Jonny Greenwood dan Thom Yorke menyempal dari bandnya, Radiohead. Bersama drumer Tom Skinner dan produser Nigel Godrich mereka membuat grup The Smile. Kepekatan puisi William Blake menyelimuti lagu-lagunya.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Band Radiohead adalah salah satu band alternatif termapan saat ini, yang para anggotanya bebas menjalankan proyek musikal pribadinya masing-masing. Dua pentolannya, Thom Yorke dan Jonny Greenwood, masing-masing mencetak album solo yang menuai pujian. Kini, di luar Radiohead, keduanya bersekutu dalam band baru bernama The Smile. Drumer jazz Tom Skinner melengkapi jadi trio.
The Smile adalah band yang lahir di masa pandemi. Mereka memproklamasikan diri pada Mei 2021. Tanpa banyak ba-bi-bu, momen kelahiran band baru itu sekaligus mengumumkan mereka main di festival besar Glastonbury membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri. Penampilan perdana itu disiarkan secara virtual, tanpa penonton langsung.
Baru pada 29 Januari 2022 waktu London, penampilan trio ini ditonton langsung oleh seribuan penonton di gedung pertunjukan bernama Magazine. Pertunjukan ini juga disiarkan dalam tiga gelombang ke tiga benua, Eropa, Amerika, dan Asia, untuk penonton berbayar dengan tarif sekitar Rp 250.000 per karcis.
Inilah konser tunggal pertama The Smile, yang baru saja meluncurkan singel kedua “The Smoke“ dua hari sebelumnya. Tiket terjual habis. Sepertinya penampilan mereka di Glastonbury memantik penasaran banyak orang. Dan, mereka ingin tahu seperti apa bentuk musikalitas trio ini secara utuh. Apalagi, Nigel Godrich, produser yang selalu menemani Radiohead sejak 1994—juga sejumlah album solo Thom Yorke—didapuk juga jadi produser The Smile.
”Tak banyak yang kami punya, tapi kami akan berikan apa yang ada: inilah dia,” ucap Yorke di awal-awal pertunjukan. Yang disebut Yorke ”tak banyak” adalah panggung berbentuk lingkaran di tengah-tengah arena, dengan kerangkeng bertahta lampu—seolah-olah mereka main di dalam sangkar burung. Di dalam sangkar itu, ada beberapa instrumen standar; beberapa gitar dan bas, piano vertikal, set drum, juga perangkat synthesizer, dan tentu saja pelantang suara.
Ukuran panggung mereka itu tak seberapa dibandingkan ”taman bermain” Radiohead di arena stadion. Menyimak ada dua pentolan Radiohead di panggung kecil memberi nuansa tersendiri, seperti nostalgia di awal-awal karier band itu. Malam itu, panggung raksasa ditinggalkan Yorke dan Greenwood yang bersekutu dengan Skinner.
Pertunjukan dimulai dengan gema suara pembacaan puisi berjudul ”The Smile” gubahan William Blake yang dibawakan aktor Cillian Murphy. ”Ada senyuman penuh cinta, ada senyuman penuh kepalsuan,” kira-kira begitu terjemahan bebas pembuka puisi tersebut. Rasanya, penggalan itu tepat menggambarkan identitas trio ini. Stiker di salah satu bas yang dimainkan Yorke bergambar wajah tersenyum, tapi dipasang terbalik. Sebuah paradoks.
Puisi itu menjadi jembatan bagi lagu pertama ”Pana-vision” yang dibuka oleh piano bermelodi mencekam yang dimainkan Yorke. Dia bernyanyi dengan suara falseto melengkingnya. Jonny memainkan bas. Skinner bermain drum menggunakan stik berperedam sehingga bunyinya tertahan. Tak ada suara gitar di lagu itu. Kelam.
Gonta-ganti alat
Berikutnya, mereka memainkan lagu yang baru saja rilis, ”The Smoke”. Greenwood kini memetik gitar, sementara Yorke memainkan bas berpola padat. Pola bas itu mendominasi lagu, yang seperti berusaha mengejar pendengarnya. Yorke dan Greenwood kerap berganti instrumen sepanjang pertunjukan sekitar 70 menit itu.
Atraksi paling mengundang kagum dipertontonkan Greenwood pada lagu berikutnya, ”Speech Bubbles”. Sepertiga awal lagu, gitaris Radiohead ini bermain-main dengan synthesizer. Sisanya, dia beringsut ke piano. Tangan kirinya merambahi tuts, sementara tangan kanannya membelai harpa di waktu bersamaan. Yorke bernyanyi sambil bermain gitar bersetelan berat, mengisi kekosongan bunyi bas.
Skinner disiplin menjaga ketukan. Pada lagu berikutnya, ”Thin Thing”, Skinner memainkan set drumnya dengan ketukan patah-patah disisipi bunyi cow bell. Pola lagu staccato mengingatkan pada album Radiohead The King of Limbs, tetapi dengan isian bunyi yang lebih simpel.
Memang sulit betul mencopot kesan Radiohead pada proyek-proyek Yorke di luar band yang terbentuk sejak 1985 itu. Pembeda utama biasanya pada kompleksitas bunyi; lagu-lagu Radiohead semenjak album Kid A (2000) umumnya penuh dengan detail-detail suara. Bandingkan dengan album solo perdana Yorke The Eraser (2006) yang lebih ”sederhana”. Nah, kompleksitas lagu-lagu The Smile beberapa tingkat di atas The Eraser. Salah satu kontributornya adalah permainan drum Skinner.
Tom Skinner, drumer grup jazz Sons of Kemet, adalah pengikat eksplorasi bunyi besutan Yorke dan Greenwood di The Smile. Dari balik perangkat drumnya, dia melihat dua rekannya berganti-ganti instrumen, menjelajahi bunyi-bunyi. Namun, Skinner juga piawai bermain-main bunyi synthesizer, misalnya di lagu “Free in the Knowledge”.
Lagu itu diawali dengan suara-suara modular besutan Skinner, sementara Yorke menggenjreng gitar akustiknya. Bagian paruh awal lagu ini terasa tenang dengan permainan piano Greenwood yang duduk memangku bas. Keriuhan perlahan memuncak ketika Skinner kembali ke perangkat drum, dan gesit memukul-mukul simbal. Lagu beraroma post-rock ini dipuncaki dengan bunyi frekuensi rendah dari senar bas yang digesek Greenwood dengan busurbiola. Bunyi itu menyambung dengan lagu berikutnya, ”A Hairdryer”.
Senyum dusta
The Smile membawakan 15 lagu, termasuk single andalan ”You Will Never Work on Television Again” yang cenderung pesimistis—atau realistis. Begini petikan liriknya, ”All those beautiful young hopes and dreams/ devoured by those evil eyes and those piggy limbs” yang kira-kira bisa diartikan menjadi, ”Segala impian dan harapan indah/ dihancurkan iblis dan keserakahan”.
Kesuraman serupa juga ada di lagu lainnya, ”The Same”, yang terjemahan bebas salah satu penggalan liriknya adalah ”Orang-orang di jalanan… Ada yang gagal, ada yang mendengar suara-suara di kepalanya … Kita semua sama saja”. Musiknya menggambarkan kekalutan tanpa dasar.
Nuansa lirik lagu-lagu The Smile seolah berbanding terbalik dengan pililhan nama mereka, yang menyiratkan kegembiraan. Ketika tampil pertama kalinya di Glastonbury, Yorke menjelaskan nama bandnya. ”Band kami bernama The Smile (senyum). Bukan senyum yang menyiratkan ’aaahh’ (mimik tersenyum), tapi cenderung merujuk pada senyum dari orang yang mendustaimu setiap hari.” Sebuah penjelasan yang pahit.
Kepada NME di bulan September 2021, Greenwood mengatakan grup itu terbentuk di masa karantina wilayah. ”The Smile muncul atas keinginan membuat musik bersama Thom. Ya, waktu kami tak banyak, tapi kami berniat merampungkan beberapa lagu,” ujar komposer yang telah membuat musik latar untuk sembilan film ini.
Selepas pertunjukan akhir pekan lalu, sepertinya mereka telah pantas meluncurkan album penuh, namun hingga Jumat (4/2/2022), belum tersiar kabar baik itu. Alih-alih mengumumkan perihal album, mereka justru mewartakan agenda tur keliling Eropa pada Mei hingga Juli mendatang. Penontonnya mungkin bakal tersenyum; entah senyum bahagia atau yang getir.