Meraup Esensi Garis
Karya ”drawing” memilih jalan yang hampir tidak berbatas. Garis tidak hanya membangun suatu bentuk. Akan tetapi, garis juga mampu menyusun aksara menjadi kata yang bisa dituangkan menajamkan makna karya.
Hasil karya seni rupa berbentuk gambar atau ”drawing” memiliki kekhasan tersendiri. Di situlah para perupa meraup esensi garis. Perjuangan terlihat ketika mereka menyematkan jiwa atau roh untuk setiap tarikan garis itu.
Sebanyak 10 perupa kembali menegaskan esensi perjuangan itu ke dalam sebuah pameran yang bertajuk Njlimet di Bentara Budaya Jakarta. Para penikmat dapat mengunjungi langsung atau secara virtual pameran ini yang berlangsung pada 21-27 Oktober 2021.
”Garis-garis memberi kesan njlimet dalam berbagai sisi penampilan visualnya,” ujar Rizal Misilu, Ketua Kembar Sepuluh, sebagai kolektif seni para perupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam pembukaan pameran ini di Bentara Budaya Jakarta.
Rizal sekaligus peserta pameran. Empat karya Rizal yang dipamerkan cukup mewakili makna njlimet lewat kerumitan garis. Rizal menggunakan pena tinta biru. Dari pena berujung lancip itu ia menghimpun tarikan-tarikan garis. Kumpulan tarikannya diatur kian kemari dan saling melintas, saling menumpuk, hingga membangun suatu bentuk maupun sekilas menjadi seperti abstrak tak berbentuk.
Rizal menciptakan beragam bentuk membiru. Di dalam seni lukis ada sedikit perbedaan. Di sana membebaskan warna demi warna. Bentuk tertentu mungkin saja terlampau mudah untuk diwujudkan dengan sapuan kuas dan cat. Akan tetapi, karya Rizal ini bukan lukisan.
Karya gambar atau drawing tidak menajamkan bentuk hasil sapuan cat dengan kuas. Karya gambar tidak membebaskan warna demi warna. Akan tetapi, tarikan demi tarikan garis hingga terbangun suatu bentuk.
Tarikan-tarikan garis yang berulang betul-betul dijaga. Tarikan garis tidak boleh melampaui batas tertentu. Tarikan garis harus berhenti pada titik tertentu. Tumpukan garis bisa saja seperti saling sengkarut tidak menentu. Akan tetapi, napasnya diatur. Tumpukan garis akhirnya menentukan gelap dan terangnya bentuk.
Di dalam drawing seperti karya Rizal itu ada kerumitan, tetapi ada keteraturan; ada katarsisme atau pembebasan menarik garis secara berulang. Akan tetapi, ada sebuah keberaturan.
Tumpukan garis bisa saja seperti saling sengkarut tidak menentu. Akan tetapi, napasnya diatur. Tumpukan garis akhirnya menentukan gelap dan terangnya bentuk.
Ini seperti lantunan harapan atau keinginan yang terus-menerus didaraskan. Di sinilah letak penting membentuk drawing yang berjiwa. Hingga akhirnya drawing akan memiliki roh. Drawing akan memiliki dan memberi daya yang hidup.
Kurator Bentara Budaya Jakarta, Frans Sartono, menuangkan rumusan menarik tentang kerumitan sebuah drawing yang sering menjadi kambing hitam. Kerumitan garis kerap dianggap identik dengan sesuatu yang ruwet sehingga tidak penting untuk dihayati dan dimengerti. ”Padahal, njlimet itu suatu usaha untuk memberi sesuatu sampai pada hal-hal yang kecil-kecil mengenai hal-hal yang sekecil-kecilnya,” ujarnya.
Ia mengambil contoh yang sepadan dari sebuah komposisi musik Simfoni No 3 karya Beethoven yang berjuluk ”Eroica”. Komposisi musik Beethoven ini termasuk karya njlimet. Di bagian ke-4 berdurasi cukup panjang, sekitar 12 menit. Akan tetapi, para penikmatnya kemudian menabalkan karya njlimet ini sebagai karya puncak Beethoven atau masterpiece.
Kerumitan lain sekarang hadir melalui deretan karya drawing. Para perupa yang hadir, selain Rizal Misilu, meliputi Noor Udin ”Ung”, Anton Rimanang, Rianto Karman, Isa Anshori, Radetyo ”Itok” Sindhu Utomo, Aznar Zacky, Arif ”Bachoxs” Wicaksono, Rony Sanjaya, dan Indiria Maharsi.
”Pameran ’Njlimet’ mengandung harapan agar pada masa mendatang, kerumitan situasi kehidupan ini dapat terurai satu demi satu,” kata Frans.
Kerumitan drawing sebagai sesuatu yang terukur, tersadari, dan terhayati. Ada garis-garis yang terkesan centang perenang, bersilangan, tetapi tersatukan menjadi sebuah karya utuh yang bermakna.
Pameran ’Njlimet’ mengandung harapan agar pada masa mendatang, kerumitan situasi kehidupan ini dapat terurai satu demi satu.
Aksara dalam karya
Karya drawing memilih jalan yang hampir tidak berbatas. Garis tidak hanya membangun suatu bentuk. Akan tetapi, garis juga mampu menyusun aksara menjadi kata yang bisa dituangkan menajamkan makna karya. Atau, mungkin saja aksara dalam kata itu sekadar estetika, isian keindahan di ruang-ruang yang kosong.
Peserta pameran Rianto Karman menampilkan itu. Dari karyanya yang berjudul ”Ada Idekah Buat Alam”, Rianto menyematkan kata-kata di atas bentuk tumbuhan yang meranggas atau hilang dedaunannya.
Rianto menggunakan medium bolpoin bertinta hitam. Bentuk utama seperti gumpalan batang pohon yang ditumbuhi ranting-ranting menjalar tanpa dedaunan. Ini sebuah metafora kerusakan lingkungan sekarang yang makin banyak diabaikan.
Rianto membangun deretan kata di bagian atas drawing itu. Komposisi kata mengikuti bentuk di luar sebuah batas lingkaran yang tidak tampak. Dari kejauhan gelombang tarikan garis yang membentuk kata itu tak terbaca maknanya. Ketika didekati, di situlah bersemayam kata-kata.
Peserta pameran berikutnya, Isa Anshori, cukup kaya memainkan tarikan garis dan titik. Isa membangun sebuah narasi dengan bentuk-bentuk yang cukup kompleks.
Dari karya yang diberi judul ”Satria Berkuda”, Isa seperti membentuk sketsa untuk lukisan yang realis atau naturalis. Di situ ada seorang bocah laki-laki mengenakan mainan kuda-kudaan dari batang pelepah daun pisang. Bocah itu mengayunkan pedang-pedangan yang terbuat dari janur atau daun kelapa. Di hadapannya berdiri tegak seekor belalang berukuran besar seperti monster.
Isa menggunakan medium tinta akrilik untuk karya ini. Di situ ada kerumitan sekaligus terasa disederhanakan dengan warna monokromatik yang hitam dan putih. Gugusan titik dan tarikan garis saling berkelindan sehingga kerumitan sepertinya tetap tak terelakkan.
Gambar atau drawing kadang tak ubahnya sebuah sketsa untuk sebuah lukisan. Di dalam lukisan, warna demi warna kemudian meningkahinya. Sketsa kadang kala menjadi suatu kebutuhan dasar untuk suatu bentuk yang diinginkan di dalam lukisan. Akan tetapi, sketsa bisa menjadi gambar atau drawing dan mandiri sebagai karya.
Bentuk yang dihadirkan drawing tidak melulu sebagai kerumitan sketsa, seperti untuk membuat lukisan yang realis atau naturalis. Perupa Radetyo ”Itok” Sindhu Utomo menampilkan karya-karya drawing yang cukup ilustratif dan dekoratif.
Monokromatik hitam dan putih justru menjadi poin penting untuk menegaskan sesuatu di dalam sebuah drawing. Karya-karya Itok menampilkan kata sebagai pesan yang dominan dan kentara. Pesan-pesan itu menjadi lugas dan tegas di antara garis yang menyusun bentuk lain di sekitarnya.
Di sisi lain, warna monokromatik hitam dan putih tidak selamanya menggelayuti karya-karya drawing. Para perupa lain di pameran ini berhasil menembus batas atau sekat itu.
Aznar Zacky membentuk kartun dengan beragam figur yang memiliki tarikan garis tegas dan tajam. Ada ruang kosong di antara tarikan garis yang membangun figur-figur tersebut. Di dalam kekosongan inilah Aznar mengisikan tinta warna. Sekilas tak ubahnya karya Aznar sebagai lukisan. Akan tetapi, tarikan garis yang tajam tetap menjadi ciri khas drawing yang masih dominan.
Arif ”Bachoxs” lebih berani lagi memainkan warna. Ruang kosong yang hadir di antara tarikan garis penyusun bentuk diisi dengan warna-warni lebih beragam. Akan tetapi, tetap saja tarikan garisnya masih dominan dalam menyusun bentuk.
Begitu pula perupa Rony Sanjaya, Indiria Maharsi, Anton Rimanang, dan Noor Udin ”Ung” memutuskan berani menyusupkan warna-warni ke ruang-ruang kosong di antara tarikan-tarikan garisnya. Di dalam pameran ”Njlimet”, para perupa berselancar mengarungi dunia seni drawing yang nyaris tidak berbatas.