Menyingkap yang Tersembunyi
Malahayati menyingkap poligami lewat karya-karya fotonya. Titik pijaknya dari yang pernah dialami sendiri sebagai anak yang menentang ayahnya berpoligami.
Karya foto untuk menyingkap yang tersembunyi akan menawarkan narasi dan sensasi tersendiri. Rasa ingin tahu mungkin segera menyergap dan menjalari pikiran. Karya-karya foto seperti ini tentu tidak mudah untuk ditemui.
Teknologi fotografi sekarang memang makin mempermudah penggunanya. Memotret lazim dikerjakan banyak orang. Dari peristiwa keseharian hingga foto di pelosok-pelosok dunia banyak tersajikan di media sosial . Akan tetapi, tidak semua dihidupi roh perjuangan pemotretnya.
Foto meski indah, mungkin cepat dan mudah menghilang dari ingatan. Hilangnya mungkin secepat dan semudah dia datang. Berbeda ketika karya-karya foto diperjuangkan dengan napas panjang dan keprihatinan mendalam.
Karya fotografi seperti itu tidak harus datang dari tempat yang tersembunyi.
Seperti yang ditampilkan Malahayati, seorang fotografer yang kini menjadi Chapter Leader Women Photograph Indonesia, di Jakarta International Photo Festival (JIPFest). JIPFest berlangsung di empat lokasi di Kota Tua Jakarta dan sekitarnya pada 13-28 November 2021.
Malahayati menyingkap poligami lewat karya-karya fotonya. Titik pijaknya dari yang pernah dialami sendiri sebagai anak yang menentang ayahnya berpoligami. Foto-foto itu memiliki kedalaman dan menyimpan misteri tersendiri.
Itu foto anak saya. Ini menggambarkan masa sulit ketika saya mengandung dan harus mengurusi pembatalan pernikahan ayah saya yang kedua.
Sebuah foto siluet atau bayang-bayang kepala seorang bocah ditampilkan dari samping. Semburat cahaya putih berbentuk lingkaran hanya tampak sebagian. Bidang putih lingkaran itu diisi bayang-bayang kepala bocah. Warna hitam menyelimuti bidang sepenuhnya.
”Itu foto anak saya. Ini menggambarkan masa sulit ketika saya mengandung dan harus mengurusi pembatalan pernikahan ayah saya yang kedua,” ujar Malahayati, memulai perbincangan melalui telepon di Jakarta, Kamis (25/11/2021).
Siluet kepala bocah di dalam lingkaran cahaya putih semiotika sudut pandang anak untuk masalah poligami orangtua mereka. Di situ hanya ada dua pilihan warna, hitam atau putih. Praktik poligami setidaknya, bagi Malahayati, membawa derita bagi anak-anak seperti yang dialaminya sendiri.
Malahayati melalui karya-karya foto lain berusaha untuk tidak menghakimi soal pilihan hidup berpoligami. Mungkin saja ada sisi lain poligami bisa menawarkan suatu kebaikan. Setidaknya, bagi siapa saja yang menginginkan kehidupan poligami, tentulah membutuhkan pengetahuan dan kemampuan tersendiri.
Malahayati merepresentasikan itu dengan menampilkan jepretan seorang penceramah dan konsultan pernikahan yang menetap di Yogyakarta. Di kutipan foto, Malahayati menyertakan nama penceramah itu, Maz Awan Abdillah, ia dipotret bersama dua istrinya.
Dari karya foto lainnya, Malahayati menangkap cerita menarik dari suatu rencana pernikahan poligami. Ia menampilkan hasil jepretan berupa ”venue” atau tempat akad nikah tersebut.
”Dari karya ini, saya menyampaikan cerita ada seorang istri yang meminang perempuan lain untuk menjadi istri kedua bagi suaminya,” tutur Malahayati.
Kisah itu cukup unik dari seputar peristiwa pernikahan poligami. Malahayati tidak pernah menyangka sebelumnya kalau ide poligami justru datangnya dari pihak istri sebelumnya. Selama ini mungkin yang dibayangkan Malahayati adalah poligami merupakan keinginan para suami semata.
Kisah senyap
Foto-foto karya Malahayati ditautkan ke dalam satu simpul pameran foto JIPFest yang diberi judul Kisah Senyap. Ini bagian dari program Photo-Demos, yang diprakarsai PannaFoto Institute dan Kurawal Foundation, serta didukung Open Society Foundations.
Foto-foto Malahayati di dalam Kisah Senyap dihadirkan bersama karya dua fotografer lainnya, Arif Hidayah dan Albertus Vembrianto. Seperti halnya Malahayati, keduanya berusaha menyingkap hal-hal yang selama ini dianggap senyap dan tersembunyi.
Arif berpijak pada peristiwa penggusuran rumah bagi 176 kepala keluarga di Tamansari, Bandung, pada 12 Desember 2019. Karya-karyanya menggugat peristiwa nestapa bagi penduduk yang sebagian besar akhirnya menerima tawaran pemerintah.
”Penduduk yang tergusur dijanjikan pemerintah daerah setempat nantinya bisa menempati rumah deret yang akan dibangun di lahan seluas 8.300 meter persegi tersebut. Mereka akan diberi kebebasan tidak membayar sewa dalam lima tahun,” ujar Arif.
Setelah penggusuran, pengembang yang ditunjuk lalu membangun rumah deret. Sebutan rumah deret ini lebih tepat sebagai rumah susun karena yang dibangun itu rumah bertingkat-tingkat.
Saat ini pembangunannya terhenti. Pengembang mulai diketahui ternyata masuk daftar hitam Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) sejak 31 Juli 2018 sampai 31 Juli 2020. Konstruksi bangunan yang masih jauh dari selesai itu pun sekarang mangkrak.
”Bagaimana pada waktu itu pemerintah sampai tidak tahu kalau pengembang yang ditunjuk sebetulnya masuk daftar hitam LKPP,” ujar Arif.
Sewaktu penggusuran, pemerintah memakai alasan warga tidak memiliki sertifikat atau hak kepemilikan atas lahan yang dihuni. Akan tetapi, pemerintah daerah juga tidak bisa menunjukkan sertifikat atau hak atas kepemilikan lahan tersebut. Pemerintah hanya mendasarkan pada catatan aset.
Warga bahkan sudah menghuni lahan itu lebih dari 30 tahun. Ini yang dipertanyakan sebab sesuai perundang-undangan semestinya warga bisa mengajukan sertifikat atau hak atas tanah yang sudah dihuni lebih dari 30 tahun.
Arif berusaha mencitrakan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung itu. Seperti pada foto puing reruntuhan rumah warga yang dirobohkan. Dinding-dinding tegak yang tersisa dipenuhi cat warna-warni. Di situ ada tulisan, ”Lawan!”
Arif memotret ada perlawanan warga terhadap pemerintah. Karya foto lainnya, langit senja bersemburat warna ungu menjadi latar pipa-pipa hidroponik. Warga mempertahankan haknya dengan bercocok tanam secara hidroponik di situ.
”Sampai sekarang ada sebagian warga yang masih bertahan mengungsi di masjid. Lainnya menyebar entah ke mana. Tetapi, ada satu warga, namanya Bu Eva, masih bertahan di bekas tempat tinggal semula,” ujar Arif.
Arif menampilkan foto Eva dengan mata terpejam, seperti menahan letih. Eva bersama para pendamping hukumnya kini masih terus memperjuangkan hak-hak atas kepemilikan lahan mereka.
Arif memotret kepedihan warga lainnya. Termasuk Ade yang sedang tertidur bersama cucunya, Irga, di lantai dua masjid yang diperuntukkan bagi warga yang mengungsi.
Tidak lagi mengambil
Vembriyanto, fotografer ketiga dalam ”Kisah Senyap”, menampilkan foto-foto hasil perburuannya selama bertahun-tahun di pedalaman suku Kamoro di Kabupaten Mimika, Papua. Ia memotret cara hidup warga di muara yang berubah karena kerusakan alam di hilir akibat penambangan.
”Untuk memenuhi kebutuhan hidup warga, sekarang mereka sudah tidak lagi mengambil, tetapi mencari,” kata Vembriyanto.
Untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari, pada awalnya warga tinggal mengambil dari alam di sekitarnya. Sagu mudah didapat di pinggir-pinggir sungai. Ikan juga mudah diambil dari sungai.
Mereka hidup bergantung pada sungai. Akan tetapi, sekarang banyak sungai mati karena ada bendungan. Tanggul menutup Sungai Otomana. Secara otomatis, ini mematikan aliran air ke anak-anak sungai, seperti Sungai Ayuka (Ajkwa), Yamaima, Tawaiwau, Ayuiwa, dan Tafua.
Di sepanjang anak-anak sungai itulah berhimpun komunitas suku Kamoro. Mereka sekarang kesulitan untuk menopang keberlangsungan hidupnya. Ketika aliran sungai mati, banyak rawa mengering. Ikan tak lagi mudah didapat. Beragam jenis pohon rawa pun mati.
Mungkin saja semua itu bukan lagi hal yang tersembunyi. Banyak pihak sudah mengetahui, tetapi menutup mata dan sepertinya tidak mau tahu.
JIPFest menampilkan tidak hanya karya tiga fotografer ini. Masih ada ratusan karya foto terpilih dari puluhan fotografer lainnya yang ingin menyentak kesadaran para pemirsanya.
Mungkin saja, menyingkap yang tersembunyi belum tentu karena benar-benar tersembunyi, tetapi karena disembunyikan.