Ketiga karya ini menggunakan bahasa virtual sebagai basis mengembangkan gagasan dan kalau dimungkinkan mengejar realitas tubuh sebagai kenyataan kosmologis.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Di tengah percepatan perubahan lanskap kultural, tubuh bisa menjadi sosok asing yang sama sekali tidak terkoneksi dengan realitas. Disrupsi digital telah menggiring manusia memasuki ruang-ruang maya, yang dalam istilah Baudrillard hanyalah berupa simulacrum. Sesuatu yang dibangun oleh partikel-partikel energi dan disimulasikan sebagai peristiwa yang seolah nyata.
Ketika Indonesian Dance Festival (IDF) meluncurkan platform Layar Terkembang di dunia digital dalam rangka menyongsong 30 tahun gelaran festival itu tahun 2022, terasa benar ada upaya ”menjawab” tantangan zaman di tengah kecamuk pandemi Covid-19. Tiga koreografer terpilih, Retno Sulistyorini, Fitri Setyaningsih, dan Otniel Tasman, diberi tantangan untuk merespons situs dunia Borobudur sebagai ”tubuh” mandala. Retno kemudian menampilkan karya bertajuk ”Selapan”, Fitri mengeksplorasi ”Watu Gamping”, dan Otniel dengan ”0-Excelsior” (Part 1). Karya-karya mereka telah ditayangkan lewat kanal Youtube IDF pada 26-28 November 2021.
Ketiga karya ini menggunakan bahasa virtual sebagai basis mengembangkan gagasan dan kalau dimungkinkan mengejar realitas tubuh sebagai kenyataan kosmologis. Beruntung tradisi dan kebudayaan Nusantara hampir selalu mengenal tubuh tidak saja sebagai kenyataan fisik, tetapi juga tubuh spiritual. Di beberapa daerah seperti Bali, dua tubuh itu disebut sebagai tubuh sekala dan niskala. Istilah ini bisa diperpanjang dengan menggunakan terminologi yin dan yang atau makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam ”Selapan”, Retno menempatkan tubuh sekala sebagai bahasa visual yang mewadahi geletar mantra-mantra (doa), yang mengalir entah dari kedalaman terowongan yang mana. Yang pasti, ada kekuatan niskala, yang sulit terumuskan dengan bahasa biasa. Ia hanya bisa dipresentasikan lewat geletar tubuh yang terus-menerus secara repetitif memanjatkan doa. Tak lain geletar adalah ekspresi mantra, sebagaimana gagasan utamanya tentang selapanan, sebuah ritual bagi tubuh ketika menginjak usia 35 hari.
Perayaan terhadap tubuh dalam selapanan, tidak lagi sebagai tubuh visual, tetapi tubuh kosmik, sebagai penerjemahan dari kosmologi jagat mikro (tubuh manusia) yang sedang berusaha merelasikan diri dengan jagat makro (tubuh semesta). Barangkali relasi antara dua dunia itulah yang ingin didalami Otniel Tasman lewat ”0-Excelsior”. Secara deskriptif Tasman membawa tubuh manusia mengalami ”per-ruangan” ke dalam realitas konkret, seperti hotel, pasar, mal, serta situs-situs lainnya. Ia berharap, sebelum tubuh benar-benar ber-relasi di antara mereka, yang antara lain ditandai dengan menggigit wahana di kedua ujungnya oleh dua penari, tubuh dibiarkan mengembara dalam semesta raya.
Per-ruangan barangkali menjadi kata kunci untuk menyatukan mandala diri dan mandala semesta. Barangkali Fitri kemudian menyimpulkan sebagaimana sebuah ayat dalam kitab suci: yang berasal dari tanah, akan kembali sebagai debu dan menjadi tanah. Napas kehidupanmu akan kembali ke Tuhan. Tuhan tak lain adalah representasi dari kekuatan semesta. Dalam repertoar bertajuk ”Watu Gamping”, Fitri bermain-main dengan partikel-partikel debu di sebuah situs pengolahan batu kapur.
Terkadang tubuh (manusia) menjelma di hadapan karung-karung besar, tetapi pada akhirnya melenyap ke dalam serpihan debu gamping, bahkan lesap menjadi dinding. Bukankah itu penyatuan antara mandala diri dan mandala semesta?
Pertanyaan yang membekas kemudian, dapatkah penyatuan itu menjadi sesuatu yang lebih nyata ketimbang berupa partikel-partikel yang simulatif? Apakah permainan di dunia digital, di mana terdapat proses kerja teknologis seperti pengeditan dan permainan mata kamera, mampu mengantarkan tubuh (manusia) menuju penyatuan dengan semesta? Sebab, bukankah itu perayaan paling subtil dari pencarian hidup manusia sejak masa-masa tinggal dalam gua sampai ”berkeliaran” di jalan raya dan dunia virtual?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi menjadi tantangan dalam menyongsong 30 tahun penyelenggaraan IDF. Keseriusan festival ini sudah dimulai sejak tahun 1992, sebagai forum yang diharapkan melahirkan semesta seni (tari) berbasis lokal, tetapi meruang dalam kesemestaan global.
Selaku Program Manager Indonesian Dance Festival, Ratri Anindyajati berharap, penggelaran Layar Terkembang akan menjadi jalan masuk menuju IDF dengan platform baru nanti. ”Dunia digital itu niscaya, tetapi tentu kita tidak kehilangan spiritualitas karenanya,” ujar Ratri.
Penari Nungki Kusumastuti, yang juga Ketua Yayasan Loka Tari Nusantara di mana IDF bernaung, mengatakan, sejak dulu perhelatan tari seperti IDF senantiasa mengikuti dinamika perkembangan kebudayaan, bahkan sosial politik di sekitarnya. ”Sekarang yang jadi tantangan, gimana IDF dan karya-karya tari di dalamnya memaksimalkan penggunaan teknologi. Tak hanya sebagai medium, tetapi juga sebagai bahasa ekspresi,” katanya.
Oleh sebab itu, teknologi digital harus mampu menjadi ekspresi untuk mendekatkan laku kosmik, bisa juga diterjemahkan sebagai taksu atau spirit, dengan tubuh mandala semesta. Memang akan dibutuhkan jalan melingkar untuk menemukan bahasa meditatif, sebelum tari benar-benar memasuki alam ”nir” untuk menemukan ”nur”, ruang ketiadaan yang membersitkan cahaya keilahian. Semoga itulah yang sedang kita tuju bersama, setidaknya agar hidup menjadi lebih berharga dan terhormat.