Meski bertajuk CODA (”Child of Deaf Adults”), film ini tak hanya mengumbar perjuangan tokoh utama yang hidup di tengah keluarga tunarungu.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
”World does not revolve around you.” Entah dari mana pepatah ini bermula, tetapi memang begitu adanya. Tiap manusia yang hidup di dunia diberkahi dengan beragam persoalan yang harus dihadapi. Jadilah pendengar yang baik, pesan yang selalu diulang untuk menekankan bentuk empati. Namun, sekali lagi, dunia ini bukan hanya berputar di sekitarmu. Tidak selalu tentangmu yang mampu mendengar.
Meski bertajuk CODA yang merupakan akronim dari Child of Deaf Adults, film yang tayang pada Agustus 2021 melalui saluran Apple TV ini tak hanya mengumbar perjuangan tokoh utama yang hidup di tengah keluarga tunarungu. Sutradara Sian Heder membongkar juga jatuh bangun orangtua tunarungu untuk membesarkan anaknya yang bisa mendengar.
Film yang mengukir sejarah di Sundance Film Festival 2021 dengan sapu bersih penghargaan di berbagai kategori ini merupakan remake dari film Prancis La Famille Bélier yang rilis pada 2014. Kondisi keluarga tunarungu dengan anak yang bisa mendengar memang bukan isu baru.
Secara global, terindikasi sekitar 90 persen pasangan tunarungu memiliki anak yang bisa mendengar. Hal ini muncul dalam riset berjudul Hearing Children of Deaf Parents milik Nomfundo F Moroe dan Victor de Andrade. Tantangan pun dihadapi anak dan orangtuanya. Dari pengasuhan, pola komunikasi, hingga problematika keseharian.
Berbagai panduan hingga komunitas sebenarnya telah tersebar saat ini. Hanya saja, tidak semua keluarga mampu mengakses atau menemukan informasi yang detil. Padahal, dengan pedoman atau bantuan komunitas, baik orangtua maupun anak dapat menemukan cara, bahkan solusi, untuk mengatasi hambatan yang mungkin timbul dalam keseharian.
Mengangkat kembali tema ini ke layar lebar membuka mata tentang makna kesetaraan juga terhadap khalayak. Kerap kali kesulitan yang dihadapi keluarga tuna rungu dan anaknya yang bisa mendengar adalah stigma dari masyarakat. Misalnya, dianggap tidak berdaya sehingga menjadi batu sandungan dalam mencari pekerjaan atau meraih banyak hal. Padahal, tidak demikian adanya.
Dari beragam film yang tayang dari puluhan tahun, sedikit yang benar menempatkan isu kesetaraan terhadap para penyandang difabel, termasuk tunarungu. Antara lain, Love is Never Silent (1985), Children of a Lesser God (1985), Dear Frankie (2004), A Silent Voice (2016), The Silent Child (2017), Sound of Metal (2019), hingga yang sedang dinantikan Eternals (2021) dengan pahlawan super yang kehilangan pendengarannya.
Dalam perbincangannya dengan BBC, Heder memang tidak mau sekadar terjebak dalam formula drama mendayu-dayu lalu berakhir bahagia. Sutradara dari film Mother (2005) dan Tallulah (2015) ini berupaya menggali lebih dalam dan berani mengambil sudut pandang yang berbeda. ”Cerita ini tidak melulu hanya tentang si anak yang bisa mendengar lalu sulit meraih impian karena harus menjadi andalan dari keluarganya yang tuna rungu, tetapi ada perjuangan tentang orangtua dan kakaknya yang juga berupaya setara,” tutur Heder.
Heder pun benar-benar mengajak para aktor dan aktris yang tunarungu untuk memerankan karakter keluarga si tokoh utama. Mereka adalah Troy Kotsur yang memerankan tokoh ayah. Marlee Matlin, peraih Academy Awards 1985 sebagai Best Actress, yang memerankan tokoh ibu. Kemudian, Daniel Durant yang memerankan tokoh kakak.
Untuk membangun keterikatan dengan para pemainnya, Heder juga belajar bahasa isyarat secara intensif. Begitu pula dengan Emilia Jones yang berperan sebagai Ruby, tokoh utama dalam film ini. Selama sembilan bulan, ia belajar bahasa isyarat dan tidak diperbolehkan didampingi penerjemah selama berada di lokasi shooting sehingga mengharuskannya berbahasa isyarat untuk berkomunikasi sehari-hari dengan pemeran ayah, ibu, dan kakaknya.
Tentang mimpi
Konflik dalam film ini dibangun dari mimpi Ruby yang ingin menempuh pendidikan musik di Berklee College of Music. Di sisi lain, keluarganya sedang terpuruk ekonominya dan berupaya bangkit dengan menjalankan bisnis pelelangan ikan. Namun, jelas tidak mudah, orang sulit percaya jika tunarungu mampu berdaya, Ayah dan kakaknya dicemooh.
Keberadaan Ruby untuk mendampingi orangtuanya menjalankan bisnis pun menjadi sangat vital. Sementara itu, Leo, sang kakak, merasa tidak dianggap. Sebagai anak tertua, ia ingin dirinya yang diandalkan. Leo pun berupaya agar mampu dipercaya menjalankan bisnis keluarga yang tengah dirintis.
Keputusan Ruby untuk sekolah musik juga sempat tidak disetujui ibunya. ”Kalau aku buta, kamu akan memilih jadi pelukis? Itu maumu?” ujar sang ibu dalam sebuah adegan. Kalimat yang singkat, tetapi memberikan gambaran orangtua yang sungguh ingin terlibat dalam upaya anaknya meraih cita-cita, tetapi merasa terkendala.
Ibunya juga khawatir anaknya dirundung mengingat pengalaman Ruby semasa kecil yang selalu mengalami perundungan karena dianggap aneh dalam berkomunikasi. Ya, anak yang tumbuh di tengah keluarga ini mampu berbahasa isyarat, tetapi terkadang ada yang mengalami keterlambatan bicara pada usia dini.
”Kau tahu dia mengalami banyak masalah di sekolah dengan teman-temannya. Kali ini, bagaimana kalau suaranya tidak merdu? Aku sama sekali belum pernah mendengar suaranya,” ujar sang ibu saat mencurahkan isi hati ke suaminya tentang keputusan Ruby.
Sudut pandang yang diambil Heder ini terasa segar. Biasanya film berbasis mimpi hanya sibuk dengan tokoh utama dan usahanya saja. Bahkan, rasanya seperti seluruh dunia memusuhi tokoh utama ketika mimpinya tak didukung. Di sini, Heder memberikan penjelasan milik tokoh lain dalam dialog singkat, tetapi mengena.
Bahkan, ketika Ruby bernyanyi di konser sekolahnya, Heder sengaja membuat adegan yang sama sekali tak bersuara ketika kamera menyorot ayah, ibu, dan kakaknya yang tengah menonton Ruby. Ketiga orang itu mencoba tersenyum dan bertepuk tangan sambil melihat gerak bibir Ruby yang menyanyi.
Mereka juga melihat sekeliling mengamati ekspresi tiap orang yang menonton konser. Kejadian itu justru membuat Ruby menyadari bahwa ini semua bukan hanya tentang dirinya dan mimpinya. Begitu pula tudingan kepada keluarganya yang dianggapnya hanya memanfaatkannya sebagai penerjemah gratisan.
Orangtuanya pun ingat anaknya memiliki mimpi yang butuh dukungan dari keluarga. Masing-masing memiliki gejolak batin yang sukar diungkapkan. Bukan karena tunarungu, melainkan lebih pada tiada waktu untuk mau mendengar dengan hati dan bersedia berempati di tengah dunia yang selalu riuh.
Mendengar pun nyatanya tak cukup hanya dengan telinga.