Pencarian Kaligrafi Keindonesiaan
Seni menulis indah atau kaligrafi ternyata berkelindan dengan proses pencarian estetika yang juga tidak berkesudahan.
Seni menulis indah atau kaligrafi ternyata berkelindan dengan proses pencarian estetika yang juga tidak berkesudahan. Seperti kaligrafi Arab yang, salah satunya, berkelindan dengan keinginan meraih keindonesiaan. Titik pencapaian yang menyentuh nilai lokal menjadi kaligrafi keindonesiaan dalam menulis indah dengan aksara Arab tersebut.
Suatu ketika di Jordania pada tahun 1996, seniman Abdul Djalil Pirous (89) menceritakan pengalaman berpameran karya seni kaligrafi Arab-nya di sana. Ada pertanyaan beberapa wartawan yang menyentak benaknya.
”Mengapa perasaan Islam ingin digambarkan dengan kaligrafi Arab. Di sana, beberapa kaligrafi Arab yang saya buat ternyata memiliki bahasa yang juga digunakan untuk sehari-hari,” ujar Pirous dalam sebuah percakapan melalui telepon di Bandung, Kamis (11/11/2021).
Pertanyaan inilah yang sekarang memunculkan keinginan untuk melahirkan kaligrafi keindonesiaan melalui seni tulisan indah dengan menggunakan aksara Arab. Karakter kaligrafi Arab yang membawa identitas keindonesiaan menarik untuk diperjuangkan.
Pirous ketika itu berpameran di kota Amman, ibu kota Jordania. Karya-karya kaligrafi Arab Pirous ternyata masih dianggap sebagai suatu karya yang masih biasa di sana.
Jauh sebelumnya di Singapura pada 1980, ketika Pirous memamerkan karya-karya kaligrafi Arab-nya, ternyata media di Singapura banyak yang menulis karya kaligrafi Pirous sama dengan karya-karya kaligrafi yang dibuat di Timur Tengah. ”Di mana Indonesia-nya?” ujar Pirous, meniru kutipan dari media Singapura ketika itu.
Inilah pijakan Pirous untuk menyuarakan kaligrafi Arab karya para seniman asal Indonesia yang sebaiknya menunjukkan karya kaligrafi keindonesiaan. Jika mampu, prospek untuk mendunia ada di depan mata.
Ia menunjuk potensi itu terbentang lebar dengan menggali nilai-nilai lokal menjadi titik tolak. Mungkin saja para seniman kaligrafi Arab yang berasal dari berbagai daerah itu kembali menengok nilai-nilai lokal tradisionalnya.
”Itu semua tidak akan jatuh dari langit. Kita harus bekerja keras,” ujar Pirous seraya mencontohkan nilai seni lokal seperti seni wayang atau seni ukir bisa menjadi titik tolak menarik dalam menciptakan kaligrafi Arab yang memiliki karakter keindonesiaan.
Kaligrafi, bagi Pirous, bukan semata menulis indah. Di situ ada kekuatan estetika tertentu. Ketika diperkaya dengan lukisan, karya itu menjadi lukisan kaligrafi yang memiliki nilai tersendiri.
Pirous menceritakan semua hal ini terkait dengan pameran kaligrafi Arab bertajuk The Power of Ka’bah. Pirous sekaligus menjadi narasumber program Bedah Karya untuk pameran yang diselenggarakan Islamic Art Exhibition dan Jakarta Islamic Centre, 17 Oktober hingga 17 November 2021, secara daring ini.
Ada 175 peserta dari 26 negara yang ikut menampilkan karya-karya kaligrafi Arab mereka. Seniman asal Indonesia ada 72 orang. Sisanya dari negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat, China, Inggris, Australia, dan Jepang.
Syaiful Adnan (64), peserta asal Sumatera Barat yang kini menetap di Yogyakarta, menjadi salah satu seniman kaligrafi Arab yang berhasil mengembangkan nilai lokal dari tanah kelahirannya. Sejak duduk di bangku kuliah tahun 1977 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Syaiful mulai melukis kaligrafi dengan dasar garis-garis tajam, tetapi luwes untuk menyiratkan nilai-nilai tradisi lanskap rumah gadang Minangkabau.
”Sewaktu memulai kaligrafi pada 1977, saya memang dikritik tidak sesuai kaidah seni kaligrafi Arab. Ada bentuk deformasi sesuai karakter Minang dan ini saya pertahankan sampai sekarang,” ujar Syaiful.
Gairah baru
Pameran kaligrafi Arab The Power of Ka’bah menjadi letupan gairah baru di era pandemi Covid-19 yang diharapkan segera berakhir. Direktur Islamic Art Exhibition M Arif Syukur mengemukakan hal ini.
”Penduduk Indonesia menjadi penduduk Muslim terbesar di dunia. Kita memiliki peluang dalam mengembangkan seni kaligrafi Arab,” ujar Arif, yang juga menjabat Kepala Subdivisi Pemberdayaan Masyarakat pada Divisi Sosial Budaya Jakarta Islamic Centre.
Di era pandemi sudah digelar tiga kali pameran seni kaligrafi Arab secara daring untuk tingkat nasional, ASEAN, dan saat ini melibatkan peserta dari 26 negara. Dalam waktu dekat nanti, pada Januari 2022, sudah dipersiapkan lagi pameran seni kaligrafi Arab keempat di masa pandemi dengan mengundang partisipasi dari 50 negara.
Indonesia diharapkan memainkan peran penting di dalam perkembangan seni kaligrafi Arab kontemporer. Menurut Arif, seniman AD Pirous memiliki beragam gagasan menarik dan menjadi peletak dasar perkembangan seni kaligrafi Arab kontemporer di Indonesia.
”Seni kaligrafi Arab kita lebih memiliki kebebasan dalam pengembangannya. Tidak seperti Timur Tengah yang lebih mengikuti kaidah tertentu,” ujar Arif.
Catatan kuratorial pameran ini diberikan Ilham Khoiri, yang berjudul ”Energi Kreatif Seniman Muslim di Tengah Pandemi”. Ilham mencuplik data situs Worldometers, Jumat (15/10/2021) siang, yang mencantumkan korban Covid- 19 sebanyak total 240,47 juta kasus dengan 4,89 juta korban meninggal di 223 negara. ”Jumlah korban itu besar dan berlangsung cepat,” ujar Ilham.
Pandemi memacetkan hampir seluruh aspek kehidupan. Ekonomi terseok. Perusahaan tak leluasa membuka pabrik. Para pekerja tak bebas bepergian ke pabrik atau kantor. Produksi mampat, penjualan menurun. Angka belanja dan konsumsi warga merosot.
Saat ekonomi susah bergerak, sebagian orang kekurangan pendapatan, bahkan kehilangan pekerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Bantuan sosial dari pemerintah tak sepenuhnya mampu menjangkau warga yang terdampak pandemi.
”Kita dikepung kesusahan dari berbagai penjuru,” kata Ilham, seraya menyebutkan, pandemi Covid-19 membuat sebagian masyarakat juga mengalami gangguan kesehatan mental.
Kesadaran spiritual
Dalam situasi terpuruk, manusia terdesak untuk bertafakur atau berpikir keras dan berulang-ulang. Ilham menyebutkan, salah satu sandaran yang menjadi pelarian manusia di tengah pandemi adalah seni.
Pada titik ini, seni menumbuhkan kembali perasaan batin manusia yang kering kerontang atau tenggelam dalam cengkeraman pandemi. Cemas, gelisah, depresi, dan stres saat dirundung ketakutan akibat Covid-19 itu terkurangi, bahkan tergantikan oleh kenikmatan saat menatap karya seni.
Karya seni kaligrafi Arab menyajikan tawaran lebih jauh. Ada landasan ideologi keagamaan untuk menumbuhkan kesadaran spiritual.
”Para seniman Muslim menempatkan seni sebagai bagian dari ibadah. Kerja kesenian hanya sebagian dari seluruh rangkaian kehidupan manusia yang sepenuhnya dipersembahkan untuk Allah,” kata Ilham.
Dalam situasi pandemi, kesadaran ini menemukan momentum yang tepat. Selain itu, pameran ini memaparkan keberagaman dan kekayaan visual. Dari tema The Power of Ka’bah, tentu saja banyak karya secara gamblang menampilkan gambar Kabah secara beragam bentuk dan pendekatan.
Ada Kabah yang dilukis sebagai lanskap dengan perspektif realisme. Ada Kabah yang dikemas dalam model kubistik sebagai kubus yang dibelah-belah dalam faset-faset yang multiperspektif.
Wujud Kabah lainnya menjadi semacam bentuk simbolik. Sebagian pelukis Indonesia dan sebagian besar seniman Timur Tengah masuk dalam kelompok revivalis. Mereka mewarisi dan berjuang untuk meneruskan spirit dan disiplin khat atau kaligrafi klasik.
”Maka, terpampanglah gaya-gaya khat tradisional, terutama Tsulust, Naskhi, Dewaniy, Farisi, Syikasteh, Kufi, atau Dewani Jaliy. Anatomi setiap huruf tertuliskan rapi dalam takaran ketat, serta-merta mengingatkan kita pada pencapaian seni khat dari masa-masa keemasan peradaban Islam pada abad pertengahan di Timur Tengah,” papar Ilham.
Pada kelompok kaligrafi kontemporer, para seniman ini bisa sangat liar. Kaidah-kaidah lama dideformasi, diacak-acak, dan diobrak-abrik begitu saja. Hasil akhirnya terkadang hanya menunjukkan jejak-jejak kaligrafi, sesuatu yang mirip dengan bentuk khat, tetapi kerap sulit dibaca.
Jejak-jejak kaligrafis itu menjadi semacam impresi, kesan, atau ingatan dari masa lalu, tetapi kemudian diekspresikan dalam kemasan yang bebas. Hubungan antara keduanya cukup berhasil mendamaikan semangat revivalis dan kontemporer.