Dalam Cengkeram Ketakutan Tanpa Akhir
Film Paranoia besutan sutradara Riri Riza memberi gambaran bahwa pada satu titik, ketakutan terbesar dalam hidup pun harus dihadapi dengan berani.
Lari atau menghindar dari sesuatu yang menakutkan acap kali dipilih sebagai keputusan terbaik. Film Paranoia besutan sutradara Riri Riza memberi gambaran bahwa pada satu titik, ketakutan terbesar dalam hidup pun harus dihadapi dengan berani. Sebuah catatan tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga yang selalu menjadi momok menakutkan tanpa akhir.
Paranoia adalah kisah tentang Dina (diperankan oleh Nirina Zubir), seorang perempuan muda yang bekerja memasarkan sejumlah vila di Pulau Dewata, Bali. Di Bali, Dina tinggal hanya berdua dengan anak perempuannya yang beranjak remaja, Laura (diperankan oleh Caitlin North-Lewis).
Kala itu, seperti kondisi sesungguhnya, situasi Bali dan seluruh wilayah Indonesia pun digambarkan tengah dicekam pandemi Covid-19. Pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di mana-mana orang menjaga jarak dan mengenakan masker, termasuk Dina.
Saat menemui calon tamu salah satu vila yang diurusinya, Dina dikenali oleh tamunya tersebut, Rahim, sebagai istri Gion. Dina kaget, tetapi berusaha tidak mengakui bahwa dia adalah istri Gion.
Gion (diperankan oleh Lukman Sardi) saat itu berada di penjara. Saat mereka masih bersama, Gion adalah suami yang tak senang Dina bekerja atau keluar rumah. Saat emosinya memuncak, Gion kerap melakukan kekerasan dalam rumah ytangga (KDRT). Gion, misalnya, tak segan menyundut lengan Dina dengan rokok.
Selama Gion di penjara, Dina sedikit terbebas. Namun, ketakutan Dina mendadak muncul karena mendengar berita bahwa karena pandemi dan PSBB, pemerintah membebaskan ribuan narapidana dari penjara, termasuk Gion.
Merasa terancam, Dina pun mengajak Laura segera meninggalkan rumah mereka di Denpasar. Meski tak sepakat, Laura terpaksa menuruti kemauan ibunya. Menurut rencana, mereka akan bersembunyi di vila milik bos Dina di Karangasem, lalu lari ke Batam, dan pindah ke Singapura.
Di tengah kekalutan, Dina menemukan jalan keluar, meninggalkan patung milik Gion yang pernah diambilnya. Dina yakin, apabila patung itu dia tinggalkan, Gion tak akan mengejarnya lagi. Di luar dugaan, hal lain terjadi sehingga Gion terus mengejar tanpa henti.
Teror ketakutan
Selama 1 jam 42 menit, Paranoia menyuguhkan teror dan ketakutan yang disajikan oleh duet karakter Gion dan Dina. Begitu pun dengan kehadiran Laura dan Raka (Nicholas Saputra) yang membuat bangunan cerita Paranoia menjadi utuh.
Keempat aktor dan aktris yang tampil untuk peran di Paranoia tersebut dipilih dengan cermat oleh Riri, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto yang menulis skenario bersama. Saat proses penulisan itu, ketiganya sudah bisa membayangkan apabila Nirina adalah sosok yang tepat untuk menyampaikan pesan dari film tersebut. Sepanjang memerankan Dina, raut wajah, sorot mata, dan seluruh ekspresi tubuh Nirina berhasil menyampaikan pesan betapa ringkih sosok Dina, korban KDRT yang dilumat ketakutan seumur hidupnya.
Begitu pula dengan Lukman dan Nicho. Sekian lama bekerja sama dengan Lukman dan Nicho, Riri paham dengan kapasitas kedua aktor tersebut. Lukman, melalui sorot matanya, menyimpan kemarahan yang meluap hingga sosoknya terasa sangat mengerikan. Sementara Nicho, kali ini muncul dengan sosoknya yang lebih matang. Nicho menghidupkan sosok Raka yang juga menyimpan duka dan selalu memilih lari menghindari masalah.
”Satu-satunya yang agak menantang itu Caitlin karena dia baru main di tiga film, sangat minor perannya. Tapi, dia justru punya kepekaan sebagai remaja yang menghadapi pandemi. Ketika tertekan di dalam rumah terus, apalagi ibunya, kan, agak sedikit punya traumatik, post traumatic disorder yang membuat ketakutan yang menekan,” kata Riri, Kamis (25/11/2021).
Fakta bahwa Caitlin bersosok ”bule” dengan bahasa Indonesia-nya yang kagok sempat memunculkan dugaan Laura dan Dina tidak memiliki relasi biologis. Baru di adegan-adegan akhir, Caitlin tampak makin lancar berbahasa Indonesia. Sosok bulenya pun menjadi sedikit samar. Caitlin adalah satu-satunya pemeran yang benar-benar memiliki keterikatan dengan Bali.
Namun, meski setting film berada di Bali, semua pengambilan gambar dilakukan di sebuah kawasan di Palabuhanratu, Jawa Barat, menjelang akhir tahun 2020. Semua kru dan pemain bekerja dalam sistem gelembung di bawah pengawasan seorang epidemiolog.
Saat itu vaksin Covid-19 belum ada, proedur kesehatan pun dilakukan ketat. Semua awak film bekerja tidak lebih dari radius 12 kilometer. Tidak mengherankan apabila lokasi yang ditampilkan di film sangat terbatas, bahkan kerap diulang-ulang.
”Buat aku ini relatable banget kalau kita ngomongin situasi dan begitu juga dengan karakternya. Kenapa judulnya Paranoia karena setiap karakter punya paranoidnya masing-masing dan itu terjadi di hidup kita sekarang ini. Di awal-awal kita sangat paranoid terhadap apa pun karena kita belum tahu bagaimana mengatasinya,” kata Lukman dalam wawancara terpisah, Kamis.
Tentang perannya sebagai Gion, Lukman mengatakan, bukan hal yang mudah memerankan karakter itu karena dalam kehidupan nyata, Gion bukanlah dirinya. Agar bisa menggambarkan sosok Gion yang pemarah, Lukman berusaha membangkitkan apa yang pernah membuatnya berada dalam situasi sangat emosional.
”Sebagai trigger, aku mencoba mencari apa yang pernah terjadi dalam diriku dengan emosi yang cukup tinggi. Habis itu, aku buat relate dengan realitas yang ada di cerita Paranoia,” ujarnya.
Meski aktingnya cukup menguras emosi, memiliki lawan main yang sangat suportif membuat akting Lukman tak terkendala. Dengan Nirina, Lukman selalu berkomunikasi tentang apa yang akan dia lakukan karena tetap ada batasan yang harus dijaga. ”Tinggal bagaimana nanti kita atur secara koreografi, misalnya dengan Mas Riri dan segala macem,” kata Lukman.
Salah satu akting Lukman dan Nirina yang sangat intens adalah ketika Gion menyundutkan rokok ke lengan Dina. Begitu pula dengan adegan ketika Gion memaksa Dina untuk melayaninya.
Merespons situasi
Pandemi tak dimungkiri sejatinya menjadi ilham atau pemicu lahirnya Paranoia. ”Saya sama Mira (Mira Lesmana), ketika mulai menghadapi waktu yang baru ini tahun lalu, kan banyak banget ya kondisi yang tiba-tiba harus berubah. Kehilangan. Perubahan situasi, radical change yang terjadi di masyarakat ini menjadikannya muncul, bahwa ini mungkin sesuatu yang relevan untuk kita ceritakan ulang,” ujar Riri.
Dalam sejarah film, seperti salah satunya film karya Coen Brother berjudul No Country for Old Men (2007), menurut Riri, merupakan salah satu film yang bisa menjadi channel untuk bercerita, mewakili perasaan banyak orang di masa tertentu. Dia berharap Paranoia bisa mengambil peran serupa.
”Jadi, kita berharap 20-30 tahun yang akan datang melihat lagi film ini kita bisa jadi kayak punya catetan arsip waktu yang membuat orang pernah, mengenal ini merupakan karya yang lahir merupakan respons dari situasi, tetapi pada saat yang sama juga merupakan catetan dari waktu kita sekarang,” ucap Riri.
Meski sarat teror ketakutan, tidak ada tumpahan darah di film ini. Pun saat seekor kucing digambarkan terlindas oleh ban mobil Dina, sebagai simbol kehadiran sebuah malapetaka di depan mata.
Riri tampaknya tak ingin terjebak menyuguhkan sensasi kekerasan di film thriller pertamanya ini. Dia lebih tertarik menyuguhkan kekerasan psikis yang, menurut dia, tak kalah meneror dan menakutkan.
”Saya merasa bukan orang yang ingin masuk ke wilayah, kalau di dalam genrenya kayak gore, atau gore cinema. Saya mencoba tetap mengambil esensi bahwa ini cerita yang sebenarnya harus dipikirin, dibawa pulang, dan menjadi renungan buat yang nonton. Jangan sampai kita terjebak pada sensasi kekerasan. Saya tetap ingin membuat orang berpikir tentang kehidupan rumah tangga yang kadang-kadang emang perempuan bisa terjebak ke dalam situasi yang sangat menekan,” kata Riri.
Teror dibangun dengan lebih kaya nuansa sehingga menjadi lebih kuat. Misalnya, dengan Gion yang ditampilkan selalu membawa dan mengacung-acungkan linggis.
”Itu mengancam. Juga ruang-ruang gelap antara Dina dan Laura. Ibu dan anak ini selalu punya ruang untuk tidak saling melihat. Dina bisa tidak tahu saat anaknya pergi menemui Raka. Itu, menurut saya, keterancaman dan itu lebih menegangkan daripada darah. Mimpi buruk tentang Gion yang semakin dekat yang bikin Dina bener-bener takut. Hal-hal itu lebih dekat sama saya ketimbang konfrontasi fisik yang saling mengancam,” kata Riri.
Melalui Paranoia, Riri berharap bisa membuat semua orang lebih peka lagi dalam melihat sekelilingnya dan bagaimana kekerasan bisa melahirkan ketakutan.
”Ketakutan itu adalah hal yang paling berbahaya karena membuat kita kadang-kadang tidak bisa mengukur dengan rasional apa yang bisa terjadi dengan kita. Itu yang terjadi dengan tokoh Dina, dia berpikir ketakutan dihadapi dengan lari, lari lari lari, tapi pada satu titik, ketakutan itu bener-bener harus dihadapi dan diselesaikan. Itu yang saya pikir bisa dibawa pulang oleh penonton,” kata Riri.
Dia juga menambahkan, kekerasan di dalam rumah tangga itu ada dan pada masa pandemi, kadang-kadang, menjadi lebih berat daripada pandemi itu sendiri. ”Menurut saya, keluarga perlu kita bikin menjadi sebuah ruang yang aman supaya anak-anak bisa tumbuh dengan baik, menjadi manusia yang lebih baik. Ketika keluarga diwarnai dengan kekerasan, dengan traumatic experiences, sulit sekali melahirkan anak-anak yang nantinya punya kehidupan lebih baik. Mudah-mudahan, film ini juga bisa menjadi catatan tentang itu,” harap Riri.