Sihir Digital Mengubah Perilaku Seni
Biennale Jogja kali ini, selain sebagai reuni satu dekade, juga merepresentasikan perubahan perilaku menarik selama pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 itu musibah sekaligus berkah. Salah satu berkah itu di antaranya memacu diri mengeksplorasi gim, kode batang, atau kecerdasan buatan lainnya di dunia digital. Ketika bertemu dengan kekinian, dia menjadi ruang distribusi bagi segala sesuatu yang artistik dan berdimensi pengetahuan menarik.
”Kita mencebur ke Sungai Gangga, ya…,” ajak Riyan Kresnadi, yang dengan lincah memainkan tuas kontrol menggerakkan karakter gim Minecraft masuk ke dalam sungai, Rabu (13/10/2021), di Taman Budaya Yogyakarta.
Karakter di dalam gim itu lalu menuruni lantai beranak tangga dan mencebur ke pinggir sungai. Airnya terlihat bersih. Kaki tokoh virtual itu melangkah makin ke tengah sungai. Tubuh dengan piksel kotak-kotaknya makin tenggelam, bahkan akhirnya sepenuhnya tenggelam ke dasar sungai dan ternyata bisa juga berjalan-jalan di dalam air. Riyan segera mengentas karakter itu kembali ke darat.
”Saya belum terbiasa menggerakkannya dengan joystick (tuas kontrol),” ujar Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, yang berada di sebelah Riyan, salah satu perancang gim Minecraft menjadi Museum Khatulistiwa ”Game of Archive” atau Gim Arsip ini.
Mencebur ke dalam Sungai Gangga di India itu sekelumit adegan fiksi di dalam permainan dunia digital. Itu bagian dari permainan perjalanan mengunjungi Museum Khatulistiwa secara virtual berbasis aplikasi gim Minecraft.
Museum Khatulistiwa sebagai museum virtual sekaligus gim arsip perjalanan satu dekade atau lima kali penyelenggaraan Biennale Jogja (BJ) pada 2011–2019. Equator atau Khatulistiwa menjadi pilihan tema besar lima kali Biennale Jogja tersebut.
Museum Khatulistiwa menjadi cara unik menghidangkan arsip, yang dipresentasikan dalam Biennale Jogja XVI Equator #6 pada 6 Oktober hingga 14 November 2021.
Turunan tema tahun 2021 bertajuk ”Indonesia Bersama Oseania”. Sebelumnya, lima kali bienial atau perhelatan seni rupa dua tahunan ini mengulik India, kawasan Arab, Nigeria (Afrika), Brasil, dan Asia Tenggara.
”Pandemi selama hampir dua tahun mengubah layar komputer maupun gawai kita menjadi ruang distribusi pengetahuan. Ini terjadi hampir di semua lini masyarakat. Biennale Jogja kali ini, selain sebagai reuni satu dekade, juga merepresentasikan perubahan perilaku menarik selama pandemi Covid-19,” ujar Alia Swastika.
Museum Khatulistiwa yang berangkat dari pengembangan aplikasi gim Minecraft tak ubahnya permainan menambang informasi. Menurut Riyan, filosofi dasar menambang informasi ini sesuai dengan yang diinginkan penyelenggara Biennale Jogja sekarang.
”Ketika Museum Khatulistiwa diluncurkan selama tiga pekan ini mendapat sebanyak 64.000 pengunjung. Ini cukup banyak. Aplikasinya bisa diunduh dan dimainkan sampai 100 orang secara online (dalam jaringan),” ujar Riyan, yang mewakili seniman berkolaborasi ke dalam MIVUBI, tim kolaborasi khusus yang bergerak pada bidang pembuatan museum virtual berbasis gim Minecraft.
MIVUBI mencakup Mineversal, organisasi independen berbasis gim Minecraft di Indonesia. Kemudian juga Komunitas Unibuild, komunitas Minecraft yang berfokus menciptakan bangunan di Minecraft.
MIVUBI memiliki 34 orang pengembang gim Minecraft, ditambah Riyan Krisnandi dan beberapa orang dari tim artistik Komunitas Sakatoya. Isian arsipnya dari riset Karen Hardini dan Gladhys Elliona sebagai peneliti pameran arsip Biennale Jogja 2021.
Gim ini menggunakan aplikasi Java Edition 1.16.5. Selain bisa diunduh, penyelenggara menyediakan perangkat komputer di lokasi pameran. Pengunjung bisa saling berinteraksi di dalam permainan ini. Jumlah pengunjung yang bisa bermain bersama di aplikasi itu masih dibatasi masing-masing 50 pemain untuk dua server.
Menambang informasi menjadi kunci penyajian arsip secara tersembunyi dan menarik. Atas gagasan ini Alia Swastika juga menunjukkan puluhan, bahkan mungkin juga ratusan kode batang atau barcode ditempelkan di penjuru dinding Taman Budaya Yogyakarta.
Kini kode batang tak terelakkan untuk menyampaikan informasi dengan cepat dan mudah di berbagai bidang. Masyarakat mulai mengakrabi pengunduhan informasi melalui kode batang ini. Barcode-barcode seperti permainan tersembunyi. Di situ ada gudang informasi.
”Dari barcode-barcode di pilar-pilar dan dinding-dinding itu pengunjung bisa memetik bermacam-macam arsip di sepanjang Biennale Jogja bertema Equator sejak 2011,” ujar Alia, seraya menyebut satu hal penting lainnya, yaitu artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, sebagai bagian fenomena perubahan perilaku seni setelah memasuki pandemi Covid-19.
Kepribadian digital
Alia merujuk fenomena kecerdasan buatan dunia digital dari Xhabarabot karya Rully Shabara. Rully sendiri menyebut Xhabarabot sebagai kepribadian digital yang diciptakan untuk menyelidiki dan menjalankan misi khusus.
”Misinya untuk membayangkan bentuk habitat baru yang belakangan sepertinya makin berevolusi menjadi dimensi realitas baru bagi masa depan, yaitu dunia digital,” ujar Rully, yang kali ini mengambil materi pidato Presiden Soekarno untuk Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung untuk disampaikan ulang oleh mesin komputer.
”Xhabarabot bukan alter ego atau avatar anonim. Ia adalah kepribadian yang perlu diasuh, diajari, dipelajari, sehingga dapat tumbuh menjadi lebih baik,” kata Rully.
Rully menyebut, dari Xhabarabot ini arsip bukan sekadar data dan peristiwa dari masa lalu. Akan tetapi, arsip juga sebagai pesan dari masa depan.
Xhabarabot menyampaikan pidato Soekarno, tetapi menghilangkan asosiasi diri Soekarno. Mesin itu menyampaikan pesan dan kontekstualitasnya tersendiri. Menurut Rully, inilah pesan dari masa depan. Pesan dari kepribadian digital.
Biennale Jogja kali ini menunjukkan euforia pengunjung meski tetap ada pembatasan kapasitas pengunjung. Ini merupakan pameran besar pertama yang boleh dikunjungi setelah pengetatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejak 3 Juli 2021.
Alia menyebut, dalam sepekan, empat lokasi pameran Biennale Jogja 2021 dikunjungi 1.200 pendaftar sesuai kapasitas. Akan tetapi, pendaftar yang ingin berkunjung sebenarnya melampaui jumlah tersebut.
”Banyaknya pengunjung pameran secara fisik ini menunjukkan persoalan akses pameran yang tidak selamanya bisa disampaikan secara virtual. Sekarang terlihat euforia pengunjung ingin melihat pameran seni rupa secara fisik,” kata Alia.
Pameran fisik menunjukkan keberagaman materi yang hanya bisa dirasakan ketika hadir. Ini termasuk karya-karya seni digital. Meski dengan mudah bisa dihadirkan secara virtual, karya digital itu bagian dari keberagaman materi karya yang dipamerkan.
”Justru yang sangat strategis disampaikan secara virtual berupa agenda-agenda diskusi. Diskusi secara virtual jauh lebih menguntungkan karena hasil rekaman bisa disaksikan di waktu-waktu tertentu dan sebaran penikmatnya meluas secara global,” ujar Alia.