Rock mungkin sedang tak menjadi musik arus utama di Indonesia. Sebagian musisi rock gaek pun pontang-panting mengejar kemajuan teknologi. Namun, mereka tetap semangat untuk beraksi.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Sejumlah musisi rock senior mengaku kesulitan menghadapi perkembangan teknologi yang begitu pesat. Mereka harus berakrobat dengan luwes agar tetap eksis. Meski demikian, hasrat untuk menggaungkan musik cadas itu tak pernah padam.
Jelly Tobing (71) masih trengginas beraksi di sela-sela siaran daring bertajuk ”Remember The Mercy’s” pada akhir Oktober 2021. Berbeda dengan drum yang lekat dengannya, kali ini ia memetik gitar sambil bergantian menjadi vokal utama dan latar. Lagu pembuka, ”Hey Hey Hey”, dimainkan lebih rancak dibandingkan versi aslinya.
”Pertunjukan pertama kita. Korona (Covid-19) perlahan menghilang. Tepuk tangan untuk Indonesia,” katanya dengan antusias. Ia didampingi saksofonis Cucu Riped, kibordis Theo Kamudi, vokalis Frans Dhana, drumer Onky, basis Arie Brezley, dan pentolan The Mercy’s, Erwin Harahap.
Pertunjukan tersebut ternyata menyisakan kejutan. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun Jelly. Erwin lewat miknya menyampaikan selamat, demikian pula sejumlah penonton. Sang empunya milad pun mengucapkan terima kasih, termasuk kepada beberapa figur publik yang mengirimkannya bunga.
Penampilan Jelly tetap prima hingga tontonan Youtube lewat akun Teras 124 selama sekitar dua jam itu berakhir. Pasangan bintang tamu Dhea Mirella dan Eddie Pramono semakin memeriahkan konser yang diisi pula dengan donasi peduli musisi tersebut.
”Saya bersyukur, masih bertahan. Kalau bikin show (pertunjukan), orang masih mau bayar,” ujarnya sambil tersenyum dalam kesempatan berbeda, Jumat (5/11/2021). Jelly yang kini lebih banyak bernyanyi masih tampil setidaknya secara daring, satu hingga dua kali sepekan.
”Perkembangan teknologi belakangan ini pesat sekali. Terus terang, kalau saya rasakan, dampaknya lumayan berat tetapi semua lini pun sekarang begitu,” ujarnya. Jelly sangat bersyukur lantaran anaknya, Ikmal Tobing (32), mengikuti jejak sang ayah.
Di rumahnya, ia dibantu Ikmal jika harus memakai aplikasi musik yang tergolong mutakhir. Jelly yang mengaku kurang memahami teknologi terbaru kerap mengatasi kendalanya dengan menghubungi pengelola-pengelola studio mumpuni. ”Misalnya, DSS dengan Konser 7 Ruang. Teras 124 dan Lontar TV juga bagus,” ujarnya.
Meski sudah gaek, Jelly enggan mengabaikan, apalagi melawan teknologi. Ia memetik hikmah dengan terkumpulnya donasi untuk musisi lewat konser virtual. ”Biaya produksi juga perlu dana dan bisa diperoleh dari pergaulan atau jaringan yang luas,” katanya.
Tak melek
Lintang pukang mengejar perkembangan teknologi juga dialami Atiek CB (58). Roker yang mengenyam masa kejayaannya pada tahun 1980-1990-an itu tak melek teknologi mutakhir soal rekaman, terutama aplikasi yang bisa digunakan hanya dengan gawai. Ia malah mengaku sudah menyerah.
”Terus terang, saya buta huruf dengan perkembangan itu. Keteteran. Enggak bisa catch up (mengejar) tetapi saya tahu keterbatasan sendiri,” katanya. Atiek pun tak memiliki media sosial. Ia justru malu jika harus mempertontonkan kehidupannya.
”Makanya, saya enggak bisa maju lagi dari yang sudah didapatkan. Ya, mandek tetapi karena personalitas saya bukan mencari perhatian,” ujarnya. Di usianya saat ini, ia sangat kesulitan mengadopsi perkembangan gadget. Atiek pun tak tertarik menggunakan fasilitas tersebut.
”Seharusnya, saya belajar tapi enggak minat. Sebenarnya, itu jadi kendala besar juga bagi saya untuk terus eksis di belantika musik Tanah Air,” ucapnya. Ia tak menyesal meski tak mudah beradaptasi dan rekan-rekannya masih hilir mudik di layar kaca, surat kabar, hingga dunia maya. Tak heran, Atiek sungguh kagum dengan beberapa rekan seangkatannya.
”Kayak Titi DJ yang tetap survive (bertahan). Saya salut betul dengan teman-teman yang masih populer dan sugih,” katanya. Meski rock sering tak lagi dianggap musik arus utama saat ini, hasrat Atiek untuk tarik suara tak pernah padam. Ia sangat semangat jika diundang untuk kembali berpentas.
”Saya kasih ide ke Nicky Astria. Saya dekat sama dia. Ayo bikin tur lagi kalau pandemi sudah selesai. Selain nostalgia juga usaha untuk memopulerkan rock lagi,” ujarnya. Bagi Atiek, rock tak ada matinya dengan penikmat mulai akar rumput hingga kalangan top.
”Saya itu never too old to (tak pernah terlalu tua untuk menyanyi) rock. Meski sudah seumur saya, rock and roll terus,” katanya sambil tertawa. Atiek menilai pentingnya musisi rock beradaptasi dengan selera generasi muda. Jika meluncurkan lagu, ia mengimpikan karya baru yang lebih ekspresif.
Penjualan menurun
Perubahan bermusik pun dirasakan Abadi Soesman (72) dengan teknologi yang kian berkembang menjadi digital. Album 36th yang dirilis pada tahun 2009 terkena dampak digitalisasi pula dengan diluncurkan di tengah ketidakpastian. Bisnis permusikan berubah dengan maraknya nada dering saat itu diiringi penjualan kaset dan cakram kompak yang menurun. Masyarakat pun mulai beralih mendengarkan lagu lewat Youtube.
”Agak goncang. Kami pikir, mau keluarin album sekarang atau bagaimana. Akhirnya, album dirampungkan supaya God Bless bisa memainkan lagu-lagunya di panggung,” ujarnya. Album tersebut diluncurkan alami saja untuk menyambut ulang tahun God Bless ke-36.
”Kami juga bikin (lagu) ’N.A.T.O.’ untuk mengajak sekeliling untuk enggak omong doang. Dilepas saja albumnya meski bisnis musik berubah,” katanya. Penjualan album saat itu menurun karena konten musik di internet semakin banyak. Kini, masyarakat bisa mendengarkan lagu yang disukainya setiap saat hanya dengan gawai.
Saat ia baru bergabung dengan God Bless pada tahun 1979, organ tunggal saja belum tersedia. Kini, siapa pun bisa belajar musik dengan mudah. Perbedaannya, Abadi belajar dari dasar dengan musik klasik. ”Arah, harmoni, dan warnanya. Lalu, ditentukan mau solois atau grup. Ada sekolahnya,” ujar pemain piano, kibor, dan synthesizer itu.
Teknologi bisa membantu tetapi Abadi bersikeras, musisi tetap harus berlatih. Kemutakhiran instrumen bukanlah yang utama. ”Kayak olahragawan meski tidak bertanding tetapi tetap harus menjaga ketangkasan. Teknologi hanya pendukung,” katanya.
Pengamat musik Denny MR berpendapat, minat musisi senior mempelajari teknologi terbaru tak setinggi rekan-rekannya yang masih muda. ”Mereka yang senior sudah berjalan lebih jauh jadi energinya tak sebesar milenial. Musisi senior jarang yang update (memperbarui) pengetahuan soal teknologi,” katanya.
Beberapa musisi kawakan dengan penguasaan teknologi yang dianggap baik dan tetap produktif, umpamanya Addie MS dan Erwin Gutawa. ”Kalaupun permintaan untuk berpentas masih tinggi, musisi senior umumnya dibantu teknisi untuk menyiapkan peralatannya,” katanya.