Dicari: Penonton di Era Normal Baru
Tata cara yang diterapkan di Jazz Gunung Bromo bisa jadi contoh bagi masyarakat untuk menikmati musik secara langsung di masa pandemi. Tapi perlu dicatat, lokasi acaranya tergolong terisolasi. Inilah keistimewaannya.
Kesuksesan gelaran Jazz Gunung Bromo di Kabupaten Probolinggo, Jatim, pada Sabtu (25/9/2021) adalah pertanda baik bagi industri panggung berpenonton langsung. Promotor siap merancang acara dengan protokol kesehatan demi melindungi semua yang terlibat di dalamnya. Penikmat konser diajak menyongsong pertunjukan musik dalam naungan kenormalan baru.
Raut wajah Sigit Pramono, penggagas Jazz Gunung Bromo, berseri-seri pada Minggu (26/9/2021) malam, ketika sebagian besar panitia dan pengisi acara sudah meninggalkan Jiwa Jawa Resort, tempat Jazz Gunung Bromo berlangsung. Dia berbagi tawa dan canda kepada tamu yang masih tersisa. Dia senang, meski masih masa pandemi, acaranya terbilang berhasil menjunjung tinggi protokol kesehatan.
”Mungkin nanti kami bisa bikin konser rutin dengan penonton terbatas di sini. Orang (penonton) mau, kan, pergi ke konser dengan biaya cukup mahal, yang penting aman,” kata pemilik resort asri dengan 80 kamar itu. Begitulah kira-kira kenormalan baru menonton konser: biaya lebih mahal, tapi aman dari penyebaran virus.
Angan-angan Sigit punya dasar kuat. Publik mulai jengah dengan pertunjukan virtual. Musisi dan krunya perlu panggung. Pekerja resort perlu tamu. Warga sekitar—pemilik warung, penginapan, pengemudi jip wisata, dan pengojek kuda di Kawah Bromo—juga bakal ”kecipratan” rejeki dari perhelatan di resort milik Sigit.
Segala keuntungan itu, kata Sigit, bisa diraih dengan kecermatan penyelenggaraan acara. Tata cara menonton dirancang demikian kompleks—yang bagi sebagian orang mengurangi kenyamanan tetapi aman dari segi kesehatan. Apalagi, pembatasan jumlah penonton berpotensi bikin rugi secara finansial.
Meski merugi, bagi Sigit, perhelatan Jazz Gunung telah menjadi tradisi yang perlu dipertahankan. Penyelenggara jungkir balik meretas cara. Berbagai kerja sama dijalin. Acara itu masih disponsori BCA. Pengadaan tes swab antigen disediakan Laboratorium Prodia, sedangkan tes swab PCR oleh RSUD Dr Soetomo, Surabaya.
Urusan perizinan lebih rumit dan memakan energi. Bagas Indyatmono, Direktur Jazz Gunung Indonesia, menceritakan kerumitannya sambil sedikit-sedikit curhat. ”Kami mengurus izin dari tingkat provinsi, kabupaten, sampai lima desa sekitar,” kata Bagas, putra sulung Sigit. Izin acara masuk ke ponsel Bagas saat semua persiapan telah benar-benar matang.
Persiapan Jazz Gunung Bromo ke-13 itu dimulai sejak April, dengan harapan bisa terselenggara pada pertengahan tahun, seperti sebagaimana mestinya. Apa lacur, lonjakan kasus aktif Covid-19 menyurutkan upaya itu. Namun, Dewa Budjana dan Bintang Indrianto melanjutkan kerja sebagai kurator penampil. Begitu Kabupaten Probolinggo ditetapkan berada di level 2 PPKM, proses perizinan dikebut lagi. Itu dua pekan sebelum hari-H.
”Sebetulnya kawasan ini sudah tergolong zona hijau, 100 persen penduduk di tiga desa (Wonotoro, Ngadisari, dan Jetak) sudah mendapat vaksin. Tapi penetapan level PPKM, kan, per kabupaten, jadi masih dihitung ada di level 2,” kata Bagas.
Bagas berkali-kali menyebut peran besar (Pelaksana Harian) Sekretaris Daerah Provinsi Jatim Heru Tjahjono. Anggukan kepala Heru membuat penyelenggara bisa berhubungan langsung dengan instansi pemerintah. BPBD Jatim menerjunkan personel Satgas Covid-19 untuk memastikan penyelenggara dan pengunjung mematuhi protokol kesehatan. Dua ambulans pemerintah disiagakan di tempat.
Peranti kesehatan seperti perangkat pindai aplikasi Peduli Lindungi, tiga unit pengukur suhu, dan 15 unit penyanitasi tangan otomatis disewa dengan biaya Rp 20 juta.
Para pejabat daerah meninjau kelengkapan dan penerapan protokol kesehatannya. Heru Tjahjono mengikuti simulasi alur masuk dan keluar penonton. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jatim Sinarto, dan Ketua Pelaksana BPBD Jatim Budi Santosa hadir di antara penonton.
Menurut Sinarto, tata cara yang diterapkan di Jazz Gunung Bromo ini bisa jadi contoh bagi masyarakat untuk menikmati musik secara langsung di masa pandemi. Sigit Pramono mengamini itu. Namun, Sigit juga mengakui bahwa lokasi acaranya tergolong terisolasi, jauh dari keramaian dan kepadatan kota, serta di ruang terbuka. Inilah keistimewaan yang dimiliki seri Jazz Gunung.
”Jadi penontonnya berkomitmen datang dan menonton musik. Mereka bersedia dan rela membayar biaya lebih untuk itu. Mungkin memang penonton seperti inilah yang akan mendatangi konser di era normal baru ini,” kata Sigit, yang juga memprakarsai Jazz Gunung Ijen di Banyuwangi ini. Penonton Jazz Gunung tergolong berhasil mematuhi aturan ketat.
Dibatalkan
Di kota besar, seperti Jakarta, perilaku penonton yang terkontrol semacam ini masih disangsikan oleh Stage Management Coordinator Java Jazz Festival (JJF), Triana Wyarsih Leimena. Semula, festival jazz megah setahun sekali itu direncanakan berlangsung pada Juli 2021.
”Kami sudah memikirkan protokol yang detail untuk pekerja dan penonton, juga buat artis-artisnya. Tapi penonton ini yang rasanya masih sulit dijaga,” kata stage manager kawakan dengan nama panggilan Inet ini.
”Secara pribadi, di setiap event yang saya kerjakan, saya tidak ingin acara itu jadi kluster baru penyebaran Covid-19,” lanjut Inet. Pada April 2021, perhelatan JJF akhirnya diputuskan ditunda. Selain faktor pengaturan perilaku penonton, pembatasan kapasitas juga jadi pertimbangan.
Menurut Inet, penyelenggara telah menghitung kapasitas Jakarta International Expo, Kemayoran, arena langganan JJF. Ruang Hall D, salah satu aula terbesarnya, bisa menampung 2.000 orang, tapi hanya boleh diisi 500 orang karena aturan jaga jarak dengan skema duduk. Penyusutan jumlah pengunjung itu memengaruhi pendapatan dari tiket, yang nantinya berdampak pada kesediaan sponsor.
Seiring makin banyak masyarakat menerima vaksin, penyelenggara JJF telah ambil ancang-ancang menggelar perhelatan ini di tahun 2022 nanti. Sementara itu, Inet tengah disibukkan merancang acara penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2021, yang menurut rencana digelar pada 10 November mendatang. Inet menjabat sebagai ketua komite bidang acara.
Di malam bergengsi kancah perfilman itu, lagi-lagi, Inet tidak mau mengambil risiko terlalu jauh. Acaranya disiarkan secara langsung lewat kanal Youtube dari Assembly Hall Jakarta Convention Center, Senayan. Selain awak produksi, venue itu juga akan didatangi para nomine, pembaca nominasi, serta pemusik dan penyanyi. Protokol kesehatan menjadi patokan kerjanya.
Selain mensyaratkan penggunaan aplikasi Peduli Lindungi, Inet mewajibkan seluruh hadirin dan pekerja menjalani tes swab antigen di tempat, selambat-lambatnya H-1. Ruang penganugerahaan hanya akan diisi paling banyak 400 tetamu dari kapasitas 2.500 tempat duduk, sedangkan awak produksinya 150 orang.
Pola kerjanya dia atur sedemikian rupa agar tidak terjadi kerumunan. Proses loading perlengkapan yang biasanya cukup dua hari sebelum acara, ditambah jadi tiga hari. Baiknya, pihak gedung memberi diskon sewa satu hari.
”Awak produksi masuknya juga bergantian. Misal pekerja yang menyiapkan panggung langsung keluar arena setelah selesai, gantian dengan pekerja tata lampu, lalu sound. Mereka tidak bertahan di dalam gedung,” kata Inet. Durasi acara, yang berupaya mengukuhkan tokoh perfilman Usmar Ismail sebagai pahlawan nasional itu, juga singkat saja, yaitu 1 jam 45 menit.
”Sekarang sudah di era normal baru. Orang seharusnya makin terbiasa dengan protokol kesehatan. Dulu, gara-gara teror bom, orang diperiksa tasnya kalau mau masuk mal dan hotel. Sampai sekarang masih begitu, kan, sudah jadi normal saja,” ujarnya.
Geser lokasi
Perhelatan Prambanan Jazz Festival tahun ini, yang sudah dirancang tayang virtual sekalipun, juga harus tunduk pada aturan pembatasan kegiatan masyarakat. Semula, festival tahunan ini dicanangkan berlangsung pada 11-12 September. ”Tapi Satgas Covid-19 daerah tidak berkenan memberi rekomendasi penyelenggaraan. Waktu itu status PPKM di Kabupaten Klaten (Jateng) dan Sleman (DI Yogyakarta) masih level 4,” kata Anas Syahrul Alimi, CEO Prambanan Jazz Festival.
Pernyataan Anas itu menyiratkan bahwa wewenang pemerintah daerah, khususnya Satgas Covid-19 setempat, amat berpengaruh. Oleh karena itu, meski pemerintah pusat melempar sinyal izin penyelenggaraan konser berskala besar, Anas bersikukuh membuat konser virtual dahulu. Jadwal Prambanan Jazz Festival tahun ini dimundurkan jadi 24-25 Oktober.
Titik lokasi panggung masih di sekitar kompleks Candi Prambanan. Namun, kali ini Anas menggeser sedikit panggungnya sekitar 300 meter dari lokasi biasanya. Lokasi baru ini masuk di wilayah Kabupaten Sleman, sedangkan sebelumnya di Kabupaten Klaten.
”Itu pun formatnya tidak live streaming, tetapi taping (direkam sebelum disiarkan), untuk mengurangi kerumunan,” katanya. Artis yang belum dijadwalkan tampil diminta tidak datang ke lokasi pengambilan gambar. Selain itu, penyusunan peranti panggung dilakukan tujuh hari sebelum jadwal. Sebelum pandemi, pekerjaan itu bisa diselesaikan dalam waktu dua hari saja.
Persyaratan dua kali vaksinasi juga divalidasi lewat aplikasi Peduli Lindungi. Tes swab antigen juga wajib bagi semua yang masuk arena. Pengadaan tes ini dikerjasamakan dengan Jogjakarta International Hospital. Acara ini diproduksi bersama dengan pengelola lokasi, yaitu PT Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan, sehingga Anas tidak berstatus sebagai penyewa.
Hingga Sabtu (2/10/2021) sore, Kabupaten Sleman masih berada di level 3 PPKM, yang artinya masih tidak memungkinkan menggelar pertunjukan ditonton langsung. Seandainya nanti pada 24-25 Oktober sudah turun ke level 2, Anas membuka kemungkinan mendatangkan penonton.
”Tapi paling penontonnya 500 orang saja per hari, dengan kapasitas arena terbuka bisa menampung 10.000 orang. Saya rasa nggak terlalu sulitlah menjaring penonton segitu untuk Prambanan Jazz. Pembeli tiket untuk tahun 2020 saja masih ada 15.000 orang yang tidak mencairkan tiketnya. Mereka pasti semangat kalau sudah bisa nonton langsung,” kata Anas.