Berziarah Hati di Hebden Bridge
Mengunjungi kota Hebden Bridge selayaknya membaca karya Sylvia Plath yang bernuansa suram dan penuh keterasingan. Tetapi sekaligus menyimpan keindahan kata-kata yang sulit dibantah.
”I felt my lungs inflate with the onrush of scenery—air, mountains, trees, people. I thought, ”This is what it is to be happy.” (Saya merasakan paru-paru saya mengembang dengan derasnya pemandangan—udara, gunung, pepohonan, orang-orang. Saya pikir, ”Inilah artinya menjadi bahagia.”) – Sylvia Plath, The Bell Jar.
Kisah hidup Sylvia Plath berakhir tragis. Setelah mengalami masa kecil traumatis, penyair ternama asal Amerika Serikat itu berjuang mengatasi depresi. Pada 11 Februari 1963, Plath mengakhiri hidupnya sendiri. Jasadnya kemudian disemayamkan di Hebden Bridge, West Yorkshire, Inggris. Mengunjungi kota itu selayaknya membaca karya Plath dengan nuansa suram dan keterasingan, sekaligus menyimpan keindahan kata-kata yang sulit dibantah.
Hebden Bridge merupakan sebuah kota mungil dengan penduduk sekitar 4.500 jiwa. Kota yang dikelilingi perbukitan ini diapit oleh kota-kota metropolitan, seperti Manchester dan Leeds. Berbeda dengan kota-kota besar di Inggris yang terkenal sibuk dan serba produktif, Hebden Bridge justru jauh dari keriuhan. Campuran suasana perdesaan dan perkotaan membuat kota ini cocok tujuan wisata bagi siapa pun yang ingin melarikan diri dari kesibukan kota.
Pusat kotanya di Upper Calder Valley di West Yorkshire, Inggris, terdiri dari deretan kafe, restaurant, pasar, dan toko-toko barang antik dan kerajinan tangan. Namun, hanya sepuluh menit dari pusat kota, para pelancong bisa berjalan kaki di tepi sungai, menyusuri bukit, lembah, dan hutan. Dengan keindahan alam dan kualitas udara yang masih terjaga, tak heran kota ini memunculkan inspirasi dan kreativitas bagi siapa saja yang singgah di sana.
Hebden Bridge telah melahirkan banyak seniman, sastrawan, musisi, penulis, dan penyair. Sebut saja penyair The Bronte sisters dan Ted Hughes yang melahirkan karya hanya beberapa mil dari kota ini. Penyanyi dan penulis lagu, Ed Sheeran, juga lahir dan besar di kota ini. Kota yang ramah terhadap komunitas LGBT ini juga pernah menjadi tempat tinggal fotografer ternama, Martin Parr (1975-1980).
Tergiur dengan keindahan panorama di kota ini, saya bersama beberapa pelajar Indonesia di Inggris menempuh perjalanan menggunakan kereta dari Manchester menuju Hebden Bridge. Perjalanan dari Manchester hanya menelan waktu sekitar 30 menit. Perjalanan menyusuri suasana perdesaan jauh dari rasa bosan. Sementara kalau dari London, perjalanan bisa menelan waktu selama 3,5 jam.
Begitu kereta berhenti di stasiun, menjelang musim dingin November, 2021, dengan riang kaki melangkah memasuki pusat kota.
Kedatangan di Hebden Bridge langsung disambut pemandangan alam yang menyegarkan mata. Setiap sudut kota adalah panorama yang menarik. Saya berjalan ke arah pusat kota yang masih sepi saat akhir pekan.
Kota ini cukup unik dengan kehadiran aliran air dari Rochdale Canal yang membelah pusat kota. Di sekitar kanal, beberapa orang berjalan kaki bersama binatang peliharaan. Ada pula warga yang berolahraga dan memberi makan burung-burung liar. Sebagian opa dan oma duduk di kafe, menyeruput kopi sambil membaca koran. Di sini warga hidup jauh dari ketergesaan.
Setelah puas mengelilingi pusat kota yang hanya memakan waktu sekitar satu jam, saya berjalan mendaki bukit Heptonstall. Perjalanan dari pusat kota menuju bukit sebenarnya hanya 40 menit. Namun, udara dingin ditambah kaki yang sudah lama enggak diajak nanjak membuat pendakian terasa menantang. Beberapa kali saya harus berhenti untuk melonggarkan paru-paru. Pendakian ini menyusuri jalan setapak dan berbatu dengan pemandangan yang tak ada duanya.
Di tengah perjalanan, rombongan berpapasan dengan beberapa warga yang juga sedang trekking. Seorang pria berkulit putih menunjukkan jalan menuju puncak bukit. ”Di sana pemandangannya indah,” kata pria itu. Kata-katanya membangkitan gairah untuk terus melangkah.
Di bukit Heptonstall terlihat reruntuhan bangunan gereja St Thomas Heptonstall yang dibangun pada 1256–1260. Badai besar yang mengguncang Hebden Bridge pada 1847 membuat sebagaian bangunan gereja runtuh dan rusak. Perbaikan besar-besaran yang menelan biaya 7.000 poundsterling (sekitar Rp 135 juta) digelontorkan untuk memperbaiki bangunan. Gereja terakhir digunakan pada 1854. Sekarang, yang tersisa adalah reruntuhan di antara batu-batu nisan.
Memasuki lingkungan gereja tiba-tiba suasana muram menyambut. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi abu-abu. Angin berembus meniupkan daun-daun kering. Saya melangkah di antara hamparan nisan yang usianya sudah ratusan tahun. Tiba-tiba bulu kuduk merinding. Mereka yang tidak tahan dengan suasana suram ini memilih menyingkir.
Meski tidak tahan dingin dan ingin segera keluar dari lingkungan gereja, saya masih penasaran dengan makam Sylvia Plath. Dengan teliti, saya membaca satu per satu nama yang ada pada nisan, berusaha menemukan nama penyair yang pada lahir 27 Oktober 1932 di Massachusetts, Amerika Serikat, itu. Mendung semakin menggelayut tanda-tanda hujan hendak turun. Saya berputar-putar di antara makam. Hasilnya, tetap nihil.
Dalam keputusasaan, seorang pria berjalan tergesa-gesa. Saya mengejarnya dan bertanya mengenai makam sang penyair. ”Tahukah kamu makam…,” kata saya. Sebelum sempat saya mengakhiri ucapan, pria itu langsung menyahut, ”Saya tahu! Kamu mencari Sylvia Plath! Ayo saya tunjukkan,” katanya.
”Bagaimana kamu bisa tahu saya mencari makam sang penyair?” tanya saya sambil berjalan membuntutinya. ”Saya tinggal di dekat sini dan sering bertemu orang yang berziarah,” ujarnya.
Pria itu menunjukkan makam Sylvia yang berada sekitar 50 meter di depan pintu gereja. Lokasinya ternyata berbeda dari tempat sebelumnya saya mencari nisan. Pantas saja tidak ketemu, kata saya dalam hati.
Sylvia plath merupakan penulis yang menerbitkan puisi pertamanya pada usia delapan tahun. Dalam karya-karyanya, penyair, novelis, dan cerpenis itu mengeksplorasi pengalaman hidupnya dalam keterasingan dan kesedihan, terutama karena mengalami masa kecil traumatis dibawah asuhan ayahnya, Otto Plath. Penyair yang melahirkan karya, antara lain Daddy, Lady Lazarus, dan novel The Bell Jar, ini tumbuh dengan tantangan depresi. Saat itu, isu kesehatan mental masih menjadi barang langka dan tabu untuk dibicarakan. Berkali-kali Sylvia dirawat di rumah sakit jiwa karena kondisinya.
Plath pindah ke Inggris untuk menempuh pendidikan di Newnham College, Cambridge, dengan beasiswa Fulbright. Ia kemudian menikah dengan penyair Inggris, Ted Hughes, dan dikaruniai dua anak. Pasangan itu berpisah pada tahun 1962 setelah sang suami, Hughes, berkencan dengan perempuan lain.
Di tengah tantangan demi tantangan hidup, Plath mencapai kesuksesan di bidang akademik, sosial, dan artistik, tetapi ia harus membayar mahal kesuksesan dengan gangguan depresi. Berkali-kali ia mencoba bunuh diri.
Pengalaman hidup yang pahit dan sikapnya yang perfeksionis dinilai memperparah kondisi. Setelah menemukan fakta sang suami menjalin hubungan dengan perempuan lain, Plath mengakhiri hidupnya sendiri. Pada 11 Februari tahun ini merupakan 59 tahun Plath mengembuskan napas terakhir.
Di dekat makam Plath, saya mengenang kembali tulisannya. ”How frail the human heart must be—a throbbing pulse, a trembling thing—a fragile, shining instrument of crystal, which can either weep or sing.” (Betapa rapuhnya hati manusia—nadi berdenyut, benda bergetar—instrumen yang rapuh dan bersinar kristal, yang bisa menangis atau bernyanyi).
Sejujurnya, tidak ada yang istimewa dengan makam itu. Bentuk nisannya menyerupai nisan lain yang ada di sisi kiri dan kanannya. Saya cukup terkejut melihat makam penyair ini diperlakukan biasa-biasa saja. Kalau di Indonesia, makam tokoh ternama pasti sudah diperlakukan luar biasa.
Satu-satunya yang berbeda, di makam Plath adalah terdapat bunga-bunga segar dari penggemar yang menziarahi makamnya. Kesederhanaan nisan ini justru mewakili karakter Sylvia Plath yang dekat dengan pembaca. Karya-karyanya juga mewakili pengalaman manusia yang penuh suka dan duka.
Putri Kanesia, salah satu pengunjung menuturkan, mengunjungi Hebden Bridge bisa menyegarkan pikiran. ”Kota ini damai banget, sepi dan tenang. Penduduknya juga ramah-ramah,” kata mahasiswa jurusan LLM International Human Rights Law di University of Essex ini.
Memasuki lingkungan pemakaman, Putri mengatakan merasa takut karena sepi. Namun, suasana horor langsung hilang begitu masuk ke dalam gereja yang kecil dan nyaman. Selain itu, ia merasa puas bisa nyekar di kuburan penyair terkenal. ”Kapan lagi jalan-jalan sambil wisata sejarah?” ujarnya.