Kelenturan Seni Trimatra
Dimensi trimatra yang terbentuk seolah bukan tujuan paling utama. Penyampaian gagasan menjadi tujuan yang lebih untuk dikejar. Bentuk tiga dimensi seperti kebetulan saja atau ekses dari pencapaian ekspresi estetikanya.
Karya seni trimatra secara konvensional tidak akan jauh beranjak dari rasa keindahan bentuk tiga dimensi. Akan tetapi, kelenturan seni trimatra sekarang kian terbangun. Ekspresi estetikanya makin tidak terduga dan bahkan terasa sebagai ekses dari sebuah gagasan yang panjang.
Dimensi trimatra yang terbentuk seolah bukan menjadi tujuan paling utama. Penyampaian gagasan menjadi tujuan yang lebih untuk dikejar. Bentuk tiga dimensi seperti kebetulan saja atau ekses dari pencapaian ekspresi estetikanya.
”Seni trimatra yang semula menawarkan karya rasa itu sekarang sudah makin berkembang menawarkan karya pikir. Batas-batas seni trimatra di dalam ranah seni rupa makin cair, bahkan mulai hilang,” ujar Asikin Hasan, kurator pameran Three for Plastic Hearts di gedung Komunitas Salihara, Jakarta, Kamis (4/11/2021).
Pameran itu berlangsung 29 Oktober hingga 30 November 2021 dengan menampilkan karya tiga perupa yang menang dalam Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019. Kompetisi tiga tahunan ini membatasi usia pesertanya 35 tahun. Ketiga pemenang kali ini dihadiahi program residensi atau menetap sementara di suatu negara selama tiga bulan untuk memperdalam pengetahuan dan berkarya.
Seni trimatra yang semula menawarkan karya rasa itu sekarang sudah makin berkembang menawarkan karya pikir. Batas-batas seni trimatra di dalam ranah seni rupa makin cair, bahkan mulai hilang. (Asikin Hasan)
Mereka meliputi Andrita Yuniza yang menempuh residensi di Korea, Argya Dhyaksa di Bangkok, Thailand, dan Wildan Indra Sugara di Berlin, Jerman. Periode residensi selama tiga bulan dari akhir tahun 2019 hingga awal 2020 kebetulan menjelang penetapan masa pandemi Covid 19 di Indonesia.
Pameran Three for Plastic Hearts menampilkan karya-karya terbaru para pemenang itu dalam rentang tiga tahun terakhir. Asikin menengarai adanya fenomena perubahan di dalam merespons seni trimatra. Dunia gagasan membuat ketiga perupa lincah memainkan ekspresi estetika bentuk seni tiga matra yang makin tidak terduga.
Aktivitas ketiga perupa itu seperti layaknya periset keilmuan tertentu. Dunia gagasan yang diselami meluas pada persoalan global, terutama menjurus pada tema lingkungan dengan beragam masalah pencemaran yang mengancam umat manusia.
Bioplastik
Andrita mengulik persoalan pencemaran air sungai dan kemungkinan-kemungkinan mengganti plastik berbahan minyak bumi menjadi bioplastik yang jauh lebih ramah lingkungan. Untuk pencemaran air sungai, Andrita menampilkan bentuk trimatra seperti bola-bola dari bahan pencemar yang dikumpulkan dari sungai.
Untuk tampilan karya bioplastik, di sinilah Andrita seperti menampilkan sosok dirinya sebagai periset. Ia mengumpulkan berbagai macam jenis limbah bahan pangan seperti cangkang udang, duri ikan, dan jagung. Limbah pangan itu dijadikan bahan pembuatan bioplastik.
Bahan-bahan itu ditampilkan dalam bentuk serbuk atau potongan kecil-kecil. Ini layaknya mikrokopis untuk diteliti. Ia menampilkan pula video dokumenter ”penelitiannya” di layar yang cukup besar.
Di bagian ruang pamer tertentu, Andrita memajang berjajar sedikitnya sembilan jenis limbah pangan. Di atasnya ditaruh bentuk bioplastik yang terbentuk dengan bahan itu.
Andrita begitu serius memaparkan gagasannya. Argya sebagai perupa keramik yang menempuh residensi di Bangkok memperlihatkan karya-karya yang sebaliknya. Ia mencoba lebih ringan.
Bahkan, seperti sebuah candaan, Argya membuat sebuah instalasi headphone terpasang di suatu dinding ruang pamer. Tidak ada sedikit suara pun bisa didengar dari headphone itu. Ia seperti ingin menjebak penikmat karyanya itu.
Bentuk-bentuk trimatra dari keramik yang dibuat Argya juga menawarkan sensasi dan keunikan narasi tersendiri. Seperti karya berbentuk keping mata uang dari keramik diberi goresan lingkaran atau segitiga. Kemudian di bawahnya diberi kutipan, ”Permainan Mengantar Nyawa”.
Begitu pula, bentuk-bentuk keramik unik lainnya diberi catatan yang mengundang pertanyaan. Argya mencantumkan beberapa tulisan ringan untuk karakter-karakter keramik yang dibuatnya seperti ”Millenium Puzzle—sebuah benda yang dapat mengubah kepribadian”.
Ada lagi bentuk keramik dengan keterangan, ”Boomerang—alat untuk mengulang-ulang gerakan”. Kemudian ada keramik berbentuk sepotong jari tangan. Argya pun menuliskan, ”Jari Siapa Ini?—potret jari seorang pengguna media sosial yang tidak dapat mengontrol jarinya”.
Argya bermain-main gagasan di dalam seni trimatra keramik. Baik narasi maupun bentuk itu sama-sama tidak pernah terduga-duga.
Seperti karya lainnya berupa batu tulis atau prasasti. Ia menuliskan fenomena sosial terkait masa pandemi Covid-19. Di antaranya tulisan satire menyinggung masalah penjualan masker yang terlampau mahal. Kemudian menyinggung persoalan dana gaib yang sebetulnya tidak pernah ada. Di bawah karya ini, Argya kembali bermain-main dengan memberikan kutipan, ”Belum ada deskripsi-nanti kalau sudah ada saya beri tahu lagi”.
Ada lagi karya berupa kotak akriliks yang transparan bertuliskan, ”Kritik & Saran”. Namun, Argya tampaknya belum berhenti bermain-main. Ia mengisi kotak kritik dan saran itu dengan beberapa lembar uang.
Tidak ketinggalan, Argya menampilkan karya patung keramik. Akan tetapi, bentuk patung-patungnya itu mungil dan diletakkan di dalam botol kaca yang kecil pula. Ia menata barisan botol kaca dengan isi patung-patung mungil itu sebanyak 56 buah dengan memberi judul karya instalasi ini sebagai ”Sacred Admirer”.
Tanggung jawab
Peserta pameran berikutnya, Wildan dengan tampilan karya trimatra yang sebagian besar terbentuk dari cor semen atau beton. Ia mengawali dengan bercerita tentang pengalaman residensi di Berlin.
”Di ruang publik seperti taman di Berlin, saya menemukan banyak teknologi dan peralatan rumah tangga yang sudah habis masa pakai atau memang sudah tidak diperlukan lagi, lalu dibuang di situ. Selama residensi, saya sering mengambil beberapa benda tersebut untuk membuat seni instalasi,” ujar Wildan.
Selepas masa residensi, ada beberapa benda yang dibawa pulang ke Tanah Air, seperti mesin cetak atau printer, juga potongan-potongan komponen elektronik lainnya. Benda-benda lainnya menjadi model cetakan karya trimatra yang dicor semen tadi.
Di dinding paling depan ruang pamer, seni trimatra karya Wildan dengan cor beton ditampilkan berupa tiga layar monitor tipis. Warnanya keabu-abuan seperti warna semen.
Di bagian bawah pada permukaan layar, ada beberapa tulisan seperti kutipan dialog. Menurut Wildan, kutipan kata itu diharapkan akan disimak para penikmat karyanya itu. ”Dengan demikian, para penikmat akan turut merasakan adanya bentuk teknologi layar monitor yang pada akhirnya menjadi limbah. Melalui karya-karya ini sebetulnya saya ingin melempar pertanyaan, tanggung jawab siapakah limbah-limbah teknologi ini?” kata Wildan.
Bentuk-bentuk seni trimatra karya Wildan lainnya mencoba sesuatu yang interaktif dengan para penikmatnya. Wildan menyediakan alat semprot berisi air dan meminta pengunjung untuk menyemprotkan air ke permukaan bidang trimatra.
Melalui karya-karya ini sebetulnya saya ingin melempar pertanyaan, tanggung jawab siapakah limbah-limbah teknologi ini? (Wildan Indra Sugara)
Setelah semprotan itu membasahi bidang cor semen tertentu, muncul beberapa kata di situ. Bagi Wildan, bukan persoalan kata yang diutamakan. Akan tetapi, dari interaksi itu setidaknya para penikmat bisa merasakan adanya hasil limbah dari setiap teknologi yang kita konsumsi. ”Sampai saat ini kita juga belum jelas, limbah-limbah teknologi menjadi tanggung jawab konsumen atau produsen,” kata Wildan.
Pameran seni trimatra Three for Plastic Hearts memang berhasil menampilkan karya-karya berbentuk tiga dimensi. Akan tetapi, dunia pemikiran atau gagasannya lebih terasa berkesan untuk dibawa pulang daripada kenikmatan rasa dari ekspresi estetika atau bentuk tiga dimensinya.