”Fast Break” Tanpa Strategi di Film ”Space Jam 2: A New Legacy”
Film ”Space Jam 2: A New Legacy” menjadi hiburan segar yang bisa ditonton anak-anak.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Dunia bergerak maju. Namun, tak ada salahnya bernostalgia, apalagi untuk segala kenangan baik meski tidak semua memori dapat diulang dengan formula serupa dan menuai keberhasilan yang sama. Karena ini perkara rasa, bukan sekadar mengumbar ingatan tanpa diolah menjadi cerita baru yang layak untuk disinggahi lagi.
Agaknya itu yang terlupa dari penggarapan film Space Jam 2: A New Legacy. Bersandar pada judul yang secara harfiah berarti warisan baru, penonton pasti menanti-nanti apa yang akan disuguhkan dalam tayangan berdurasi 1 jam 55 menit ini. Namun, film yang baru masuk ke Indonesia pada September ini, meski telah tayang di berbagai negara pada 14 Juli lalu, hanya menduplikasi alur lama.
Berbicara tentang Space Jam, bagi yang menghabiskan masa kecil di era 90-an, pasti langsung melekat sosok legendaris di dunia basket, Michael Jordan, yang masuk ke dunia kartun dan bermain basket bersama para karakter dari Looney Tunes.
Jordan diminta Bugs Bunny untuk membantunya memenangkan pertandingan basket melawan The Monstar yang dikomandoi alien jahat, Swackhammer. Apabila kalah, Bugs dan teman-teman yang disandera oleh suruhan Swackhammer tidak bisa kembali dunia mereka dan menjadi tontonan atraksi selamanya di taman bermain milik Swackhammer.
Film besutan sutradara Joe Pytka yang rilis pada 1996 ini merupakan salah satu film animasi yang berani menjajal teknologi digital dalam proses produksinya. Bahkan, menjadi yang pertama menggunakan studio virtual dengan peralatan kamera 360 derajat dengan green screen. Banyak kritik yang masuk terkait ide dan eksekusi, tapi keberanian melangkah ke babak baru dunia animasi cukup mendapat apresiasi.
Space Jam pun sukses memuncaki box office dan meraup keuntungan hingga 250 juta dollar AS. Tercatat sebagai 10 besar film yang mengangkat tema basket dengan penghasilan tertinggi pada 1996. Atas kesuksesan ini, Warner Bros dan Pytka langsung bergerak untuk membuat kelanjutannya. Sayangnya, Jordan menolak untuk bergabung sehingga rencana tersebut mentah.
Rupanya pada 2014, gagasan ini menggeliat. LeBron James, atlet basket profesional yang kini memperkuat LA Lakers, didapuk sebagai bintang utamanya. ”Ini mengingatkan pada usia 12 tahun menonton Jordan di Space Jam. Aku mengidolakan Jordan. Dia menginspirasiku bermain basket. Jadi, ini merupakan kesempatan besar bagiku,” ungkap James.
Meski James sudah sepakat, perjalanan penggarapan film ini menemui berbagai kendala. Semula, Justin Lin yang dikenal membangun semesta Fast & Furious setuju menjadi sutradaranya. Beberapa tahun berselang, Lin mengumumkan pengunduran dirinya dan digantikan oleh Terrence Nance. Pada 2019, Nance juga mundur digantikan oleh Malcolm D Lee hingga film tayang.
Mencoba aktual
Jika menyaksikan alur cerita yang ditawarkan, rasanya hanya sekadar mengganti Jordan dengan James. Tak ada yang baru. Masih pertandingan basket untuk menyelamatkan para Tune Squad dan kali ini juga untuk menyelamatkan keluarga James dan para pengikut media sosialnya yang ditarik masuk ke dunia maya oleh tokoh antagonis Al G Rhytm (Don Cheadle).
Resep asli Space Jam ini pun ditambah bumbu agar sesuai dengan era. Antara lain, masuk lewat pendekatan perkembangan teknologi digital yang akrab dengan algoritma sebagai dewa dari pergerakan dunia maya. Algoritma yang diplesetkan menjadi Al G Rhytm digambarkan sebagai antagonis yang ingin selalu diperhatikan.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), algoritma adalah prosedur sistematis untuk memecahkan masalah atau urutan logis pengambilan keputusan untuk pemecahan masalah. Dalam dunia digital, pengertiannya kurang lebih sama. Hanya kemudian, algoritma ini dijadikan panduan untuk mengarahkan seseorang untuk berstrategi agar dapat bertahan di dunia maya.
Belakangan, banyak orang hingga perusahaan yang memang menghamba pada algoritma ini. Sukar disalahkan juga mengingat pergerakan saat ini seakan disetir oleh kehidupan digital. Tak ayal, ada yang menganggap algoritma menjadi sesuatu yang berpotensi menjerumuskan.
Tak berhenti di situ, Space jam ingin juga memotret kecanduan anak-anak terhadap gim daring. Meski kecanduan gim ini, Dom (Cedric Joe) yang berperan sebagai anak James membuat gimnya sendiri. Gim ini berupa gim basket dengan aturan permainan yang dimodifikasi. Akibat gim ini, hubungan ayah-anak pun memburuk.
Persoalan yang jamak terjadi di masa kini. Orangtua dan anak memanas hubungannya karena aturan penggunaan gawai atau bermain gim. Di sini, James bahkan terlihat memaksakan ambisinya bermain basket terhadap sang anak. Kisah klasik anak dan orangtua masih berulang meski orangtua telah dibekali ilmu pengasuhan yang kini mudah didapat juga dari dunia maya. Jargon ”jadilah dirimu sendiri” pun sengaja digunakan untuk mengunci jalinan cerita.
Lewat ketiga poin besar tadi, Space Jam 2 berusaha aktual untuk merangkul audiens di masa kini. Akan tetapi, bayangan epic seorang Jordan meloncat tinggi seperti terbang dengan tangan yang tetiba bisa memanjang menjangkau ring diiiring sayup lagu ”I Believe I Can Fly” milik R Kelly tetap tak tergantikan.
Ditambah lagi, kemunculan banyak karakter milik Warner Bros, seperti Flinstones, Scooby Doo, Harry Potter, King Kong, anggota geng motor milik Mad Max: Fury Road, hingga Game of Thrones malah terasa mengganggu. Alih-alih ingin menyegarkan suasana, seperti yang dilakukan film animasi Wreck-it Ralph: Ralph Breaks The Internet, ini justru terasa sedang menonton semacam profil perusahan yang disisipkan dalam film.
Untuk anak
Akan tetapi, untuk anak-anak, film dengan tema basket dan kehadiran Looney Tunes yang menggemaskan jelas menghibur. Sekaligus bisa mengenalkan anak terhadap dunia basket. Siapa yang tidak tergelitik melihat aksi Tazmanian Devil atau tingkah Bugs Bunny? Siapa juga yang tidak jatuh cinta pada burung kecil Tweety? Siapa yang sanggup menahan tawa saat melihat adegan slapstick Road Runner dengan Wile E Coyote?
Penggabungan Looney Tunes versi 2D dengan perubahan animasi CGI juga akan menjadi pengalaman menakjubkan bagi anak-anak. Meski ada pesan terselip, para Looney Tunes ternyata lebih nyaman menjadi versi 2D dibandingkan edisi lebih canggihnya. Sama seperti kita, perkembangan teknologi digital yang serba cepat semestinya tidak lantas membuat kehilangan kenyamanan bukan?