Heri Dono akhirnya banyak berkelana ke beberapa negara untuk sebuah residensi atau menetap sementara untuk belajar dan berkarya. Jejak petualangannya membuahkan hasil. Dia banyak mengikuti pameran di sejumlah negara.
Oleh
Nawa Tunggal
·6 menit baca
Di bawah asuhan seorang ayah mantan anggota pasukan pengawal Presiden Soekarno, Tjakrabirawa, Heri Dono (61) tumbuh sebagai seniman penuh imajinasi serta perlawanan satire. Memasuki labirin kesenimanan, lelaki ini seperti memasuki dunia kartun. Sebelumnya, film-film kartun digandrunginya hingga ia memutuskan ingin menjadi seorang seniman.
Sore itu Heri Dono mengenakan kaus dengan cetakan poster seni pertunjukan Kuda Binal. Kuda Binal sebagai tema presentasi seni rupa perlawanan kritisnya terhadap perhelatan Jogja Biennale di tahun 1992. Ia melawan sebuah hegemoni yang kurang memberi ruang bagi daya kreatif anak muda.
Heri Dono kemudian mengawali cerita tentang ayahnya, Sahirman. Ayahnya meninggal pada 23 Desember 2004 sewaktu Heri berpameran di Esplanade, Singapura, dengan mengusung tema ”Angels Garden”. Salah satu adiknya memberi tahu lewat telepon tentang ayahnya yang mangkat. Heri bergegas pulang dan tiba di Jakarta sebelum jenazah ayahnya diberangkatkan ke peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
”Ayah saya seorang militer dengan pangkat terakhir letkol (letnan kolonel). Saat itu, banyak yang tidak mengenal nama ayah saya sehingga ucapan dukacita banyak yang keliru dituliskan atas meninggalnya saya, Heri Dono,” ujar Heri, yang duduk di sebelah Stephanus Eddy Prakoso, akrab disapa Oyik, pemilik dan pengelola Galeri Srisasanti di Yogyakarta, Kamis (21/10/2021).
Heri Dono dipilih Galeri Srisasanti untuk pameran tunggal karya dan arsip bertajuk ”Phantasmagoria of Science and Myth”, 15 Oktober 2021-16 Januari 2022. Sebuah buku berjudul Heri Dono-Phantasmagoria of Science and Myth diluncurkan dengan para penulis, meliputi Lisistrata Lusandiana, Mira Asriningtyas, dan Mitha Budhyarto.
Oyik menceritakan di pengantar buku itu tentang awal kerja sama Srisasanti dengan Heri Dono sejak mengikutsertakan Heri dalam The Asia Pacific Contemporary Art Fair di Shanghai, China, 2009. Kerja sama terus berlanjut sampai sekarang, hingga Agustus 2020 mereka sepakat untuk menggelar pameran ini.
Srisasanti menggandeng Studio Kalahan milik Heri Dono dan Mes 56 sebagai tim produksi film dokumenter. Sebagai konsultan pemilihan arsip ditunjuk Suwarno Wisetrotomo. Wimo Ambala Bayang dan Angki Purbandono menjadi konsultan artistik pameran.
Perjalanan panjang Heri Dono disajikan dalam sebuah Trajektori Arsip. Kemudian dilengkapi 13 film dokumenter. Pameran ini benar-benar menampilkan labirin kesenimanan Heri Dono.
Perlawanan
Kisah ayahnya menjadi pembuka percakapan, tetapi Heri Dono tidak menceritakan sejauh mana peran ayahnya mengajari dirinya untuk menjadi seorang seniman. Ayahnya juga tidak pernah mau bercerita tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang sempat dilaluinya, tetapi Heri mengingat cerita ayahnya yang membawakan mesin ketik bagi Soekarno untuk pembuatan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Heri Dono tenggelam dalam sebuah perlawanan sejarah yang terhubung dengan peristiwa 1965. Suatu ketika, Heri menggelar pameran tunggal di Museum of Modern Art (MoMA) Oxford, London, Inggris, 1996. Saat itu, Kedutaan Besar RI di London meminta pameran ditutup dan katalog pameran ditarik dari peredarannya.
Heri menunjukkan arsip katalog pameran yang ditarik dari peredarannya itu. Ia juga menunjukkan surat dari KBRI London kepada David Elliot (Museum of Modern Art Oxford) dan Gilane Tawadros (Institute of International Arts London). Begitu pula, balasan surat dari pihak museum dan penyelenggara pameran tersebut kepada pihak KBRI.
Heri Dono menunjukkan bagian kalimat di katalog dalam bahasa Inggris yang menyebutkan peralihan kekuasan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto sebagai hasil kudeta militer. Ia lalu menerima putusan untuk menarik peredaran katalog pamerannya itu, lantas pulang ke Tanah Air. Setiba di Jakarta, ia diinterogasi dan ditahan selama tiga hari oleh pihak keimigrasian.
Interogasi selama tiga hari itu tak pernah disampaikan Heri kepada keluarganya di Jakarta. Ia hanya menyebutkan, ada penundaan penerbangan dari Singapura ke Jakarta.
Ada gelora perlawanan Heri lainnya dari sebuah arsip puisi berjudul Hakku. Puisi ini dibuat pada Maret 1983 ketika Heri duduk di bangku kuliah semester enam. Ia mengawali puisi tersebut demikian. ”... penghianatan lembut, //penjajahan lembut, //adalah, // teori cinta damai...” Kemudian dilanjutkan, ”...cita-cita //dan idealismeku //telah terkubur //bersama cinta dan cerita...”
Melalui puisi itu, Heri Dono membuat perlawanan terhadap dosen yang dianggap membelenggu kebebasan cara mahasiswa dalam menemukan jati diri. Ia masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1980. Waktu itu namanya masih Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ”ASRI” Yogyakarta.
Pada 1987, Heri Dono meninggalkan bangku kuliahnya dan tak pernah menamatkan studinya. Sebelumnya, antara 1984-1985, ia sempat pulang ke Jakarta dan menjalani pendidikan bahasa Inggris di sebuah akademi.
Dari puisi Hakku, kisah asmaranya juga sedikit tersingkap. Heri menceritakan, waktu itu ia merasa kehilangan perempuan keturunan Pakistan yang menjadi pujaannya. Heri Dono akhirnya banyak berkelana ke beberapa negara untuk sebuah residensi atau menetap sementara untuk belajar dan berkarya. Jejak petualangannya membuahkan hasil. Dia banyak mengikuti pameran di sejumlah negara. Karya-karyanya juga banyak dikoleksi museum dan galeri ternama di dunia.
Karya Heri Dono, antara lain, dikoleksi Museum Guggenheim di Abu Dhabi, Museum Seni Fukuoka di Jepang, Museum der Kulturen di Basel, Swiss, Galeri Nasional Australia di Canberra, Museum Seni Singapura, dan Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda.
Oyik menuliskan, karya Heri Dono, antara lain, dikoleksi Museum Guggenheim di Abu Dhabi, Museum Seni Fukuoka di Jepang, Museum der Kulturen di Basel, Swiss, Galeri Nasional Australia di Canberra, Museum Seni Singapura, dan Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda.
”Heri Dono juga sebagai seniman yang pernah diundang dan mengikuti lebih dari 30 biennale atau triennale di beberapa negara,” ujar Oyik, seraya menyebutkan, di antaranya Heri Dono mengikuti dua kali Venice Biennale di Italia (2003 dan 2015) dan dua kali mengikuti Sao Paulo Biennale di Brasil (1996 dan 2004).
Karya terbaru
Sejumlah karya terbaru Heri Dono ditampilkan di Srisasanti. Di antaranya lukisan berjudul "The Trojan Komodo Met Glass Vehicles" (2021). Ada hal penting terungkap dari karya ini. Heri Dono mengatakan, strategi berkeseniannya seperti Kuda Troya dari kisah klasik Yunani itu.
”Supaya bisa masuk dan diterima komunitas di negara lain, saya menggunakan cara seperti Kuda Troya melalui berbagai residensi. Akhirnya ini memungkinkan karya saya diterima di beberapa negara,” ujar Heri Dono, yang pernah menghadirkan instalasi "Trojan Komodo (Trokomod)" untuk Venice Biennale pada 2015.
Saya berimajinasi, suatu ketika berpameran karya seni rupa bisa di antariksa. Siapa pun dari Bumi bisa pergi ke antariksa dan melihat pameran itu. -- Heri Dono
Menarik juga karya terbaru lain berupa seni instalasi yang diberi judul "Unidentified Unflying Objects (2021)". Di karya itu ada lima patung astronot bersayap kecil di pundaknya. Kelima patung di dalam baju astronot itu meliputi monyet, Marylin Monroe, Albert Einstein, Jenderal Sudirman, dan Semar.
”Karya ini terinspirasi para astronot yang mendarat di Bulan pada Juli 1969. Para astronot tidak terbang, tetapi diterbangkan Apollo 11, mesin buatan manusia,” ujar Heri Dono.
Imajinasi tinggi menggelayuti benak Heri Dono. ”Saya berimajinasi, suatu ketika berpameran karya seni rupa bisa di antariksa. Siapa pun dari Bumi bisa pergi ke antariksa dan melihat pameran itu,” ujar Heri Dono.