Lagu baru ”Black Summer” menjadi pelepas dahaga rindu bagi jutaan penggemar Red Hot Chili Peppers. Tak hanya membayar rindu, lagu baru itu bahkan juga menjelma menjadi mesin waktu nostalgia.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Kala realitas berjalan tak menyenangkan, sebagian manusia memilih lari dengan menengok ke belakang, mencari kenangan indahnya. Begitu juga dengan pilihan musik. Saat kurang selera dengan musik hari ini, lagu di tahun lawas pun jadi pilihan.
Kombinasi membuat lagu baru dengan formula lama yang dirindukan penggemar itulah yang dilakukan Red Hot Chili Peppers (RHCP) dalam lagu teranyarnya berjudul ”Black Summer”, dirilis 4 Februari lalu.
Setelah enam tahun berselang dari album terakhir mereka The Gateaway, akhirnya band rock asal Los Angeles, Amerika Serikat, itu meluncurkan karya terbarunya. Tunggalan ini bakal mengawali peluncuran album baru mereka berjudul Unlimited Love yang akan dirilis 1 April nanti. Ini bakal jadi album ke-13 band yang terbentuk sejak 1984 itu.
Lagu baru itu jelas menjadi pelepas dahaga rindu bagi jutaan Rockinfreakpotamus, sebutan para penggemar RHCP. Tak hanya membayar rindu, lagu baru itu bahkan juga menjelma menjadi mesin waktu nostalgia.
”Black Summer” bagaimanapun punya DNA suara yang dirindukan oleh para penggemar. Tengok saja bagian awal lagu yang dimulai dari petikan dengan notasi ciri khas sang gitaris, John Frusciante. Suara efek gitar yang menggema (echo) dengan notasi blues ini hilang dalam dua album terakhir RHCP, selepas kepergian Frusciante dan diganti Josh Klinghoffer.
Kembalinya Frusciante ke dalam band menggusur Klinghoffer membuat suara khas band yang dirindukan dan terus dikenang penggemar itu pun kembali jadi nyata. Permainan apik Frusciante itu berpadu dengan suara khas sang vokalis, Anthony Kiedis, yang lempeng tetapi empuk. Vokal Anthony, yang pada November ini usianya berkepala enam, masih terdengar prima dan konsisten seperti puluhan tahun lalu sehingga tetap dicintai penggemarnya.
Kalaupun ada yang disesalkan penggemar barangkali permainan bas dari Michael ”Flea” Balzary yang cenderung datar sepanjang lagu. Padahal, biasanya, permainan dia sangat liar dengan rentetan cabikan yang garang.
Permainan bas Flea rasanya memang dibuat biasa saja agar tidak menutupi suara gitar Frusciante yang terdengar dominan sepanjang lagu. Tampaknya, ”Black Summer” sangat ingin menonjolkan kembalinya sosok Frusciante dan suara gitar khasnya. Biar begitu, permainan bas Flea masih yahud bersanding dengan ketukan dan suara snare drum yang khas dari sang penabuh drum, Chad Smith.
Dengan kombinasi itu, tak heran reaksi berbagai penggemar di seluruh dunia pun senada. Mereka seperti dibawa oleh mesin waktu ke masa lalu, tetapi mereka tetap berada di kenyataan hari ini. ”Black Summer” membawa penggemar kembali ke belasan tahun lalu kala mendengar lagu-lagu RHCP dalam album By The Way dan Stadium Arcadium.
Komentar mereka rata-rata begini, ”Lagu ’Black Summer’ mengingatkanku pada masa-masa sekolah dan masa-masa mudaku.” Tak berlebihan rasanya sebab album By The Way dirilis pada 2002 dan Stadium Arcadium pada 2006. Mereka yang mendengarkan album itu kala sekolah atau masih muda kini sudah beranjak dewasa. Saat tumbuh dewasa mereka mendengarkan lagu-lagu dari RHCP sehingga membekas dalam benak dan hati mereka.
Merekatkan kembali
Upaya menyentuh kembali sisi sentimental kenangan penggemar yang diwujudkan jadi kenyataan, tak lepas dari reuni formasi emas band ini. Bukan cuma Frusciante yang ”pulang kampung”, tetapi juga produser bertangan dingin Rick Rubin yang kembali dipercaya untuk membidani ”Black Summer” dan seluruh lagu di album Unlimited Love.
Rick mulai menjadi produser RHCP sejak 1991. Tangan dinginnya ikut membidani enam album yang menjadi masa-masa kejayaan Chili Peppers, seperti Blood Sugar Sex Magik (1991), Californiacation (1999), By The Way, dan Stadium Arcadium.
Memang Rick sepertinya menjadi jaminan mutu kesuksesan band rock dunia, buktinya dia juga pernah memproduseri sejumlah band rock kenamaan, seperti Aerosmith, System of a Down, Limp Bizkit, Slipknot, dan Audioslave.
Suara dan konsep bermusik RHCP sempat hilang pada dua album terakhir mereka, yakni I’m with You (2011) dan The Gateaway (2016). Terkhusus pada album The Gateaway, RHCP mencoba gaya bermusik baru, yakni lebih banyak memadukan unsur tekno dan hiphop. Mereka bahkan menggusur Rick dengan Brian Joseph Burton atau yang lebih dikenal sebagai ”Danger Mouse” yang banyak membidani musik hiphop. Hasilnya, banyak penggemar yang tidak terlalu puas dengan gaya musik itu.
Pilihan mengubah gaya bermusik dilakukan beberapa band rock belakangan ini seperti Bring Me The Horizon (BMTH) dan Fall Out Boys (FOB). Belakangan BMTH lebih kental menyuguhkan musik pop-electronic dance music (EDM) meninggalkan kegarangan metal-emo di awal kemunculannya pada album perdananya 2006. Begitu pula FOB yang kini tampil lebih pop, sebelumnya lebih pop-rock-emo.
Cara ini memang diambil band-band rock untuk menggaet penggemar baru dan mencoba relevan di tengah belantara musik yang kian luntur dari distorsi rock. Namun, cara ini kurang berhasil dilakukan RHCP pada album terakhirnya.
Ketimbang mencoba gaya baru, RHCP kembali ke akar dan jati diri musik mereka yang dikenang dan dirindukan penggemarnya. Memang formulasi sukses bermusik adalah menyentuh emosi pendengarnya. Salah satu cara dengan membawa kembali kenangan lama penggemar menjadi kenyataan.