Film teranyar kawanan pengusir hantu, ”Ghostbusters: Afterlife”, bukan sekadar aksi dengan ”proton pack”, Ecto-1, atau detektor makhluk gaib. Karya itu juga didedikasikan demi Harold Ramis yang wafat pada 2014.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Tim pemburu hantu beraksi lagi dalam Ghostbusters: Afterlife. Berbeda dengan film-film terdahulunya, epos mereka diwarnai bumbu keharuan lewat relasi keluarga yang terasing. Karya berdurasi sekitar dua jam itu juga mengusung kekerabatan, baik antarsineas maupun tokoh-tokohnya.
Callie Spengler (Carrie Coon) terpaksa hengkang dari apartemennya setelah menunda terus menunda pembayaran uang sewa. Ia bersama dua anaknya, Trevor (Finn Wolfhard) dan Phoebe Spengler (Mckenna Grace), harus angkat kaki ke kota kecil.
Mereka menghuni rumah tua dan reyot peninggalan Egon Spengler. Mendiang ayah Callie itu membuat anak cucunya pening gara-gara nyaris tak mewariskan harta. Malah, ia kerap kesulitan melunasi tagihan pemakaian listrik semasa hidupnya. Situasi bertambah kisruh lantaran hunian itu ternyata angker.
Callie memang tak tahu banyak soal orangtuanya. Gadget unik, mobil butut, dan seragam usang lambat laun menyingkap misteri keeksentrikan Egon yang tergila-gila dengan sains. Ia mengurung diri dan berkutat dengan rupa-rupa mesin hingga warga setempatnya menganggapnya kurang waras.
Tingkah Egon rupanya berkorelasi dengan keganjilan tambang telantar yang dikunjungi Trevor, Phoebe, dan kawan-kawannya. Gozer dengan pasangan pemuja setianya, Vinz Clortho dan Zuul, yang kembali hadir spontan mengingatkan penonton akan antagonis utama dalam Ghosbusters (1984) itu. Asal-usul iblis tersebut dibeberkan lebih jauh yang sebagian telah diungkap dalam film pertamanya.
Dalam tayangan gresnya, Phoebe, dengan bakat yang diturunkan sang kakek, paling diandalkan untuk membasmi Gozer. Ia bersahabat dengan teman sekelasnya, Podcast (Logan Kim), dan diajar Grooberson yang mendalami seismologi. Sementara, Trevor berkenalan dengan Lucky (Celeste O’Connor), karyawati kafe.
Dipicu keteledoran dan rasa penasarannya, Grooberson membongkar paksa perangkap hantu yang disaksikan Phoebe dan Podcast. Jadilah ia sekaligus membuka kotak pandora. Roh jahat yang terlepas bergegas menuju tambang untuk bergabung dengan Gozer.
Tak perlu waktu lama, setan-setan bergentayangan di seantero kota. Kejar-kejaran untuk meringkus mereka pun tak terhindarkan. Plot selanjutnya memaparkan jatuh bangun Phoebe, Trevor, Podcast, dan Lucky untuk menghentikan sepak terjang Gozer.
Ditilik genrenya, Ghostbusters sama sekali tak menyeramkan. Waralaba itu bukan horor yang menyentak penonton macam Valak saat sekonyong-konyong menyembul dengan wajah jeleknya dalam The Nun (2018). Tak heran, Ghostbusters: Afterlife bisa disaksikan penonton segala usia.
Sejak debutnya, Ghostbusters memang sarat humor. Pimpinan kuartet itu, Peter Venkman (Bill Murray), bertabiat cuek, ngocol, malah kerap menjengkelkan. Nama-nama lakon lain, Raymond Stantz (Dan Aykroyd), Egon (Harold Ramis), dan Winston Zeddemore (Ernie Hudson), tak kalah lucu.
Logo keren, lagu pengisi berirama rancak yang asyik untuk disimak, dan pakem nyeleneh makhluk gaib kontan bikin publik kepincut. Musuh pamungkas dalam film pertamanya, Stay Puft Marshmallow Man, malah berwujud gula-gula kapas raksasa yang imut. Konsep yang jauh dari streotip pahlawan super masa itu dengan tubuh kekar, berwibawa, dan lawan tak kalah serius.
Dalam Ghostbusters: Afterlife, polah komikal disodorkan Podcast, bocah bawel yang senantiasa menenteng gawai untuk membuat konten siniarnya. Kekikukan Trevor mendekati Lucky sesekali mengundang senyum, demikian pula dengan Grooberson yang tertarik dengan Callie.
Selaras keterkaitan dengan sinema terdahulunya, Ghostbusters: Afterlife tentu bakal meruyakkan kenangan-kenangan dalam benak penggemar setengah baya. Kendaraan berpelat Ecto-1 dengan bising sirene yang khas, mesin portabel proton pack bertenaga nuklir, dan detektor hantu menjalarkan kembali sensasi menonton film-film prekuelnya saat mereka masih anak-anak atau remaja.
Karya kali ini juga konsisten tak memanggungkan kerupawanan. Grace yang biasanya anggun justru dirias layaknya kutu buku. Beberapa peranan boleh dikatakan berwajah culun, canggung, atau berperangai aneh hingga dijauhi teman-temannya. Tetap saja, antusiasme membangkitkan nostalgia mengalahkan unsur-unsur minor itu.
Sebagian undangan yang menghadiri press screening Ghostbusters: Afterlife di Jakarta, Senin (29/11/2021), umpamanya, bergumam saat sekretaris Ghostbusters, Janine Melnitz (Annie Potts), yang kini sudah manula berdialog dengan Callie. Seruan paling meriah pastinya menggema saat Venkman, Stantz, dan Zeddemore tampak di layar lebar.
Seusai Ghostbusters II (1989), penggemar terus menanti-nanti regu pemburu hantu kembali berlaga. Proyek untuk memuaskan mereka sempat tersendat ketika Ramis meninggal pada 2014. Film sempalan, Ghostbusters (2016), memang sempat dirilis tetapi respons khalayak tak sesuai harapan. Seusai film terbaru tuntas digarap, pemutarannya pun terpaksa ditunda berkali-kali karena pandemi.
Opsi menampilkan Egon lagi dengan pemeran lain atau efek spesial ditampik Columbia Pictures yang memproduksi Ghostbusters: Afterlife. Maka, alur dengan epilog ia tewas saat bergulat dengan hantu dirasa paling pas. Tak urung, kelanjutan kawanan yang kini berformasi trio itu sungguh pekat dengan emosional.
Bukan lagi sekadar keseruan pertarungan dengan oponen-oponen supranatural, sutradara Ghostbusters: Afterlife, Jason Reitman, juga membubuhkan sedikit drama keluarga. Phoebe, misalnya, setengah mati membela kakeknya dari cemoohan warga, bahkan berdebat dengan Callie dengan wajah muram. Tak ayal, Ghostbusters: Afterlife menjelma pula dalam elegi yang didedikasikan untuk Ramis.
Lebih-lebih, Jason menyimpan memoar tentang Ghostbusters yang amat kuat. Ia putra Ivan Reitman yang menyutradarai dua tontonan sebelumnya. ”Aku dibawa ke lokasi shooting film pertama. Umurku waktu itu masih enam tahun. Bayangan Marshmallow Man tersimpan terus sampai SMA,” ujarnya.
Sesuai siaran pers yang diedarkan Columbia Pictures, visi tentang perempuan berusia 12 tahun yang menemukan proton pack menghinggapi Jason sekitar satu dasawarsa lalu. ”Entah kenapa ide itu serta-merta muncul. Waktu Ramis wafat, aku langsung tahu, ia adalah cucu Egon,” ujarnya.
Grace bicara soal Ramis yang tetap dianggap bagian besar dalam Ghostbusters: Afterlife. Ia benar-benar senang saat mengenakan kacamata dan rambutnya dibikin keriting. ”Waktu pakai seragam Egon, ya Tuhan, aku menangis dalam trailer,” katanya.
Pembuat properti set, Ben Eadie, mengungkapkan, proton pack yang dibuat sama seperti hampir empat dekade silam. Sedikit berlainan, Ecto-1 ditambah beberapa fitur. ”Mobil itu sebetulnya ambulans,” kata supervisor spesial efek, Elia Popov, soal kendaraan yang kini dilengkapi kursi penembak di samping.