Sepasang seniman terpisah zaman namun menyatu lewat pararelisme. Eloise Turner, mahasiswi mode, mengecap suka duka alter egonya, Sandie, sang penyanyi. Kegembiraan jadi kepedihan lantaran mimpi yang terkoyak kebejatan.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Last Night in Soho dengan genre horor yang berpadu misteri pembunuhan menjadikannya berbeda dibandingkan film-film lain lewat iringan tari dan musik. Semesta dua seniman belia dituturkan dengan latar retro yang menghanyutkan, tetapi juga mencekam.
Eloise Turner (Thomasin McKenzie), gadis yang lincah dan periang, bercita-cita merancang busana-busana berkaliber dunia. Maka, tatkala impiannya mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Mode London, Inggris, terwujud, ia girang bukan kepalang dan memeluk neneknya.
Mereka menetap di Redruth yang termasuk rural. Dara yang akrab disapa Ellie itu tergila-gila dengan fashion, musik, dan film era 1960-an. Ia bahkan punya seabrek piringan hitam, lengkap dengan pemutarnya yang diboyong ke London. Segera, gegar budaya tak terelakkan.
Ellie, mengenakan baju jahitan sendiri, jadi bulan-bulanan rekan sekamarnya, Jacosta (Synnove Karlsen), bersama gengnya yang snob dan berpakaian luks. London saat malam begitu liar dengan minuman keras, seks bebas, dan musik ingar bingar.
Jacosta ceplas-ceplos dan kasar, sementara Ellie lugu. Ia tak tahan lantas pindah ke hunian milik Collins, perempuan tua dan galak tanpa keluarga yang menyewakan kamarnya di lantai atas. Di sekitar, bangunan-bangunan lawas diisi dengan pub dan kafe.
Sensasi aneh mulai menguar. Setiap malam, sesosok perempuan cantik bernama Sandie (Anya Taylor-Joy) tiba-tiba bersinggungan dengan kehidupan Ellie. Mereka saling mengintip dimensinya yang paralel lewat cermin, tetapi tanpa kata-kata. Sama-sama insan kreatif, namun dengan hasrat yang berbeda.
Sandie berambisi menggapai kebintangannya lewat tari dan tarik suara. Ia berkenalan dengan Jack (Matt Smith), manajer diskotek yang berjanji mengantarnya menuju ketenaran. Semua berjalan indah. Lewat dansa-dansi, bioskop, dan mobilnya, tampaklah jika mereka hidup sekitar enam dekade lalu.
Tentu saja, Ellie luar biasa senang. Ia mengecap kegembiraan alter egonya yang memadu kasih dengan Jack. Tak dinyana, bahagia berangsur jadi petaka. Bukannya berpentas, Sandie malah disorongkan ke hadapan bos-bos besar berhidung belang.
Ia dipaksa menemani minum hingga memuaskan syahwat pelanggannya dengan prostitusi yang berkedok pertunjukan. Jack, biang kerok semua itu, tak ketinggalan mengharu biru. Sandie mengalami kekerasan fisik maupun verbal di bawah ancaman senjata. Ellie sontak ketakutan.
Bunga-bunga tidur yang manis berubah jadi mimpi buruk. Nyata dan semu sulit dibedakan. Kuliahnya nyaris berantakan dan ia disangka tak waras. Ditambah, pria uzur misterius dengan tatapan nyalang yang hilir mudik dan mengaku tahu soal Sandie mencuatkan kegamangan.
Ellie memang mampu melihat makhluk-makhluk supranatural yang belakangan sulit dibedakan antara anugerah atau musibah. Beruntung, John (Michael Ajao) yang sama-sama menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Mode London, selalu sigap menawarkan pertolongan.
Bumbu Neo-Noir
Film berdurasi hampir dua jam itu menghadirkan genre berbeda dibandingkan karya-karya yang saat ini didominasi aksi, fiksi sains, dan pahlawan super. Last Night in Soho disedapkan dengan bumbu neo-noir atau pembaruan dari layar lebar berplot kelam khas pascaperang Dunia II.
Apalagi, sang sutradara sekaligus penulis naskah dan produser Edgar Wright juga menyajikan sedikit gaya Alfred Hitchcock. Sabetan pisau Jack sekilas mengingatkan penonton akan karya sineas legendaris tersebut, Psycho (1960) dengan iringan musik dan jeritan yang bikin bergidik.
Aneka lagu lawas macam ”You’re My World” yang dipopulerkan Cilla Black, ”Eloise” lantunan Barry Ryan, dan ”Got My Mind Set on You” dari James Ray pastinya meramaikan Last Night in Soho. Karya-karya tersebut merepresentasikan hobi Ellie yang dilatarbelakangi selera musik neneknya.
Collins yang terheran-heran dengan kegemaran anak semangnya, baru paham. Ia melontarkan komparasi yang lazim dilontarkan kepada generasi milenial itu. ”Musik zaman dulu selalu lebih bagus,” katanya sambil berlalu dan meninggalkan Ellie yang termangu.
Last Night in Soho juga menjadi pertaruhan Taylor-Joy untuk mengilapkan pamor setelah aktingnya yang menyita perhatian publik dalam serial brilian The Queen’s Gambit. Kelincahan jemari aktris itu menari di atas papan catur berganti keluwesan kakinya di lantai klub malam.
Lebih jauh, Last Night in Soho juga mengangkat pelecehan seksual dalam ranah hiburan yang bukan tergolong fenomena baru. Pada tahun 1977, misalnya, jagat sinema internasional geger lantaran sutradara besar Roman Polanski terseret tuduhan pemerkosaan terhadap Samantha Gailey.
Gailey saat itu berusia 13 tahun dan telah mengganti namanya menjadi Samantha Geimer. Ia menuangkan kepedihan dalam bukunya, The Girl: A Life in the Shadow of Roman Polanski yang diterbitkan Atria Books pada tahun 2013. Kasus itu berbuntut panjang dan dramatis.
Polanski kabur ke Inggris kemudian Perancis dan baru ditahan ketika hendak menghadiri Zurich Film Festival di Swiss pada tahun 2009. Bagaimanapun, pencinta film tetap mengelu-elukan sosok kontroversial yang menggondol penghargaan Academy Awards sebagai sutradara terbaik lewat The Pianist (2002) itu.
Sisi gelap
Wright mengungkapkan pertimbangan untuk mengarahkan film tersebut dalam artikel bertajuk How Edgar Wright Set Out to Challenge Himself, and the Past, with ”Last Night in Soho” yang dimuat situs berita Los Angeles Times pada 3 November 2021.
Ia mengamati drama-drama Inggris pada masa lampau dengan warna-warni saturasi yang sarat dengan giallo atau langgam alur misteri ala Italia. ”Banyak film saat itu yang menceritakan sisi gelap Soho atau bisnis pertunjukannya,” katanya.
Wright membidik kemuraman yang mengintai di pusat London, di mana ia tinggal dan bekerja. Film tentang perempuan muda merantau ke ibu kota Inggris itu sudah jamak. ”Tokohnya ingin menjadi bintang tapi malah bernasib naas. Asal muasal kesuraman itu yang ingin kucari,” katanya.
Taylor-Joy pun mengemukakan kekagumannya terhadap Wright dalam wawancaranya dengan situs berita hiburan The Hollywood Reporter. ”Ia tahu musiknya bakal seperti apa sebelum pengambilan gambar. Aku seakan menghadapi realitas yang sempurna,” katanya.
Dalam tulisan berjudul Anya Taylor-Joy on ’Last Night in Soho’ and Edgar Wright’s Superpower yang ditayangkan pada 27 Oktober 2021 itu, ia juga mengekspresikan kegembirannya mempelajari koreografi. Taylor-Joy tetap diberi kebebasan mengusulkan kreasinya.
”Aku dan Thomasin yang melakukan gerakan refleksi jadi seperti anak-anak. Kalau adegan selesai, kami lari menuju monitor dan melihat hasilnya keren banget,” ucapnya. Sekali waktu, empat kru bisa bergerak sekaligus dengan amat cepat. Taylor-Joy mengistilahkan prosesnya berayun dengan kamera.