Shang-Chi, Asa bagi Asia
Sejak penayangan perdananya di layar lebar pada 3 September 2021, ”Shang-Chi and The Legend of The Ten Rings” belum tergoyahkan di peringkat pertama.
Kehadirannya kali ini melebihi sekadar bangkitnya para manusia super pascapertarungan dahsyat yang mengantar masuk ke Fase 4 dalam jagat sinematik Marvel. Dalam jagat nyata, kemunculannya seakan menjadi suar bagi simbol kesetaraan bagi keturunan Asia dan mengembalikan lagi gelora layar lebar setelah empat minggu memuncaki box office.
Sejak penayangan perdananya di layar lebar pada 3 September 2021, Shang-Chi and The Legend of The Ten Rings belum tergoyahkan di peringkat pertama dengan total pendapatan lebih dari 367 juta dolar AS dari seluruh dunia. Ini pendapatan tertinggi sepanjang bioskop buka pada 2021. Bahkan menjadi yang terlama menduduki puncak box office sepanjang pandemi ini.
Sejak diumumkan pada 2019 oleh produser Kevin Feige pada San Diego Comic-Con, publik penasaran dengan hasil akhir Shang-Chi yang dibintangi aktor Simu Liu yang semula lebih banyak berkiprah sebagai stuntman dalam berbagai film besutan Hollywood. Eksekusi Marvel terhadap seorang jagoan keturunan Asia dan elemen filmnyalah yang dinanti.
Tak muluk memang mengingat keberhasilan Marvel membesut Black Panther (2018) dalam mengusung spirit inklusif yang menampilkan tokoh utama pahlawan berkulit hitam berpadu kekuatan budaya. Shang-Chi pun diduga memiliki formula yang serupa karena dominasi pemerannya merupakan keturunan Asia.
Belakangan, gerakan antirasisme memang kian menguat. Bukan hanya Black Lives Matter, melainkan juga Asian Lives Matter. Meski untuk Shang-Chi, budaya Asia yang lekat digambarkan adalah budaya China. Hal yang jamak memang jika berbicara Asia di ranah global, maka titik beratnya pada budaya China.
Sukar disalahkan juga mengingat para perantau China ini telah berpindah keluar daratannya sejak 1800-an, termasuk ke Amerika Serikat. Karena itu, dunia Barat pun sudah lama akrab dengan budayanya. Tokoh Shang-Chi sendiri masuk sebagai bagian dari Marvel sejak 1973 lewat komik karya Steve Englehart. Di situ, Shang-Chi disebut sebagai Master of Kung-fu.
Kendati demikian, tindakan rasis masih saja terjadi hingga hari ini. Karena itu, kehadiran Shang-Chi pun bagai angin segar bahwa sosok dari Asia berhak menjadi jawara bahkan diprediksi kekuatannya melampaui yang lain. Apabila diamati lebih lanjut, Fase 4 Jagat Sinematik Marvel (MCU) yang semestinya dibuka oleh serial The Falcon and The Winter Soldier seolah memberi isyarat siapa pun berhak menjadi pahlawan. Bukan hanya mereka yang berkulit putih atau ras kaukasoid.
Serial yang muncul pada Maret 2021 ini memberi indikasi sosok Captain America yang baru adalah Samuel Wilson, yang berkulit hitam. Meski dalam komiknya, hal ini juga sudah dituliskan pada 2014. Shang-Chi, yang dalam komik merupakan anggota Avengers yang dipimpin Steve Rogers—Captain America sebelumnya—diceritakan sedikit berbeda di jagat sinematik kali ini.
Muncul spekulasi Shang-Chi akan bahu-membahu bersama Wilson, Bucky Barnes, Hulk, Captain Marvel, bahkan Spiderman untuk melawan musuh yang diduga lebih kuat dari Thanos. Perihal musuh, sedikit bocorannya bisa disimak pada serial Loki dan serial What If...? yang sudah tayang di Disney+.
Masa lalu
Seperti beberapa pahlawan super di Marvel, Shang-Chi memiliki masa lalu yang tak menyenangkan. Hal ini yang merangkai jalinan cerita. Diawali dengan adegan pembuka saat Jiang Li (Fala Chen) bercerita kepada Shang-Chi kecil tentang ayahnya, Wenwu (Tony Leung) yang kuat karena memiliki 10 cincin yang legendaris.
Belakangan Wenwu diketahui adalah The Mandarin yang asli. Tokoh Mandarin ini muncul pertama di Iron Man 3 (2013) lewat sosok Trevor Slattery yang akhirnya ditangkap oleh Wenwu dan disandera di rumahnya.
Selanjutnya, diketahui Jiang Li meninggal di hadapan Shangchi. Shang-Chi dan adiknya, Xu Xialing (Meng’er Zhang), pun diasuh ayahnya. Di sini ayahnya mengajarkan Shang-Chi bela diri untuk membalaskan dendam kepada pembunuh ibunya, sekaligus mempersiapkannya untuk menjadi pewaris 10 cincin. Namun Shang-Chi yang tidak sepaham dengan ayahnya memilih kabur ke Amerika hingga dewasa.
Hingga akhirnya, mereka dipertemukan kembali. Walakin, Shang-Chi dan Xialing merasa ada yang salah dengan ayahnya. Karena itu, keduanya bersama teman Shang-Chi, yaitu Katy (Awkwafina), pergi ke desa ibunya untuk menemukan kebenaran. Setelah bertemu dengan bibinya, Ying Nan (Michelle Yeoh), mereka sepakat untuk menghentikan Wenwu.
Pertarungan tak terelakkan. Bukan Marvel jika tidak menghadirkan pertempuran epik dengan penggarapan beranggaran tinggi. Namun sayangnya, upayanya tersebut tak berjalan mulus lewat efek CGI yang ditampilkan. Justru koreografi apik wushu yang muncul pada babak pembuka antara Jiang Li dan Wenwu, kemudian dihadirkan lagi oleh Ying Nan, lebih menarik.
Rasanya seperti menikmati film Asia pertama yang memperoleh piala Oscar 2001 yaitu Crouching Tiger, Hidden Dragon, terlepas keberadaan Yeoh yang juga bermain dalam film itu. Koreografi laga jalanan di beberapa adegan yang juga khas film China era Jackie Chan atau Jet Li juga lebih apik ketimbang laga penutupnya. Wajar saja, Brad Allan yang memang ikut menggarap koreografi laga bersama Jackie Chan turut terlibat di sini.
Namun upaya untuk menampilkan budaya Tiongkok dengan mengangkat naga yang merupakan A Great Protector ditambah dengan ragam dialog yang khas untuk para keturunan Tionghoa, juga tradisi Ceng-Beng patut diapresiasi. Pemilihan naga sebagai pelindung agung sekilas mengingatkan pada kartun Raya and The Last Dragon beberapa waktu lalu.
Naga dan budaya China memang lekat. Naga dianggap sebagai pelindung dan pembawa sumber kehidupan bagi masyarakat di sana. Kemudian nama Chi, dalam Shang-Chi, juga memiliki representasi keseimbangan energi positif dan negatif. Di komik, Shang-Chi mendalami ajaran Buddha untuk menyentuh Chi. Hal ini pula yang coba ditunjukkan di dalam film dengan mendorong energi positif Shang-Chi lewat energi negatif yang diperoleh dari kelamnya masa lalunya.
Perempuan
Budaya Timur yang juga disingkap di sini adalah kentalnya budaya patriarki. Diperlihatkan lewat tokoh Xialing yang diabaikan oleh ayahnya. Ketika Shang-Chi dilatih bela diri dengan keras, Xialing dipisahkan dan hanya berada di kamar. Kendati demikian, Xialing mencoba belajar secara otodidak dan berhasil.
Bahkan dalam percakapannya dengan Katy, Xialing menyampaikan caranya bertahan hidup dengan sang ayah adalah dengan menunduk dan tak berkata apa-apa. Sampai akhirnya, ia menemukan jalan untuk kabur dan mendirikan fight club di Makau. ”Kalau ayahku tak mau memercayakan dinastinya kepadaku, maka aku membuat kerajaanku sendiri,” ungkapnya.
Sosok Jiang Li dan Ying Nan juga digambarkan sebagai perempuan kuat di sini. Hanya saja, eksekusi Marvel untuk karakter perempuan ini selalu nanggung. Bahkan di Black Widow (2021) pun pesan tentang perempuan ini masih mengambang. Perspektif dari sudut pandang pria masih terlalu kuat membingkai pesan yang ingin disampaikan.
Namun bagi yang ingin berakhir pekan atau ingin masuk dalam teori konspirasi ala Marvel sebaiknya jangan lewatkan film naga terbang ala Shang-Chi.