Industri Film, Berdansa di Tengah Kesulitan
Tahun 2022 bakal menjadi masa transisi dan pintu gerbang untuk membaca, mengevaluasi, dan menemukan cara-cara baru untuk menggerakkan industri film Indonesia.

Presiden Joko Widodo menghadiri Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center, Jakarta, 10 November 2021.
Masa pandemi Covid-19 ibarat wahana roller coaster bagi industri perfilman, terutama Indonesia. Industri yang menanjak sejak 2016 itu tiba-tiba menukik ke titik dasar akibat pandemi.
Sejak 2013 industri film bioskop memperlihatkan grafik menanjak dengan jumlah penonton di atas 8 juta-9 juta orang. Grafik ini mencapai puncaknya ketika jumlah penonton menembus 30 juta orang pada 2016. Setelah itu, jumlah penonton berkisar 28 juta-29 juta orang. Pada 2019 atau setahun sebelum pandemi, jumlah penonton film Indonesia tercatat 29,6 juta orang.
Penambahan jumlah penonton juga diikuti dengan meningkatnya produksi film Indonesia sejak 2012. Saat itu, jumlah film yang diproduksi tercatat 90 buah. Setelah itu, produksi film Indonesia selalu menembus angka 100 lebih. Puncaknya terjadi pada 2018, yakni 140 film. Pada 2019, produksi film hanya turun dua poin ke angka 138.
Semua pencapaian itu langsung melorot begitu pandemi terjadi pada Maret 2020. Jumlah film yang diproduksi tinggal 60 buah dan penonton film di bioskop tinggal 12 jutaan. Angka ini menukik lagi hingga tersisa 1,37 juta penonton pada 2021.
Industri perfilman memang menjadi salah satu sektor bisnis yang cukup parah dihajar pandemi. Pukulan dirasakan dari dua sisi sekaligus, yakni sisi produksi film dan sisi pertunjukan, khususnya di bioskop. Pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah demi menghindari meluasnya Covid-19 membuat proses shooting terhambat. Akibatnya, banyak rumah produksi menunda proses produksi film mereka.
Baca juga: Faedah nan Elok dari Industri Film
Film-film yang telah siap ditayangkan juga terpaksa dijadwal ulang lantaran jaringan bioskop ditutup selama berbulan-bulan. Penggemar film yang biasa datang ke bioskop terpaksa menonton film secara daring (OTT).
Produser film sekaligus pemilik rumah produksi film Starvision, Chand Parwez Servia, menceritakan, sebetulnya tahun 2020 pihaknya tengah bersiap-siap ”tinggal landas”. Starvision berencana membuat film dengan dana besar agar bisa bersaing dengan film-film asing. Ia pede karena respons penonton terhadap film-film Indonesia sedang tinggi. Selain itu, para pembuat film dalam negeri dan cerita film yang dihasilkan memiliki keunikan tersendiri serta terhubung dengan kehidupan dan alam pikiran penonton lokal.
”Tapi, semua lantas terdampak pandemi. Mau ngomong apa lagi. Semua juga kena dampak (pandemi), kan?” ujar Chand, Senin (27/12/2021).
Masih berprestasi
Di tengah tekanan pandemi dan situasi yang tak pasti, para pembuat film tidak patah arang. Seiring dengan keluarnya aturan baku tentang protokol kesehatan selama shooting, para pembuat film bergerak. Beberapa di antaranya bahkan menghasilkan film-film yang mendapat penghargaan bergengsi di ajang festival internasional dalam waktu berdekatan.

Suasana shooting film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Penghargaan membanggakan diraih film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Vengeance is Mine, All Others Pay Cash). Film karya Edwin ini berhasil merebut penghargaan tertinggi, Golden Leopard, di ajang Locarno Film Festival di Swiss pada 14 Agustus 2021.
Prestasi ini penting untuk dicatat karena baru pertama kali film Indonesia memenangi penghargaan tertinggi di ajang kompetisi festival Locarno yang masuk kategori A. Festival lain yang masuk kategori A, antara lain, Cannes, Shanghai, Berlinale, dan Venesia. Di ajang ini, Edwin mengalahkan beberapa pesaing berat dari sejumlah negara. Salah satunya film garapan aktor Hollywood, Ethan Hawke, Zeros and Ones.
Baca juga: Asa Mendobrak Festival Film Dunia
Sebulan kemudian, film Yuni yang disutradarai Kamila Andini meraih penghargaan Platform Prize di Toronto International Film Festival. Selanjutnya, pada 15 Oktober, film pendek Laut Memanggilku garapan sutradara Tumpal Tampubolon mendapat Sonje Award di Busan International Film Festival 2021.
Perlu pula dicatat penghargaan bergengsi yang diperoleh rumah produksi Watchdoc Documentary Maker dari Ramon Magsaysay untuk kategori Emergent Leadership. Ramon Magsaysay selama ini disebut-sebut sebagai penghargaan Nobel versi Asia.
Keberhasilan film Indonesia memenangi penghargaan internasional dalam waktu berdekatan termasuk momentum langka dan membanggakan. Prestasi ini memberikan getaran positif pada industri perfilman yang terdampak pandemi.

Salah satu adegan film Yuni.
Getaran ini kembali terasa dengan keberhasilan insan perfilman Indonesia menggelar ajang Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta pada 10 November lalu. FFI yang digelar dengan protokol kesehatan yang ketat itu berlangsung aman dan lancar tanpa adanya penularan Covid-19.
Di luar itu, FFI 2021 menjadi panggung yang sangat artikulatif dalam menggugat problem-problem sosial-politik, seperti ketimpangan jender, racun maskulinitas, kekerasan seksual, nasib anak-anak yang menjadi narapidana, kesehatan mental, hingga aturan soal jam kerja pekerja film. Mungkin inilah FFI yang memiliki pernyataan (statement) paling kuat.
Film-film yang masuk dalam penjurian juga mencerminkan keberagaman dalam tema cerita. Pengamat film Hikmat Darmawan menilai, dari sisi tema, film yang menjadi nomine sebagian besar tetap mengusung tema dan kisah keluarga, tetapi tidak sekadar bersifat heteronormatif. Lebih lanjut, penggunaan unsur budaya dan bahasa daerah juga mengalami pengarusutamaan.
”Dulu saat Mas Garin bikin film Surat untuk Bidadari (1994), itu, kan, kesannya seperti (melakukan) subversif sekali. Namun, setelah itu semakin banyak film melakukan hal sama, yakni menggunakan bahasa daerah. Sekarang malah sudah lazim,” kata Hikmat.

Pemain, tim produksi, dan produser film Penyalin Cahaya berfoto untuk media setelah meraih penghargaan film cerita panjang terbaik pada acara Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (10/11/2021) malam. Film Penyalin Cahaya menyabet 12 dari 17 kategori Piala Citra.
Ketua Bidang Penjurian FFI 2021 yang juga sutradara senior Garin Nugroho mengatakan, saat ini memang tengah terjadi sebuah proses adaptasi yang sangat luar biasa di kalangan insan film di Tanah Air. ”Di tengah krisis (pandemi), masih ada 70-an film panjang dan dokumenter serta ratusan film pendek (yang ikut FFI). Ini luar biasa sekali,” ujarnya, Selasa (21/12/2021).
Mengutip Kompas.com, Sekretariat Komite FFI Linda Gozali menyebut, sepanjang 1 Oktober 2020-31 Agustus 2021, sebanyak 88 judul film telah diproduksi. Dari total jumlah itu, 69 judul di antaranya diikutsertakan dalam kompetisi FFI 2021.
Baca juga: ”Penyalin Cahaya” Kuasai Panggung FFI 2021
Ifa Isfansyah, produser film Yuni, mengatakan, beberapa pembuat film sedang menyiapkan film-film yang dirancang untuk mengukir prestasi satu atau dua tahun lagi. Namun, perfilman bukan hanya diukur dengan kemenangan. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya menggiatkan ekosistem perfilman. ”Masalahnya, film kayak bekerja sendirian. Film diapresiasi bagus, tidak cukup. Pihak-pihak seperti kritikus, pemerintah, dan akademisi perlu ikut serta,” ujarnya.
Mereka dinilai masih berkutat sendiri-sendiri sehingga belum menjadi kekuatan yang menggerakkan gelombang antusiasme terhadap film-film kampiun. ”Tak hanya supaya film dikenal di dalam, tetapi juga luar negeri. Kritikus bikin ulasan, dibaca, dan filmnya diakui. Jadi, gelombang itu meluas,” katanya.
Tren membaik
Pada pertengahan September lalu bioskop-bioskop di Jakarta kembali diizinkan beroperasi. Bioskop juga diizinkan menampung 50 persen dari kapasitas normalnya. Peluang ini disambut gembira insan perfilman dan penggemar film Indonesia.
Pembukaan bioskop segera diikuti dengan peluncuran film-film Indonesia yang tertunda jadwal tayangnya akibat pandemi. Sejak Oktober hingga 21 Desember 2021 sedikitnya ada 10 judul film yang telah ditayangkan di bioskop, antara lain Nussa, Yowis Ben 3, Yo Wis Ben Finale, Losmen Bu Broto, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan Yuni.

Pengunjung menunjukkan tiket film yang akan ditonton di salah satu jaringan bioskop CGV di Jakarta, Kamis (16/9/2021). Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) kembali membuka sejumlah bioskop di Jakarta pada masa PPKM level 3.
Laman Film Indonesia menyebutkan, 10 film yang tayang di bioskop itu mampu menyedot 1,4 juta penonton. Jumlah penonton pada triwulan IV-2021 ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencatat 1,1 juta penonton. Jumlah 1,1 juta penonton itu diperoleh dari dua film, yakni Mariposa dan Asih 2.
Tren ini membuat insan perfilman optimistis menatap 2022. Asalkan pandemi terkendali, mereka yakin industri film Indonesia akan merangkak naik lagi. Syaratnya, menurut Chand Parwez, insan perfilman mesti terus bergerak dan berupaya mempertahankan kebiasaan orang untuk pergi menonton film di bioskop. Bagaimanapun bioskop masih menjadi lokomotif utama yang menggerakkan bisnis film di Indonesia.
Melempar film ke perusahaan layanan pemutaran film daring berbayar (OTT), menurut Chand. tak bisa terlalu diandalkan. Menurut Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) ini, pasar OTT masih belum bisa menjadi pengganti sepenuhnya bioskop sebagai pasar utama film.
”Apa yang terjadi sekarang hanya sementara. Di awal-awal OTT memang ibarat masih bulan madu. Mereka berani beli (film) dengan harga tinggi. Namun, lama kelamaan terlihat mereka sebetulnya (hanya) pasar komplementer, belum jadi pasar pengganti secara penuh. Mereka cenderung membeli after cinema (film yang sudah pernah tayang di bioskop). Akhirnya film-film dengan budget tinggi tak bisa terserap OTT dan tetap akan butuh bioskop,” ujarnya.
Baca juga: Berbagi Layar untuk Masa Depan
Demi menggairahkan lagi semangat orang kembali mau menonton ke bioskop, Chand sejak November hingga Desember 2021 secara maraton meluncurkan lima judul film garapan rumah produksinya, yakni Yowis Ben 3, Yuni, Yowis Ben Finale, Teka Teki Tika, dan Cinta Pertama, Kedua & Ketiga.
Chand meyakinkan, dengan penerapan protokol kesehatan yang baik dan keberadaan aplikasi Peduli Lindungi, aktivitas menonton di bioskop jadi aman. Strategi ini menjadi salah satu cara untuk terus bergerak dan ”berdansa” di atas segala kesulitan akibat pandemi agar bisa bertahan hidup.
Chand juga meyakini, ke depan, film-film yang mampu menjadi pembangkit psikologis, memberikan pencerahan, reflektif, dan berbicara tentang nilai-nilai kehidupan serta kekeluargaan adalah yang semakin dibutuhkan, apa pun genre filmnya. ”Aura positif dari film itu kita butuhkan untuk menyehatkan kondisi psikologis dan meningkatkan imunitas kita,” katanya.
Garin menyebut tahun 2022 bakal menjadi era atau masa transisi yang besar, sekaligus menjadi sebuah pintu gerbang untuk membaca, mengevaluasi, dan menemukan cara-cara baru untuk menggerakkan industri film Indonesia. Ini sudah terjadi sepanjang tahun pandemi 2020-2021. (BSW/BAY)