Faedah Nan Elok dari Industri Film
Terjemahan ”Vibrasi Positif dari Industri Film” ke dalam bahasa Minang, Sumatera Barat.

Film Seperti Dendam, Rindu Harus DIbayar Tuntas
Belum selesai tahun 2021, beberapa catatan manis ditorehkan sejumlah sineas Indonesia di ajang internasional. Pandemi Covid-19 rupanya tidak menyurutkan kreativitas para sineas untuk menemukan cara agar tetap bisa berkarya dan menyodorkan aneka wacana ke tengah publik, termasuk wacana tentang keberagaman.
Di tengah berbagai kabar buruk yang berseliweran selama pandemi Covid-19, setidaknya ada empat kabar baik yang dibawa oleh para sineas Tanah Air dalam waktu yang berdekatan. Pada 14 Agustus, film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Vengeance is Mine, All Others Pay Cash) karya Edwin berhasil merebut penghargaan tertinggi, Golden Leopard, di ajang Locarno Film Festival di Swiss.
Prestasi ini penting untuk dicatat karena baru pertama kali film Indonesia memenangi penghargaan tertinggi festival Locarno yang bersanding dengan festival film dunia lainnya, seperti Venice, Berlin, dan Sundance. Film besutan sutradara Edwin, yang diangkat dari novel karya Eka Kurniawan berjudul sama ini, mampu mengalahkan beberapa pesaing dari sejumlah negara. Salah satunya film garapan aktor Hollywood, Ethan Hawke, Zeros and Ones.
Dua minggu kemudian, giliran rumah produksi Watchdoc Documentary Maker memenangi penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Emergent Leadership. Sebuah penghargaan yang disebut-sebut sebagai Nobel versi Asia.

Edwin, sutradara film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dalam salah satu rangkaian acara Festival Film Locarno ke-74 di Locarno, Swiss, Minggu (8/8/2021). Film ini meraih penghargaan tertinggi Golden Leopard di festival film internasional tersebut.
Pada bulan yang sama, sutradara Kamila Andini meraih penghargaan Platform Prize di Toronto International Film Festival lewat Yuni. Selanjutnya, 15 Oktober, film pendek Laut Memanggilku garapan Tumpal Tampubolon mendapat Sonje Award di Busan International Film Festival 2021.
Keberhasilan film Indonesia memenangi penghargaan internasional dalam waktu berdekatan termasuk momentum langka yang membanggakan. Prestasi ini memberi getaran positif pada industri perfilman yang terdampak pandemi.
”Bagaimanapun kabar baik berupa aneka prestasi yang dicatat anak bangsa, termasuk anak muda, sangat penting saat ini di tengah begitu banyaknya kabar buruk yang berseliweran selama pandemi. Ini menunjukkan kita tidak kehilangan harapan,” ujar pengamat komunikasi politik dan media dari Universitas Multimedia Nusantara, AG Eka Wenats, Jumat (22/10/2021).
Wacana beragam
Selain memberikan kebanggaan lewat penghargaan internasional, film-film tersebut juga menyodorkan wacana penting untuk diskusi publik. Film Yuni, misalnya, menyodorkan gugatan terhadap ideologi patriarki yang masih menancap dalam kesadaran masyarakat Indonesia, baik lewat narasi maupun simbol-simbol.

Salah satu adegan dalam film Yuni arahan Sutradara Kamila Andini yang memenangi penghargaan Platform Prize di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021.
Yuni berkisah tentang perjalanan hidup seorang gadis pelajar yang cerdas, pemberani, dan mempunyai mimpi tinggi. Namun, ia harus menerima kenyataan bahwa masyarakat di sekitarnya masih menganggap peran perempuan hanya sebatas urusan ”dapur, sumur, dan kasur”. Perempuan dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena nantinya akan ”berakhir” sebagai ibu rumah tangga.
Kisah yang bisa dikatakan klasik ini berjalin dengan persoalan seksualitas dan minimnya pemahaman atas tubuh di kalangan perempuan sendiri. ”Sebagai perempuan, saya terus terang baru memahami jauh lebih banyak tentang tubuh saya setelah menikah. Bagi saya, itu sudah terlalu telat. Ketika bicara tentang KB pun, saya juga baru tahu setelah mempunyai anak dan hal itu juga membuat gugup,” ujar Kamila Andini, sutradara Yuni.
Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas juga berbicara soal rumitnya persoalan seksualitas manusia, dalam hal ini dihadapi oleh tokoh utama film bernama Ajo Kawir. Ia seorang laki-laki impoten yang berusaha menutupi keimpotenannya dengan citra kejantanan lewat tindakan kekerasan.
Edwin, sang sutradara, menggali lebih jauh mengapa kekerasan dianggap normal di mata masyarakat, bahkan hingga saat ini. ”Kita belum lepas dari budaya kekerasan, padahal sudah terekspos dengan berbagai macam hal. Masyarakat dan pemerintahan kita lebih demokratis dibandingkan dengan tahun 1980-an, tetapi, kok, masih sama saja? Kekerasan ini perlu ditelusuri terus karena kayaknya ada yang belum tuntas,” ujar Edwin (Kompas, 2/10/2021).

Sura (Muhammad Umar) tengah merenung dalam salah satu adegan film pendek Laut Memanggilku.
Film ini mengambil latar belakang era konsolidasi kekuasaan Orde Baru tahun 1980-an. Tokoh Ajo Kawir menjadi simbol maskulinitas kekuasaan yang dijabarkan dengan kekerasan untuk menutupi kelemahannya sendiri.
Film pendek Laut Memanggilku dalam batas-batas tertentu juga menyentuh soal rumitnya seksualitas yang berkelindan dengan persoalan pemenuhan kasih sayang dan hak dasar anak telantar serta kaum miskin, seperti pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan.
Sutradara Laut Memanggilku, Tumpal Tampubolon, mengemukakan, film ini ingin mengajak masyarakat kembali peduli pada kesenjangan sosial. Selama ini, ia melihat masyarakat seolah ”kebas” dengan berbagai kesenjangan di sekitarnya.
Sementara itu, film-film produksi Watchdoc Documentary Maker banyak mengulas soal problem lingkungan, sejarah, hukum, dan HAM yang berkelindan dengan politik kekuasaan di negeri ini. Film Sexy Killers (2019), misalnya, bicara tentang pertambangan batubara dan kaitannya dengan kekuasaan.
Beberapa tahun terakhir ini, isu-isu yang diangkat oleh para sineas Indonesia semakin beragam. Isu-isu yang dulu jarang diulas, seperti problem seksualitas, tragedi politik, terorisme, dan kesehatan mental, kini justru banyak diangkat sebagai tema film dengan perspektif yang cukup tajam.
Beberapa film yang cukup berhasil mengangkat isu-isu ini antara lain Dua Garis Biru (2019); Kucumbu Tubuh Indahmu (2018); Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017); Posesif (2017); Istirahatlah Kata-kata (2017); dan Bidáh Cinta (2017).

Adegan Film Dua Garis Biru
Tahun ini, ada film Aum! yang mengambil latar menjelang peristiwa Reformasi 1998. Film fiksi karya sutradara Bambang ”Ipoenk” KM ini bercerita tentang sekelompok pemuda aktivis yang sembunyi-sembunyi membuat film untuk mengkritik politik represi Orde Baru.
Film yang penggarapannya tergolong sederhana ini menyodorkan narasi yang berlapis-lapis, mulai dari pengekangan kebebasan untuk bersuara, mesin pembunuh kekuasaan, hingga pengkhianatan dalam gerakan mahasiswa. Semua itu terjadi atas sepengetahuan kuasa politik global yang disimbolkan lewat rekaman kamera pembuat film dokumen berkebangsaan Amerika Serikat.
Yang menarik, film ini melihat apa yang terjadi menjelang Reformasi tidak secara hitam putih. Film ini, misalnya, memperlihatkan adanya konflik di kalangan aktivis. Selain itu, film ini menampilkan setidaknya tiga sosok militer ketika itu, yakni yang menjadi alat kekuasaan, sutradara kekuasaan, dan yang berani melawan kekuasaan dengan mendukung mahasiswa. Gambaran itu ditampilkan baik secara verbal maupun simbolik.
Ipoenk mengatakan, Reformasi 1998 seharusnya mendekonstruksi sistem politik lama dan menghadirkan tatanan politik yang lebih ideal. Yang terjadi, setelah Reformasi, ternyata masih banyak pekerjaan rumah, baik secara hukum, politik, maupun ekonomi. ”Film ini menjadi sedikit pengingat bahwa cita-cita Reformasi belum tercapai 100 persen. Sebab, jika pintu kebebasan sudah dibuka dan tidak berbuat, itu sesuatu yang sia-sia,” kata Ipoenk.
Sebelum film Aum!, ada beberapa film yang terkait dengan tragedi politik menjelang peristiwa Reformasi, antara lain Laut Bercerita dan Istirahatlah Kata-kata. Keduanya berkisah soal tragedi politik dalam perspektif korban.
Semakin banyaknya sineas yang mengangkat isu-isu penting dengan perspektif yang beragam memberikan angin segar dan setumpuk harapan. Bagaimanapun, film, menurut AG Eka Wenats, menjadi medium audiovisual yang sangat kuat untuk menancapkan memori kolektif tentang apa yang telah, sedang, dan mungkin akan terjadi dalam perjalanan bangsa ini.
Karena itu, ia berharap ruang kreatif bagi para sineas untuk mengangkat aneka persoalan, termasuk persoalan masyarakat dan kebangsaan, terus diperluas. Dengan begitu, film tidak berhenti sekadar tontonan untuk mengisi waktu luang. (Budi Suwarna)