Jazz Gunung Bromo kembali hadir dalam format pentas langsung di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai. Berbagai cara penerapan protokol kesehatan ketat diterapkan panitia untuk menjamin keselamatan semua pihak.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Sudah lebih dari satu setengah tahun wabah Covid-19 membungkam segala acara yang mengumpulkan orang banyak. Belakangan, kasus aktif cenderung melandai di berbagai tempat di Indonesia. Kawasan wisata Gunung Bromo, tepatnya di Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jatim, tergolong PPKM level 2. Kondisi ini memungkinkan perhelatan tahunan Jazz Gunung Bromo kembali berkumandang, tetapi dengan ”rumusan” tertentu.
Hawa dingin, suara-suara alam, juga kabut masih setia menemani pergelaran Jazz Gunung Bromo (JGB) di Jiwa Jawa Resort pada Sabtu (25/9/2021). ”Pengisi acara tetap” itu seperti riang menyambut kembalinya langgam jazz ke kawasan masyarakat Tengger ini. Tahun sebelumnya, acara ini dihelat dalam dua metode; pertunjukan langsung di kaki Gunung Ijen, Banyuwangi, dengan segelintir penonton, juga rekaman video yang ditayangkan di Youtube.
”Salut buat penyelenggara yang akhirnya berani menggelar pertunjukan tatap muka seperti ini dengan protokol kesehatan yang ketat,” kata biduan jazz kawakan Otty Jamalus yang tampil bersama keluarganya dalam grup bernama The Jam’s sebelum membawakan lagu pembuka ”Lucky to be Me”. Dua penampil sebelumnya adalah Surabaya Pahlawan Jazz dan Dua Empat.
Gerimis turun ketika Janapati (kolaborasi gitaris Dewa Budjana dan Tohpati) memainkan nomor ”Rainy Days”. Setelah Janapati, tampillah band ”tuan rumah” Jazz Gunung Bromo yaitu Ring of Fire Projects (RFP). Grup bernapas kolaborasi ini dimeriahkan Fariz RM. Dua nomor andalan Fariz, ”Barcelona” dan ”Sakura” jadi berbeda dengan versi aslinya. Padahal, mereka baru benar-benar berlatih pada gladi resik sehari sebelum pentas.
”Itu latihan pertama dan terakhir sebelum manggung,” kata Purwanto, pemain perkusi dan pentolan RFP. Dia mengaransemen ulang nomor ”Sakura” yang bernuansa salsa itu menjadi lebih rancak ala musik tradisi Papua. ”Dua-tiga tahun terakhir ini kami memang sedang mengeksplorasi musik-musik dari timur Indonesia,” lanjutnya.
Racikan ulang ”Sakura” dibuka dengan tiupan fu dari kerang, lalu bedug ditabuh ritmis berfrekuensi rendah, yang memberi nyawa bentuk baru ini. Fariz ditemani pesinden Silir Pujiwati yang juga memainkan krincing di tangannya. Purwanto dan beberapa anggota band bersahut-sahutan dalam bahasa Papua di beberapa bagian lagu.
Sementara nomor ”Barcelona” yang aslinya bernuansa latin digubah dalam warna musik Ponorogo. Ya, lagu yang punya petikan larik ”hasta la vista, Mi Amor” ini rasanya pantas mengiringi pergelaran reog. Kali ini, nyawanya ada di terompet reog yang dimainkan pemain cabutan Dani Dumbo, juga pada pukulan kendang.
Fariz tak menduga, lagu ”Barcelona” masih punya celah segar untuk diracik lagi. ”(Aransemen ulang) Barcelona jadi asyik banget, ada terompet silatnya. Aku terpesona banget,” ujar Fariz berseri-seri. ”Ini akan saya catat sebagai pengalaman hidup. Makanya, aku minta manajerku merekam video ini tanpa terputus,” ucap Fariz.
Kolaborasi seasyik itu rasanya muskil terjadi di luar pertunjukan langsung. Para personel RFP cuma tertawa-tawa saja ketika ada yang salah main. Perkawinan musik Barat ala Fariz dan musik langgam tradisi Indonesia berjalan mesra dan akrab.
Ini akan saya catat sebagai pengalaman hidup. Makanya, aku minta manajerku merekam video ini tanpa terputus.
Pentas pertama
Perhelatan Jazz Gunung Bromo ke-13 ini pantas dirayakan. ”Kodrat” Jazz Gunung Bromo gagasan Sigit Pramono, Butet Kertaradjasa, dan Djaduk Ferianto belasan tahun lalu kembali ke tanah kelahirannya, yaitu di kawasan Gunung Bromo, Jatim. Ini adalah pentas musik pertama yang bisa ditonton langsung di arena selama pandemi.
Setelah lebih dari 1,5 tahun hanya bisa menyimak konser lewat layar gawai, sapuan lampu dan gelegar tata audio di pentas nyata terasa menggetarkan jiwa dan menghangatkan mata.
Dampak pandemi Covid-19 membuat perhelatan tahun ini memiliki ciri dan caranya sendiri. Jika di tahun-tahun sebelumnya, acara digelar dua hingga tiga hari, kali ini hanya sehari saja—lebih tepatnya hanya sekitar 6 jam. Acara dimulai pukul 14.00 dan pungkas pukul 20.25 WIB.
Arena amfiteater terbuka itu tak sepadat tahun-tahun sebelumnya. Kursi-kursi kayu panjang ditata setengah melingkar dengan jarak sekitar 3 meter dari tepi ”panggung”. Biasanya, area ini adalah area lesehan, atau berubah jadi lantai dansa ketika suasana makin gayeng.
Setiap kursi kayu sepanjang sekitar 1,5 meter itu hanya diduduki oleh dua penonton, biasanya tiga penonton. Bantal duduk aneka warna dipasang di undakan dengan jarak 1 meter. Kerenggangan terlihat nyata, sehingga hawa dingin, tercatat 16 derajat celsius, makin leluasa menyusup.
Penyelenggara mengklaim hanya menjual sekitar 300 tiket, ditambah 200 tamu undangan. Jumlah itu berselisih jauh dari kapasitas arena yang disebut mencapai 2.000 orang. Artinya, jumlah penonton Jazz Gunung Bromo kali ini hanya 25 persen dari kapasitas arena. Ini menyesuaikan ketentuan pemerintah mengenai penyelenggaraan acara seni dan budaya di masa PPKM level 2—tingkatan yang dicapai Kabupaten Probolinggo di sekitar hari perhelatan.
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Jatim Budi Santosa mewanti-wanti penyelenggara agar memastikan menerapkan protokol kesehatan. Instansi ini juga menurunkan sejumlah petugasnya mengawasi arena, termasuk area sekitarnya dalam radius 200 meter. Mereka menyiapkan masker untuk dibagikan. ”Alur kedatangan dan kepulangan tamu jangan sampai menciptakan kerumunan. Petugas harus bisa mengurai jika terjadi kerumunan,” kata Budi.
Lapis kedua adalah tes usap antigen di tempat. Yang terindikasi positif langsung ditangani lebih lanjut. Lapis ketiga adalah prajurit masngawi.
Prasyarat itu dilaksanakan Sigit Pramono, penggagas acara. Timnya menyiapkan pemindai aplikasi Peduli Lindungi di akses masuk dan keluar untuk memastikan setiap orang—pejabat, tamu penting, awak media, awak produksi panggung, pembeli tiket, hingga penampil—telah menerima dua dosis vaksin.
”Lapis kedua adalah tes usap antigen di tempat. Yang terindikasi positif langsung ditangani lebih lanjut. Lapis ketiga adalah prajurit masngawi,” kata Sigit yang juga Ketua Gerakan Pakai Masker (GPM) ini. Istilah ”prajurit masngawi” merujuk pada petugas yang mengawasi orang untuk maskeran, ngadoh (berjauhan), dan wijik (cuci tangan). Satu ”prajurit” mengawasi 20 orang.
Hingga malam sebelum acara berlangsung, sejumlah panitia masih terus menerima pembaruan tata cara. Pada Jumat sekitar pukul 22.00, mereka mempraktikan alur yang berlapis-lapis itu. Repot, memang. Biayanya pun tak murah.
Karcis masuk acara ini dijual dengan rentang harga Rp 750.000 hingga Rp 1,25 juta per orang dan ludes terjual tiga hari menjelang acara. Angka ini di luar biaya transportasi dan penginapan pengunjung yang umumnya datang dari luar Probolinggo. Menurut Sigit, biaya yang relatif tinggi ini adalah cara penyaringan lain.
Penerapan protokol kesehatan secara ketat, walau merepotkan dan makan biaya, adalah keniscayaan untuk hidup berdampingan dengan Covid-19. Inilah upaya paling maksimal untuk mengembalikan kenikmatan menonton musik secara langsung, tanpa dibatasi ukuran layar gawai.
Apakah setelah perhelatan ini panggung konser bisa berdentum lagi? Jawabannya seolah disamarkan kabut yang makin pekat ketika grup Ring of Fire Project bersama Fariz RM memungkasi acara itu dengan tembang ”Festival”. Dengan sukses JGB 2021 ini, ucapan ”sampai jumpa tahun depan” rasanya tak terlalu berlebihan.