Layar yang Tetap Berkibar
Seiring jumlah kasus Covid-19 yang menurun, sutradara-sutradara kembali bekerja. Bioskop pun mulai dibuka.
Beralihnya tren menonton di layar gawai atau layanan film daring berbayar sesungguhnya tak serta-merta menggantikan bioskop. Bagi dunia perfilman yang terus mencoba bangkit kembali, mereka yakin tidak akan mati hanya karena pandemi.
Dampak pandemi masih terasa, terutama di dunia perfilman. Saat ini kegiatan produksi film kembali berjalan dengan penerapan aturan protokol kesehatan ketat setelah terhenti sama sekali di awal pandemi. Namun, itu belum mampu mengerek penghasilan. Apalagi pemerintah belum secara penuh membuka kembali bioskop-bioskop yang ada.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir, Kamis (16/9/2021), sebelum pandemi perfilman Tanah Air tengah merangkak naik. Indikasinya, jumlah penonton mencapai 50 jutaan orang meski total layar bioskop masih jauh dari angka ideal.
Idealnya, menurut UNESCO, di setiap negara satu bioskop untuk 25.000 orang penduduk. Indonesia butuh setidaknya 100.000 bioskop. Sekarang baru 2.000-an bioskop. ”Artinya, potensi untuk terus berkembang masih ada. Namun, untuk bisa kembali lagi seperti sebelum masa pandemi sepertinya masih akan butuh waktu jauh lebih lama,” ujar Edwin.
Kemungkinan besar, kalaupun beroperasi kembali, bioskop tidak akan mampu menjual tiket sebanyak biasanya karena saat ini saja kapasitas maksimal tak lebih dari 50 persen.
Dampak ke produser
Seperti juga para kru, sutradara, artis, dan pengelola bioskop, kalangan produser juga merasakan dampak pandemi. Edwin menyebut ada salah seorang kenalan produsernya yang bahkan sampai beralih profesi sementara waktu berjualan makanan.
Begitu pula yang terjadi di kalangan rumah produksi, baik besar maupun kelas butik. Beberapa film rumah produksi besar, yang telah jadi, tertahan lantaran belum ada bioskop buka dan menerima penonton. Adapun rumah produksi kelas butik, yang per tahun biasa membuat satu hingga dua film, mereka umumnya tidak beroperasi untuk sementara menunggu keadaan membaik.
Sutradara sekaligus pendiri Visinema, Angga Sasongko, menyampaikan hal serupa. Kebijakan yang ada di tengah pandemi sebaiknya tidak cherry picking. Saat restoran dan pusat perbelanjaan buka, bioskop tetap dipaksa tutup. Padahal, ribuan orang dari pekerja di bioskop hingga pelaku film hidup dari keberlangsungan ekosistem film ini.
”Ini perlu adil, ya. Untuk karya, kualitas karya dari teman-teman ini tidak menurun. Tapi, distribusinya terkendala. Bioskop masih jadi pilihan utama untuk memasarkannya. Produktivitasnya tidak seimbang dengan media distribusinya,” ungkap Angga.
Terlebih jika bicara mutu, peningkatan kualitas film Indonesia ini sudah terjadi sebelum pandemi. Beda jika melihat film Indonesia 5-10 tahun ke belakang. Untuk itu, kontinuitasnya terjaga meski terjadi pandemi.
Visinema bahkan sudah mengantongi beberapa judul untuk tayang di layar lebar. Dari Nussa, Ben & Jody, hingga Mencuri Raden Saleh. Meski Angga telah membesut layanan bioskoponline.com, tak semua film dapat dialihkan begitu saja untuk layanan tersebut.
Berbagai layanan lain yang menjamur juga dinilai belum bisa terlalu diandalkan mampu menyubstitusi pemasaran film melalui layar bioskop. Hal itu lantaran jumlah pertumbuhan penonton dan pelanggan layanan over the top (OTT) masih jauh jika dibandingkan dengan total penonton bioskop.
Mengutip data lembaga riset Frontier Economics, Edwin menyebut tahun 2020 saja ada 8 juta pelanggan perusahaan jasa konten terkurasi daring (OCC) macam HBO Go, Disney+, Apple TV +, Netflix, dan Viu.
Angka itu memang diprediksi akan terus naik secara signifikan hingga diperkirakan mendekati 14 juta orang pada 2025. Sayangnya, perusahaan jasa konten tontonan film daring berbayar yang ada tadi (OTT atau OCC), semuanya dinilai Edwin belum tentu mampu menyerap produksi film yang dihasilkan.
Edwin menyebut, tahun 2018-2019 saja terdapat 110-120 judul film diproduksi. Akan tetapi, baru beberapa saja yang terserap OTT, selain yang juga sudah tayang di bioskop.
Hanya produsen besar
Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) Firman Bintang berpendapat, hanya produsen besar saja yang bisa menyalurkan produksinya ke OTT. Sementara produser film kecil, tambah Firman, belum tentu harga yang ditawarkan pihak OTT bisa menutupi total biaya produksi film yang telah dikeluarkan.
Belum lagi pihak OTT pastinya juga akan melakukan seleksi film-film yang akan mereka tayangkan di platform digital berbayar mereka. Kondisi seperti itu berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, terutama di awal masa pandemi. Saat awal-awal pihak OTT masih berani membeli film lokal dengan harga lumayan dan langsung dibayar.
Hal itu lantaran film-film tersebut sudah dipastikan bakal menyedot lebih banyak penonton. Tentu saja hal itu sangat dibutuhkan dan dianggap menjadi peluang besar bagi pihak bioskop untuk kembali meraup keuntungan.
”Ketika berhadapan dengan film-film besar (luar negeri) macam James Bond biasanya film Indonesia kalah. Jadi, kalau nanti bioskop dibuka, kita masih perlu perjuangan dari teman-teman ini untuk perlahan-lahan mengembalikan penontonnya,” ujar Firman.
Untuk media distribusi, Watchdoc mengandalkan Youtube dan juga nonton bareng layar tancap terbatas di daerah-daerah. ”Nobar ini sebenarnya sudah jadi kebiasaan sebelum pandemi. Sekarang digelar secara terbatas karena film kami ini film bersama dan orang yang merasa terlibat atau mengalaminya di daerah tertarik untuk nonton, sedangkan ada keterbatasan sinyal,” ungkap produser Marcellinus Indra.
Sarana Youtube ini juga dirasanya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Film bergenre dokumenter dengan tema advokasi isu sosial politik dan ditujukan untuk menyasar anak muda agar melek, perangkat Youtube menjadi efektif.
Tetap produktif
Sementara bagi sineas, produksi film terus bergulir, seperti yang diungkap Angga. Ketua Indonesian Film Directors Club (IFDC) atau Asosiasi Sutradara Film Layar Lebar Ifa Isfansyah menyampaikan, produksi sempat mandek di awal penyebaran Covid-19 pada 2020. Setelah munculnya kesadaran untuk mengupayakan perekonomian tetap bergerak ditambah penerapan protokol kesehatan yang ketat, perfilman nasional berangsur-angsur bangkit.
Sejumlah insan film sempat menyelenggarakan program menyaksikan cuplikan-cuplikan karya mereka dengan penayangan yang tertunda, bertajuk Panjang X Lebar di Jakarta pada Maret 2021. ”Waktu itu, bioskop sudah buka. Malah, kami bisa mengadakan acara di bioskop. Teman-teman sudah berencana shooting. Lagi semangat-semangatnya,” katanya.
Namun, kondisi pandemi yang naik turun berimbas lagi. Produksi meredup lagi. Anggota IDC sebanyak 76 orang mulai beralih menulis, mengajar secara daring, atau mengadakan lokakarya. ”Pada dasarnya, sutradara bisa dibilang bukan pekerja harian. Jadi, kami masih bisa mengembangkan diri,” ucapnya.
Sepengetahuan Ifa, tidak ada koleganya yang meninggalkan dunia sinema meski ia mengkhawatirkan nasib pekerja-pekerja harian. Seiring jumlah kasus Covid-19 yang menurun, sutradara-sutradara kembali bekerja. Bioskop pun mulai dibuka. Tak ada alasan untuk tak produktif. Rentang waktu setelah pandemi melanda sekitar 1,5 tahun sepatutnya mereka isi dengan adaptasi.
Sineas-sineas telah memendam energi begitu besar selama ini, tetapi Ifa meyakini, daya tersebut bakal meletup untuk mewujud karya yang luar biasa. ”Sineas punya kans bertahan. Pandemi malah bikin kita tertantang. Kita mau menciptakan apa?” katanya.
Lazimnya seniman, semakin ditekan, sineas justru kian keras mencari jalan keluar. Seiring meredanya Covid-19, film-film yang diikutsertakan dalam festival-festival dunia, seperti Toronto di Kanada dan Busan di Korea Selatan, turut menyalakan semangat. ”Di rumah, teman-teman beberapa bulan mikir yang tidak biasa. Saya percaya, dalam waktu dekat, pasti muncul masterpiece (adikarya),” ujar Ifa.