Menguak Empat Puak Danau Toba
Sendratari Warna Danau adalah sebuah pentas berantai atau road show, yang direncanakan berkeliling ke empat kota. Pentas di Jakarta merupakan pentas kedua, setelah pertama di Kota Balige, ibu kota Kabupaten Toba, Sumut.
Bukanlah isapan jempol belaka, manakala Danau Toba dimasukkan pemerintah sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas. Sebuah sendratari yang diberi judul Warna Danau, menguak empat puak atau kelompok sosial yang ada di sekitarnya, mengukuhkan kemolekan tujuan pariwisata berbasis tradisi lokal yang unik dan menarik.
Keempat puak dengan kehidupannya mengitari Danau Toba yang memiliki luas permukaan mencapai 1.130 kilometer persegi. Mereka dikenal sebagai puak Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Segenap tradisi lokal yang melekat dijalin menjadi sebuah sendratari berdurasi sekitar 1 jam 30 menit yang ditampilkan di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (17/11/2021).
Sendratari Warna Danau adalah sebuah pentas berantai atau road show yang direncanakan berkeliling ke empat kota. Pentas di Jakarta merupakan pentas kedua, setelah pertama di kota Balige, ibu kota Kabupaten Toba, Sumatera Utara, pada 13 November 2021. Dua lokasi berikutnya di Padang dan Medan. Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Aceh yang memiliki cakupan wilayah kerja di Aceh dan Sumatera Utara menaungi program ini.
”Sendratari ini seperti gaya opera yang menggali tari-tarian bersumber tradisi empat puak sekaligus menyusun rangkaian narasi budaya lokal di sana. Ditambahi ada pelakon turis kekinian yang masuk ke dalam drama sendratari,” ujar Thomson Hutasoit, penulis naskah dan sutradara sendratari Warna Danau.
Akar kehidupan
Thomson memilih adegan pembuka berupa tarian akar kehidupan keempat puak berbasis pertanian padi. Jika tidak mengetahui latar tari tersebut, adegan video yang diproyeksikan ke layar besar di panggung bagian belakang akan cukup membantu untuk memahami.
Video itu menampakkan hamparan sawah padi di antara tanah berbukit-bukit di sekitar Danau Toba. Di panggung ada beberapa penari Guro-guro Aron. Kata guro-guro bermakna senda gurau, sedangkan aron memiliki makna muda-mudi. Ini sebuah tarian anak-anak muda dalam mengerjakan ladang dengan penuh sukacita.
Baca juga : Sekelumit Cerita dari Manggarai Jakarta
Ada perkolong-kolong sebagai orang yang bernyanyi diiringi gendang Karo dan tarian oleh muda-mudi. Inilah akar kehidupan empat puak yang menopang segala bentuk tradisi dan warna budaya di sekitar Danau Toba. Thomson kemudian mengenalkan beragam seni musik tradisi. Di antaranya Genderang Sisibah dari Batak Pakpak. Ini berupa seperangkat alat musik yang terdiri dari sembilan gendang. Musisinya disebut pande, biasanya berjumlah delapan atau sembilan orang.
Merkata genderang atau bebunyian gendang dilengkapi dengan untaian kata. Biasanya itu seperti rapalan doa yang diungkap kepada Dibata atau Dewata sesuai konteks kepercayaan dan tradisi lokal.
Alat musik lain seperti hasapi dari puak Batak Toba juga ditampilkan. Hasapi ini sebuah instrumen berdawai dengan dua senar. Cara memainkannya dengan memetik senar menggunakan pick atau alat bantu petik. Alunan musik tradisinya tergolong tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat. Iramanya mengalun ritmik. Gerak tariannya seperti mengikuti alunan musik yang cenderung lambat dan lembut itu.
Puak Batak Karo memiliki tarian tradisi Merdang Merdem. Ini sebuah ritual untuk merayakan ucapan syukur atas selesainya menanam padi di sawah. Hampir semua gerak tariannya mengalun lembut. Akan tetapi, ada tarian yang memiliki irama gerak cukup mengentak. Misalnya, tarian Moccak dari puak Batak Pakpak yang memang berbasis dari gerakan pencak silat atau seni bela diri.
Narasi sosial lainnya dikemas Thomson, misalnya menjadi adegan drama tari yang mengisahkan kekayaan manuskrip atau pustaka kuno. Salah satunya, Pustaha Laklak dari puak Batak Karo. Kata pustaha serapan dari bahasa Sanskerta yang bermakna sama dengan pustaka. Kata laklak mengacu muasal media yang digunakan untuk menulis pustaka berupa lembaran dari tetumbuhan tertentu.
Istilah laklak tidak berlaku untuk media tulis kulit hewan atau manusia. Pustaha Laklak berisi simbol, mitologi, resep pengobatan tradisional, penanggalan hari yang baik dan buruk, atau hal lain yang bersifat rahasia. Penulis Pustaha Laklak ini seorang datu atau serupa dukun.
Dari puak Batak karo dikisahkan pula tradisi Erpangir Ku Lau. Ini sebuah ritual tradisi lanjutan dua prosesi yang meliputi tradisi membawa anak turun mandi, yang disebut maba anak ku lau. Kemudian tradisi juma tiga, yang memperkenalkan anak kepada dasar pekerjaan tradisional Batak Karo, yaitu bertani.
Musim di mana pun menentukan tradisi pertanian. Musim kemarau panjang menjadi petaka tersendiri bagi masyarakat agraris seperti puak Batak Karo. Dari kondisi inilah kemudian lahir ritual tradisi mengundang hujan. Tradisi ini dikenal sebagai gundala-gundala.
Sendratari Warna Danau menampilkan gundala-gundala dari puak Batak Karo ini juga. Ada kekhasan figur-figur utama mengenakan jubah atau baju destar berukuran besar disertai topeng kayu yang besar pula. Topeng mereka ini mengingatkan seperti topeng kayu besar pada ondel-ondel Betawi, tetapi topeng gundala-gundala lebih semarak dan lebih berwarna-warni. Dalam bahasa Batak Karo, ritual memanggil hujan disebut ndilo wari udan. Ini terlahir dari sebuah legenda di tanah Karo, khususnya di wilayah Bukit Barisan.
Kuliner tradisional
Dari kebudayaan agraris pertanian padi, muncul kuliner tradisi berbasis nasi. Ada yang dikenal sebagai pelleng dari puak Batak Pakpak. Pelleng disuguhkan di dalam acara adat maupun kekeluargaan yang bersifat sakral, berupa nasi dengan campuran rempah kunyit, lengkuas, bawang, atau cabai. Lauk yang disertakan berupa daging ayam kampung. Warna nasinya kuning seperti layaknya nasi kuning.
Kuliner lauk tradisional ayam kampung juga dimiliki puak Batak Simalungun. Masakan ayam kampung ini disebut Dayok Binatur. Daging ayam kampung dimasak dengan holat atau perasan dari batang pohon tertentu, seperti pohon Sikkam. Dayok Binatur memiliki fungsi perekat sosial yang bisa diberikan antarkeluarga. Dari peristiwa itulah, pesan-pesan mengalir dari keluarga satu kepada keluarga lainnya.
Hunian juga tidak kalah menarik untuk suguhan wisata budaya dari empat puak di sekitar Danau Toba. Salah satunya, Siwaluh Jabu dari puak Batak Karo. Rumah kayu ini dibangun tanpa menggunakan paku. Rumah adat itu berupa rumah besar dengan delapan bagian. Ini bisa memuat delapan keluarga. Siwaluh Jabu memiliki kekuatan tahan terhadap gempa. Inilah kearifan lokal masyarakat tradisional Batak Karo.
Kain tenun ulos tidak pernah lepas dari tradisi masyarakat Batak secara umum. Di puak Batak Toba, ulos menjadi lambang ikatan kasih sayang orangtua kepada anak-anaknya. Juga bisa menjadi simbol pengikat kasih sayang satu sama lainnya yang dibahasakan sebagai ijuk pengihot ni hodong, ulos penghit ni holong.
Dari ulos Batak tumbuh bermacam komoditas pariwisata. Thomson menampilkan video beragam ulos. Ulos yang sudah menjadi ragam mode pun tak luput disuguhkan di babak akhir sendratari tersebut.
Baca juga: Kelenturan Seni Trimatra
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi, Hilmar Farid menyambut gembira pementasan sendratari Warna Danau yang mengeksplorasi kebudayaan asli masyarakat di sekitar Danau Toba. Proses persiapan pementasan ini ternyata cukup ringkas. Ada tiga kali seleksi para pemain yang berasal dari sanggar-sanggar seni dari empat puak sejak April hingga Juni 2021. Pada akhirnya, terpilih 20 pemain.
Sendratari Warna Danau berhasil menyuguhkan keanekaragaman seni tradisi Batak yang masuk kategori Warisan Budaya Tak Benda. Warisan ini sangat penting untuk menopang agenda wisata di kawasan Danau Toba, meski di antaranya tak mudah lagi dijumpai di tengah masyarakat lokal di sana.