Film ”Before, Now & Then” terinspirasi kisah nyata kehidupan seorang perempuan biasa di tengah badai revolusi. Selama ini, film-film periodik Indonesia selalu terkait dengan sesuatu yang besar atau tentang tokoh.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·6 menit baca
Sungguh berita menyenangkan ketika film Before, Now & Then (Nana) diumumkan lolos masuk kompetisi utama Berlin International Film Festival 2022. Pengumuman itu menjadi kian penting karena inilah pertama kalinya film Indonesia bisa berkompetisi di ajang utama sejak festival ini dihelat tahun 1951 silam. Apalagi hanya 18 film dari seluruh dunia yang terpilih dan berhak berkompetisi tahun ini!
Film besutan sutradara muda Kamila Andini ini berangkat dari bagian pertama novel Jais Darga Namaku karya Ahda Imran. Meski begitu, versi film tidak bisa dianggap sebagai penyederhanaan dari versi novel setebal 500 halaman lebih itu. Jais Darga, yang jadi tokoh utama dalam novel, mengatakan, film Nana ia bikin untuk menghormati Raden Nana Sunani, ibu kandungnya.
”Saya memang ingin bagian itu saja yang dibikin film. Bagian ini berkisah tentang perjalanan Mami sebagai perempuan di tengah kecamuk revolusi, yang berimbas pada kehidupan keluarga-keluarga di Garut dan Bandung,” ujar Jais, yang menjadi salah satu produser film ini.
Ketika Raden Nana Sunani masih hidup dan tinggal di Bandung, Jais berhasrat film Nana benar-benar akan menjadi kado istimewa bagi ibundanya. Namun, takdir berkata lain. Dalam proses pematangan film, Raden Nana Sunani mengembuskan napas terakhir di Bandung, tiga tahun lalu.
”Oleh sebab itu, film ini untuk mengenangkan perjalanan hidup Mami yang tidak mudah sejak revolusi fisik tahun 1940-an, sampai tragedi 1965,” kata Jais Darga, awal Februari 2022 dari Denpasar.
Penulis novel Ahda Imran mengatakan, badai revolusi tahun 1940-an menghantam hampir semua kehidupan di Indonesia. Raden Nana Sunani, pada masa itu tinggal di Garut, Jawa Barat, kata Ahda, kehilangan suaminya bernama Raden Icang. ”Waktu itu gerombolan menculiknya atas nama perjuangan. Bahkan, Raden Nana pun dipaksa untuk diperistri,” ujar Ahda.
Kisah pahit kehilangan suami dan pelarian Raden Nana ke Bandung itu menjadi bab pertama dalam novel Jais Darga Namaku. Bab ini secara khusus disusun Ahda untuk menggambarkan perjalanan hidup seorang perempuan menak kampung, yang kemudian terlunta-lunta nasibnya. Ia kemudian bertemu dengan seorang menak di Kota Bandung bernama Raden Dargawidjaja. Kehidupan sebagai pasangan suami-istri yang berbeda usia lebih dari 23 tahun, dan anggapan Raden Nana hanya mengejar kekayaan, membuat bahtera rumah tangga mereka terempas di tengah jalan.
Meski begitu, dari pasangan Raden Nana dan Raden Dargawidjaja inilah salah satunya lahir Jais Darga, yang kemudian dikenal sebagai art dealer internasional dalam jagat industri kesenian di Tanah Air. Jais bahkan pernah memiliki galeri berkelas internasional di kota Paris, Perancis.
Korban nyata
Kamila Andini mengatakan, film Nana memang terinspirasi kisah nyata kehidupan seorang perempuan yang berada di tengah badai revolusi. Selama ini, kata dia, film-film periodik Indonesia selalu terkait dengan sesuatu yang besar atau tentang tokoh-tokoh penting. ”Sedangkan ketika saya mengerjakan ini, saya ingin menceritakan seorang perempuan pada umumnya, seperti nenek kita, kakak kita, atau ibu kita sendiri, yang bisa disayangi dengan semua kekurangan dan kelebihannya,” kata Kamila.
Kamila menambahkan, perempuan adalah korban zaman yang paling nyata. ”Tetapi, pada setiap zaman selalu ada tokoh perempuan yang tidak pernah sekalipun menjadikan dirinya korban meski tidak lepas dari pengorbanan,” katanya. Nana, katanya, adalah kisah perempuan yang menjadi korban sebuah era: perang, politik, dan pemberontakan, serta kehidupan sosial patriarki.
Menurut Happy Salma yang menjadi co-producer dan memerankan tokoh Nana dalam film ini, kehadiran perempuan sebagai orang biasa, yang terombang-ambing peristiwa politik dan kultur patriarki, telah menantang dirinya untuk berakting maksimal. Apalagi, katanya, film ini secara utuh menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibunya sendiri.
”Seingat saya baru ada dua film Indonesia yang menggunakan bahasa Sunda secara penuh. Pertama Lutung Kesarung dan kini film Nana. Apalagi Nana akan hadir di ajang internasional, seperti Berlinale, pastilah ini seperti mimpi saja,” kata Happy. Sebagai perempuan berdarah Sunda yang lahir di Sukabumi, Happy benar-benar bangga bahasa ibunya sendiri akan dikenal dunia.
Kehadiran film Nana di kancah utama Berlinale, menurut Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendikbudristek Ahmad Mahendra, telah menjadi kebanggaan bangsa. ”Ini sejarah yang harus dicatat. Oleh sebab itu, kami mendukung sepenuhnya keberangkatan tim Nana ke Berlin,” kata Mahendra.
Menurut rencana, rombongan film Nana akan bertolak dari Tanah Air menuju Berlin pada Selasa (8/2/2022). Mereka terdiri dari Kamila Andini (sutradara), Ifa Isfansyah (produser), Jais Darga (produser), Happy Salma (aktris), Laura Basuki (aktris), Arswendy Bening Swara (aktor), dan Ibnu Jamil (aktor). Rombongan akan berada di Berlin 10-20 Februari 2022 untuk menghadiri world premiere film Nana.
”Kami, sih, enggak berani berharap apa-apa. Kehadiran Nana di kompetisi utama Berlinale saja sudah menjadi sesuatu yang luar biasa,” kata Ifa Isfansyah. Kompetisi utama Berlinale akan memperebutkan piala Golden Bear dan Silver Bear, yang sangat bergengsi di mata insan film dunia.
Nana akan berkompetisi dengan 17 film lainnya dari seluruh dunia. Film-film itu, antara lain, adalah karya para sutradara yang telah malang melintang dalam dunia perfilman internasional. Siaran pers Four Colours Film, mengutip pernyataan Direktur Artistik Berlinale Carlo Chatrian tentang film Nana.
”Film ini adalah proyek yang sangat ambisius tanpa kehilangan perspektif perempuan yang berhubungan dengan masa lalu Indonesia dengan pendekatan pribadi dan orisinal. Cerita dijalin dengan perasaan yang tidak bisa kita hindari dengan cara bertutur melodrama seiring dengan penggunaan musik.”
Carlo juga mengatakan bahwa film-film yang terpilih tahun ini diseleksi dengan ketat, ”Film-film Berlinale ke-72 memberikan deskripsi yang baik tentang dunia dalam keadaannya yang berubah saat ini, tetapi juga tentang bagaimana keadaannya dan bagaimana seharusnya atau kemungkinannya. Dihadapkan dengan keinginan untuk memproduksi apa yang telah kita alami (dan kita penghuni planet Bumi tidak pernah terpisah begitu jauh, tetapi begitu mirip dalam gaya hidup kita), banyak film telah merespons dengan kekuatan imajinasi, humor, emosi, dan konfrontasi fisik yang terkadang penuh gairah dan terkadang dengan kekerasan.”
Tokoh Nana, bagi Kamila Andini, adalah jembatan bagi dirinya untuk menghubungkan masa lalu, ketika api revolusi merebak, dengan masa kini ketika peran perempuan masih sering kali disepelekan. Perempuan masih terus berada di bawah bayang-bayang kultur patriarkis yang kian kuat mencekam.
Kata Jais, ibunya telah mengambil keputusan yang berani ketika memutuskan kembali ke Garut, meninggalkan Raden Dargawidjaja yang telah beristri lebih dari sekali. ”Itulah teladan yang saya pegang sampai sekarang. Dan itu muncul dari seorang perempuan seperti Mami,” katanya berkaca-kaca.
Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa harunya ketika film yang tadinya dibuat sebagai kado istimewa bagi ibundanya kini akan beredar secara internasional lewat Berlin Internasional Film Festival. ”Dan, itu berbahasa Sunda. Bukti bahwa kekayaan kebudayaan kita makin diakui dunia,” kata Jais.