ke dalam lubang tanah dan dikubur.
Limbah-limbah tanpa plastik itu mudah terurai dan kembali menjadi tanah. ”Sewaktu kecil saya mulai mencemaskan banyaknya orang mandi di sungai dengan membawa sampo di dalam sachet kemasan plastik. Saat itulah terjadi masa-masa peralihan di Bali. Makin banyak orang menggunakan plastik dan mencemari air sungai,” ujar Bayak, yang sekarang banyak menjumpai bukit-bukit sampah plastik di Bali.
Limbah plastik juga mulai banyak tersangkut di kiri kanan sungai. Selebihnya, limbah plastik hanyut dan terkumpul di laut. Lautan sebagai ruang hidup mitologi Gajahmina menjadi tempat pembuangan akhir sampah plastik. Bayak sempat membuat patung Gajahmina dari limbah plastik.
Selain itu, ada mitologi lain yang menancap kuat di benak Bayak, yaitu Segara Gunung. Segara bermakna sebagai lautan. Segara dan dan gunung itu dihubungkan makhluk mitologi Naga. Ekor Naga ada di danau-danau yang berada di wilayah gunung, sedangkan mulut naga ada di muara sungai yang bertemu laut.
”Mitologi Naga sebagai sungai yang memberi kehidupan bagi manusia,” kata Bayak.
Dalam lintasan ingatannya, Bayak pernah menjumpai sebuah peta kuno Bali tentang mitologi Naga sebagai sungai. Naga itu sebagai sungai Ayung dan sungai Pakerisan yang ada di Gianyar. Naga sebagai sungai Ayung memiliki ekor di Danau Bratan, Tamblingan, dan Buyan. Kemudian sungai itu mengalir menuju laut di pantai Sanur, Gianyar. Sungai Pakerisan mengalir dari Danau Batur menuju laut di Pantai Keramas, Gianyar.
Mitologi Naga menginspirasi Bayak untuk membuat seni instalasi patung naga sepanjang sekitar 15 meter dari limbah plastik. Ia memberi judul karya itu ”Rainbow Dragon” atau ”Naga Pelangi”. Karya ini pernah dipamerkan di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda, selama setahun antara 2019 dan 2020.
”Naga Pelangí” mengisyaratkan sungai-sungai yang berwarna-warni karena tercemari limbah plastik yang berwarna-warni.
Saat pembukaan pameran itu, Bayak menampilkan tarian kontemporer. Ia menari diiringi musik khas Bali dengan para penabuh yang kebetulan tinggal di Belanda. Bayak membawa gulungan plastik transparan. Ia menari, kemudian melilitkan lembaran plastik transparan itu ke tubuh para penabuh musik.
Para penabuh terlilit plastik hingga tidak bisa bergerak. Musik pun akhirnya terhenti. Lewat pertunjukan itu Bayak menggedor hati khalayak untuk lebih peduli terhadap kebersihan sungai dari limbah plastik. Limbah plastik sangat berbahaya. Ia bisa menghentikan kehidupan manusia.
Memilah
Bayak memilah dan memilih jenis limbah plastik untuk setiap rancangan karya. Ada sesuatu yang menarik. Ia tidak mau memanfaatkan segala jenis limbah plastik demi menghasilkan setiap karya.
”Limbah plastik itu banyak jenisnya. Untuk menciptakan karya seni, saya hanya menggunakan limbah plastik yang nyaris tidak ada harganya,” ujar Bayak.
Limbah plastik banyak yang bisa didaur ulang. Contohnya, sebagian besar botol-botol plastik dapat didaur ulang sehingga jenis plastik ini tidak pernah digunakan Bayak untuk setiap karyanya. Bayak memilih limbah plastik yang tidak bisa didaur ulang, seperti limbah plastik keresek, label botol plastik, atau plastik pembungkus makanan yang berlapis aluminium.
”Ketika menjual limbah botol pastik, label-label kemasan juga harus dilepas. Label-label kemasan ini tidak laku untuk didaur ulang sehingga saya gunakan untuk bahan karya seni,” ujar Bayak.
Bayak menjadikan limbah plastik sebagai lembaran yang direkatkan. Lembaran-lembaran limbah plastik bisa dijadikan pengganti kanvas lukisan. Begitu pula, lembaran limbah plastik itu digunakan sebagai lapisan luar patung-patung yang dibuatnya.
Ketika dijadikan sebagai pengganti kanvas lukisan, Bayak menempuh cara yang unik. Limbah-limbah plastik yang berwarna-warni itu membentuk tekstur tersendiri. Tekstur-tekstur itu kemudian dimanfaatkan sebagai bagian dari lukisannya.
Ide lukisan akan menyesuaikan tekstur plastik yang terbentuk, meski ia tetap menggunakan cat lukis untuk menyempurnakan lukisannya itu.
Melalui berbagai pertemuan atau workshop, Bayak sering mengajarkan metode melukis dengan terlebih dahulu mencermati tekstur plastik yang terbentuk. Bayak berhasil meraih inspirasi dari mitologi-mitologi, senyampang menggugah publik dari persoalan-persoalan kekinian. Bayak menunjukkan kreasi seni yang tanpa batas.