White Shoes & The Couples Company Menapaki ”2020” dengan Pasti
Band White Shoes & The Couples Company merilis film pertunjukan musik berjudul ”2020”. Film ini adalah kelanjutan perjalanan album yang dirilis setahun lalu, tetapi belum tersedia di pelantar musik digital itu.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI,DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Band pop White Shoes & The Couples Company melepas album bagus yang telah dinanti-nanti penggemarnya pada akhir Desember 2020. Meski lahir pada era pandemi ketika musisi kebanyakan memaksimalkan medium digital, sektet Ibu Kota ini bergeming. Album bertitel 2020 itu hanya bisa disimak lewat CD, radio, piringan hitam, dan kini merambah bioskop dalam bentuk film pertunjukan musik dengan judul sama dengan albumnya.
Gadis tak dikenal (diperankan Asmara Abigail) membuka film 2020 dengan memutar piringan hitam. Musik mendayu dan ia menikmatinya. Adegan selanjutnya, minibus butut warna merah dan putih dengan peralatan band di atap melaju di sela sabana. Waktu seakan melambat dan mobil menembus lorong masa.
Tak heran, racikan musik White Shoes & The Couples Company (WSATCC) memang terdengar bernuansa retro. Aprilia Apsari dengan kenes berjingkat menari berputar-putar dengan kaki telanjang di atas rumput. Vokalis band yang kerap disapa Sari itu melantunkan ”Halaman Ekstra” untuk memprologkan filmnya.
Wajah semerawut Jakarta lantas ditampilkan secara acak. Kadang, rasanya satir lantaran diselingi dengan cuplikan kocak macam bajaj, boneka barbie, anak ayam aneka warna, bocah bermain merpati, akik, mikrolet, ondel-ondel, hingga tumpukan kompor rusak.
Nyanyian kedua, ”Rumah”, masih bernada sendu. Sari mengekspresikan pulang sebagai pelarian insan menuju suaka untuk mencari damai. Betapa nikmatnya memandang langit senja seraya mencicipi kue dan menyesap teh hangat seusai lelah bekerja.
Sari dan rekan-rekannya memotret kejenuhan masyarakat perkotaan. Tak heran, kebanyakan lagu dalam 2020 bernuansa gundah, sesuram kehidupan metropolis yang terobotisasi untuk terjaga saat subuh dan pulang petang dengan wajah kuyu.
Demikian pula nomor ”Oktober”; terasa kebekuan menyergap saat malam-malam sepi, ditingkahi desir angin dan permainan John Navid dengan bas drum solonya. Sementara, penutup 2020, ”Semalam”, mengungkapkan kesuraman karena mimpi-mimpi yang tak terwujud. Karya lain, ”Sam dan Mul”, tak kalah kelabu.
Tak perlu khawatir WSATCC bakal menyuguhkan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka juga menyelingi alur 2020 dengan lagu ”Folklor” yang ceria. Diiringi permainan duet gitaris Yusmario Farabi dan Saleh Husein yang saing mengisi, cerita rakyat diterjemahkaan lewat lintang pukang pengais rezeki.
Begitu pun dengan ”Irama Cita”. Penggemar setia WSATCC tentu belum lupa dengan unggahan klip video lagu itu di Youtube mengenai kebahagiaan sederhana pekerja-pekerja kerah biru. Mereka berangsur guyub seraya menikmati durian bersama di dalam angkot.
Senyum simpul pun tersungging saat menyimak ”Variasi Barongko” yang berintonasi magis serupa mantra, mungkin juga terdengar sedikit mistis. Tempo cepat dan drum berderap. Permainan bunyi sintetis besutan Ricky Surya Virgana dan Apri Mela Prawidiyanti menggelapkan aura musiknya. Padahal, lagunya bercerita tentang kudapan khas Bugis berbungkus daun pisang.
Film katalisator
Berisi lagu-lagu dan obrolan WSATCC, film 2020 diputar perdana di Jakarta, Kamis (20/1/2022), di bioskop Epicentrum XXI di Jakarta Selatan. Judul film itu sama dengan album yang diluncurkan pada akhir Desember 2020. Sekitar 400 penonton datang melihat dan mendengar film ini dalam dua termin. Suasananya sudah seperti konser beneran saja. Di luar, penonton saling berbagi rindu setelah berbulan-bulan tak bersua di acara musik; kehangatan yang hilang setidaknya dalam dua tahun terakhir ini.
Mereka baru merilis album lagi setelah vakansi, satu dekade silam. Promotor hiburan Plainsong Live yang kepincut dengan musikalitas WSATCC lalu mengajak berkolaborasi pada Agustus 2021. Gayung bersambut, film mulai diproduksi pada November untuk melayarlebarkan lagu-lagu yang kebanyakan digubah Sari itu.
”Ke depan, kami mau memutar filmnya secara terbatas, tetapi diutamakan di bioskop supaya dapat audio terbaik,” ucap Indra Ameng, manajer band yang sudah seperti ”anggota ketujuh” grup yang terbentuk pada 2002. Ameng bilang, film 2020 bisa menjadi katalisator bagi personel band karena sulit memanggungkan karya baru itu di atas pentas secara langsung, seperti sebagaimana biasanya.
Album 2020 dirancang bernuansa sinematik. Musik dan liriknya ibarat lagu latar bagi fragmen film. Sampul albumnya sudah menyiratkan hal itu. Para personel difoto layaknya berada di set pengambilan gambar film. Mereka juga melibatkan sejumlah penulis untuk membuat sinopsis film berdasarkan kisah setiap lagu. Bukan tak mungkin sinopsis ”film bohongan” itu kelak betulan dibuat.
Cara lama
Film 2020 adalah cara mutakhir WSATCC menyapa penggemarnya setelah setahun album beredar. Format pertama adalah CD berkemasan khusus yang cuma dicetak 2.020 keping, ludes dalam waktu singkat. Demajors lantas memproduksi CD reguler tanpa batasan jumlah. Sebelum format piringan hitamnya meluncur, grup ini menggelar tur radio. Sesi radio ini berupa wawancara dan memutarkan lagu-lagu dari album 2020.
Berpromo di radio dalah kebiasaan rutin band ini sejak dulu. Single pertama ”Irama Cita” yang dilepas pada Oktober 2020 masih diputarkan perdana lewat radio konvensional, beda dengan musisi kiwari yang cenderung merilis single di pelantar musik digital. Hingga hari ini, lagu WSATCC belum mejeng di penyedia layanan musik streaming.
”Kami melakukan apa yang kami mengerti. Merilis album dalam bentuk fisik, mempromosikan lewat media massa, memutarnya di radio. Itu yang kami lakukan sejak dulu. Kalau nanti dirilis dalam format digital, kami pikirkan dulu,” kata Ameng beberapa waktu silam.
Strategi ini berjalan manis. Format fisik albumnya laris betul. Format piringan hitamnya sampai dicetak dua termin. Di pasar pengecer, vinil album 2020 bisa dijual sampai Rp 1,5 juta per biji dan ada saja yang beli.
WSATCC seperti menciptakan kultusnya sendiri. Produk film 2020 adalah wujud mutakhirnya. Sutradara film ini, Dibyokusumo Hadipamenang, menuturkan, kepalanya cukup pening mewujudkan film ini. Banyak gagasan yang muncul. Wajar, sebagai lulusan sekolah seni, semua personel WSATCC punya cita estetika tersendiri.
Film ini nantinya bakal diputar terbatas di bioskop-bioskop dengan racikan audio ciamik. Dibyo, nama panggilan sang sutradara, membuka ruang bagi filmnya untuk dibuat sekuel. Namun, itu masih sebatas angan-angannya.
Andaikata pandemi usai, band ini bakal membuat pertunjukan khusus untuk ditonton langsung. Sementara ini, pertunjukan musik lewat film 2020 menjadi penggantinya.
”
Kalau pandemi masih jalan, ya, kami bikin saja album baru lagi,
”
seloroh John. Sebenarnya John tak perlu buru-buru. Dengan materi album dan strategi yang tepat, usia album 2020 masih bisa lebih panjang lagi.