Film ”Penyalin Cahaya” dinobatkan sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia 2021 yang berlangsung di Jakarta. Film ini meraih 12 Piala Citra dari 17 nominasi.
Oleh
Sekar Gandhawangi, Wisnu Dewabrata, Budi Suwarna
·3 menit baca
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/KRIS
Salah satu bagian acara Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Presiden Joko Widodo hadir dalam acara itu.
JAKARTA, KOMPAS — Film Penyalin Cahaya menguasai panggung Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021. Film produksi Rekata Studio dan Kaninga Pictures itu meraih 12 Piala Citra dari 17 nominasi.
Dari 12 Piala Citra yang diperoleh, Penyalin Cahaya memperoleh penghargaan untuk kategori-kategori utama, yakni Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik (Wregas Bhanuteja), Pemeran Utama Pria Terbaik (Chicco Kurniawan), dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Jerome Kurnia).
Sementara itu, kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik dan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik masing-masing didapat Arawinda Kirana (Yuni) dan Marissa Anita (Ali dan Ratu Ratu Queens).
FFI 2021 yang digelar di Jakarta Convention Center dengan protokol kesehatan ketat, Rabu (10/11/2021) malam, cukup spesial karena pada hari yang sama pemerintah menetapkan Bapak Perfilman Nasional Usmar Ismail sebagai Pahlawan Nasional.
”Pagi tadi, sebagai wujud penghargaan tertinggi untuk para pejuang kebudayaan, atas nama bangsa dan negara, saya menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Bapak Haji Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada acara Malam Anugerah Piala Citra FFI di Jakarta.
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/KRIS
Presiden Joko Widodo Menghadiri Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (10/11/2021).
Ketua Komite FFI 2021 Reza Rahadian menyampaikan syukur atas penghargaan yang begitu tinggi terhadap insan perfilman dalam bentuk penganugerahan pahlawan nasional kepada Usmar Ismail. ”Pandemi yang ada di negeri ini, dan di seluruh belahan bumi, belum juga usai. Namun, tantangan- tantangan yang disebabkan olehnya, insya Allah, dapat kita lalui satu per satu,” katanya.
Kaya pesan
Panggung FFI tahun ini semakin terasa spesial karena banyak pesan penting terkait fenomena sosial yang dibawa insan perfilman. Hal ini tecermin dalam cerita film dan ungkapan insan perfilman di atas panggung Piala Citra.
Film Terbaik Penyalin Cahaya, misalnya, bertutur tentang korban kekerasan. Yuni bertutur tentang perjuangan perempuan untuk meraih mimpi. Sementara Ali dan Ratu Ratu Queens bertutur tentang laki-laki muda yang berusaha mencari ibunya dengan bantuan sejumlah perempuan.
Sutradara Terbaik Wregas Bhanuteja berharap pesan dalam Penyalin Cahaya bisa sampai kepada masyarakat luas. ”Di era pandemi, kita mendengar tingkat kasus kekerasan seksual meningkat. Kami harap dari film ini kita bisa belajar bersama agar lebih peka dan berempati terhadap kondisi di sekitar kita,” ujar Wregas.
Sementara itu, Marissa Anita membawa isu tentang kesetaraan jender saat berpidato sebagai Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik. ”Saya berharap lebih banyak filmmaker perempuan karena ada banyak cerita perempuan yang rasanya paling pas disampaikan oleh perempuan. Ini karena cara pandang perempuan dan laki-laki berbeda,” katanya.
Kompas/Priyombodo
Penari pengisi acara Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 saat berlatih di atas panggung utama di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Selasa (9/11/2021). Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 digelar pada tanggal 10 November 2021 bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Sineas lainnya ada yang menyuarakan persoalan racun maskulinitas, isu keberagaman, simpati kepada korban kekerasan, dan menyuarakan pentingnya jam kerja yang sehat.
Pengamat film Hikmat Darmawan menilai FFI 2021 memperlihatkan keberagaman. Dari sisi tema, film yang menjadi nomine sebagian besar tetap mengusung tema dan kisah keluarga, tetapi tidak sekadar bersifat heteronormatif. Lebih lanjut, penggunaan unsur budaya dan bahasa daerah juga mengalami pengarusutamaan.
”Dulu, saat Mas Garin bikin film Surat untuk Bidadari (1994), itu, kan, kesannya seperti (melakukan) subversif sekali. Namun, setelah itu semakin banyak film melakukan hal sama, yakni menggunakan bahasa daerah. Sekarang malah sudah lazim,” kata Hikmat.
Anggota Dewan Juri FFI 2021, Niniek L Kariem, menjelaskan, film memang mencerminkan kondisi masyarakat. Karena itu, perspektif penilaian film pun mesti fleksibel mengikuti perkembangan zaman. ”Saya merujuk pada kata-kata Gus Dur, ’Seni pertunjukan apa pun kalau tidak mencerminkan kondisi masyarakatnya itu bukan pertunjukan. Itu namanya sandiwara’,” kata Niniek.
Presiden Jokowi memuji dan mengapresiasi kekayaan tema cerita yang dihasilkan para sineas, misalnya cerita tentang para perempuan yang melahirkan anak di penjara pada film (dokumenter) Invisible Hopes (2021).
”Saya sangat mengapresiasi dan berharap para sineas, aktor, aktris, dan semua stakeholder perfilman memupuk mimpi besar, menguatkan kolaborasi dengan pusat perfilman dunia untuk menggali dan mengangkat cerita unik,” kata Presiden. (IAN/LSA/CAS)