Peluk Hangat dari Nussa
Film ”Nussa” menyajikan kehangatan sebuah keluarga bagi para penontonnya. Tak hanya itu, karya itu menjadi tonggak kebangkitan film animasi Indonesia.
Konten ramah anak berkualitas produksi anak negeri kian bertaburan. Bahkan, layar lebar juga disasar untuk menghibur anak-anak sekaligus disisipi pembelajaran perilaku yang mudah diserap. Apabila umumnya berbentuk film cerita panjang, kini hadir film animasi besutan para animator Indonesia dengan tampilan berkelas untuk semua anak Indonesia.
Berawal dari web serial yang tayang di Youtube pada 2018, kisah tentang sosok anak laki-laki bernama Nussa berlanjut ke layar lebar. Film yang digelar di bioskop pada 14 Oktober 2021 ini tetap mengambil tajuk Nussa, sedikit berbeda dengan serialnya yang berjudul ”Nussa & Rarra”. Di bawah bendera rumah produksi Visinema dan The Little Giantz, cerita Nussa menitikberatkan pada relasi keluarga, teman, hingga isu inklusi sosial yang kental.
Kabar tentang film Nussa ini muncul pada Februari 2020 ketika trailernya berseliweran di media sosial. Pembuatannya sendiri telah bergulir sejak 2019 dengan melibatkan 130 animator dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.
Namun, sebulan setelahnya, pandemi mengubah berbagai rencana, termasuk film ini. Sekitar Mei 2020, serial Nussa & Rarra diberitakan berhenti tayang karena rumah produksinya, yaitu The Little Giantz, terpaksa memberhentikan 70 persen karyawannya yang berpengaruh pada proses produksi serial ini.
Pada saat yang bersamaan, isu politis dalam bingkai polarisasi diarahkan pada film Nussa juga muncul. Founder Visinema, Angga Sasongko, memberikan penjelasan yang komprehensif. Di sisi lain, para pengikut setia serial Nussa & Rarra juga menilai justru banyak hal positif yang ditawarkan dari serial ini sehingga kehadiran filmnya jelas dinanti.
Dalam perbincangan dengan Sutradara Bony Wirasmoro lewat Zoom di Jakarta, Kamis (21/10/2021), ia menjelaskan Nussa hadir sebagai konten edutainment bagi anak-anak Indonesia. Di sini disisipkan aneka informasi. Salah satunya tentang sains dengan penjelasan sederhana bagi anak. Kehadiran konten berbobot dan positif yang tersaring seperti Nussa penting di tengah banjir informasi sekarang ini.
Sesuai dengan latar waktu yang dihadirkan dalam film, yakni saat Ramadhan, rencana awal rilis hendak dilakukan pada masa libur Lebaran. Walakin, masih karena pandemi, rilis mundur menjadi Oktober. Hanya, saat itu banyak yang kecewa karena belum bisa menyaksikannya mengingat peraturan yang tak memperbolehkan anak di bawah 12 tahun untuk masuk bioskop.
Hingga pada pekan ketiga Oktober 2021, empat hari setelah penayangan perdananya, aturan resmi dari pemerintah keluar. Anak-anak dari segala usia boleh mencicipi pengalaman menonton layar lebar lagi. Film Nussa kebanjiran penonton. Belum sampai satu bulan, lebih dari 150.000 penonton diraupnya.
Meski tetap waspada dengan protokol kesehatan yang ketat, hangat melihat anak dan orangtua berbagi rasa saat menyaksikan Nussa di bioskop. Celotehan dan tawa anak kecil hingga uraian air mata mewarnai tiap scene adegan. ”Lho, kok rambut Abdulnya beda? Jadi keriting kecil-kecil,” celetuk salah seorang penonton kecil ketika melihat sosok Abdul, salah satu sahabat Nussa, muncul.
Bony menjelaskan penggunaan teknologi animasi yang berbeda dengan serialnya menjadi jawabannya. Visual dan teknologi sangat diperhatikan Bony dan timnya sepanjang mengerjakan Nussa. Salah satunya adalah teknologi hair-system yang membentuk rambut tiap karakternya dari helai ke helai. ”Untuk Abdul, dibutuhkan 200.000 helai rambut untuk dapat visual yang terbaik,” kata Bony.
Bony pun mengakui kualitas animasi garapannya ini merupakan terbaik yang pernah dikerjakannya. Tak muluk memang, banyak juga yang berkomentar tampilannya mirip dengan animasi milik rumah produksi Pixar. Kehadiran Nussa kali ini membangkitkan semangat film animasi dalam negeri untuk terus berkembang dan berbenah. Juga menjadi loncatan besar bagi industri perfilman secara keseluruhan. Pada ajang Festival Film Indonesia 2021, film Nussa pun masuk menjadi salah satu nomine untuk kategori animasi.
Kebersamaan
Cerita dalam film ini dibuka dengan Nussa (Muzakki Ramdhan) yang bermimpi tengah bertualang luar angkasa bersama adiknya Rarra (Ocean Fajar). Ketika terbangun, Nussa mencari roket bikinannya yang disusun dari berbagai barang bekas. Nussa digambarkan memiliki ketertarikan besar terhadap sains, bahkan rutin menjadi juara sains di sekolahnya dan berulang-ulang mewakili sekolah.
Bersama dua sahabatnya, Abdul (Malka Hayfa) dan Syifa (Widuri Puteri), Nussa mencoba menjajal inovasi baru untuk roketnya. Di saat yang bersamaan, ada anak baru di sekolahnya bernama Jonni (Ali Fikry) yang juga hebat dalam sains dan memiliki peralatan canggih. Nussa pun merasa tersaingi dan meminta kepada ayahnya (Alex Abbad) untuk segera kembali ke Tanah Air untuk membantunya dan menemaninya saat lomba nanti.
”Nussa enggak bosan jadi juara satu terus?” ujar Abba, ayah Nussa, saat melakukan panggilan video dengan Nussa. Pertanyaan yang singkat tapi yakin cukup menampar para orangtua yang mendampingi anak-anaknya di bangku penonton.
Kadang para orangtua terjebak untuk menuntaskan ambisi yang tidak kesampaian saat kecil sehingga mendorong anak selalu juara demi egonya dan justru membentuk pribadi anak yang enggan kalah. Padahal, kunci berkompetisi bukan mencari pemenang, melainkan kebersamaan dan mengasah empati.
Alarm lain bagi orangtua juga ketika Abba mengungkapkan tak bisa kembali ke Indonesia karena masih sibuk bekerja, padahal Nussa sudah memegang janji Abba akan pulang untuknya Ramadhan ini. Begitu pula dengan adegan Joni yang ingin memamerkan pialanya, tetapi papanya sibuk menghadap laptop untuk bekerja dan mamanya sibuk bertelepon dengan rekannya. Hanya Bibi Mur (Asri Welas) yang memperhatikannya. Padahal, Jonni hanya mengharapkan perhatian dari orangtuanya, bukan sekadar peralatan canggih dan mahal.
Joni pun merasa hangat saat bisa menjalin hubungan baik dengan Nussa, Abdul, dan Syifa. Bahkan, ketika menginap di rumah Nussa dan mendapat perhatian dari Umma (Fenita Arie), ibu Nussa. Di sisi lain, Nussa pun menjadi lebih berempati seusai mendengar curhat Jonni. Seketika Nussa merasa bersyukur dikelilingi Umma dan adiknya, bahkan Abba yang jauh tetapi tetap bisa diajak berbagi cerita.
Inklusi manusiawi
Bony mengungkapkan, dirinya memang ingin menonjolkan sisi manusiawi seorang anak lewat film ini. Kesan manusiawi itu terlihat saat Nussa berhadapan dengan masalah dan berinteraksi dengan karakter di sekitarnya, salah satunya Jonni. Ia bisa merasa senang, marah, kecewa, dan sedih.
Selain itu, karakter manusiawi itu dilengkapi dengan penggambaran Nussa sebagai bocah laki-laki penyandang difabilitas. Kaki kiri Nussa menggunakan kaki palsu karena sejak lahir Nussa diberkahi hanya dengan sebelah kaki. Ini menjadi representasi karakter anak yang lebih inklusif sekaligus tidak terjebak dalam pakem konvensional tentang suatu karakter utama yang ideal.
”Filosofinya adalah ketidaksempurnaan yang membuat Nussa sempurna. Salah satu alasannya kita ingin menjadikan Nussa sebagai role model buat yang tidak seberuntung anak lain dan anak-anak pada umumnya. Memberi mereka harapan kalau Nussa saja bisa kalian juga bisa,” kata Bony.
Bony menambahkan, melalui Nussa, penonton bisa belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam satu konflik yang muncul, misalnya, Nussa sempat melepaskan peci yang adalah bagian dari identitasnya sebagai anak lelaki Muslim yang saleh sebagai bentuk kekecewaan yang memuncak. Namun, Nussa berhasil melewati konflik itu dan kembali merangkul identitasnya.
”Tidak ada lagi alasan bagi orang bahwa belajar itu membosankan, orang bisa menikmati hiburan tanpa sadar mereka lagi belajar. Ada pembelajaran konstruktif,” ujar Bony.
Baca Juga: Shangchi, Asa Bagi Asia
Jika kebangkitan film Indonesia ditandai lewat film keluarga Petualangan Sherina (2000), kali ini kebangkitan film animasi Indonesia kembali ditandai dengan film keluarga, yakni Nussa. Keluarga sejatinya tempat berpulang.
Seperti Nussa yang tak pernah menyerah apa pun keadaannya, animasi Indonesia juga bisa. Mengutip sepenggal lirik Merakit dari Yura Yunita yang menjadi soundtrack, ”Melesatlah seperti peluru.”