Dunia perfilman Tanah Air terenyak saat ”Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” dinyatakan sebagai film terbaik Locarno Film Festival. Tak kalah mengejutkan, rumah produksi Watchdoc menyabet Ramon Magsaysay Award.
Oleh
DWI BAYU RADIUS/WISNU DEWABRATA/RIANA A IBRAHIM
·6 menit baca
ARSIP PALARI FILMS
salah satu adegan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Di tengah impitan pandemi, diam-diam kabar gembira menyelinap dari dunia perfilman. Sineas-sineas Tanah Air berhasil menggondol beberapa penghargaan internasional. Kesuksesan mereka memantik harapan untuk mengulang prestasi dalam ajang-ajang bergengsi lainnya.
Seluruh undangan hening saat Eliza Hittman naik ke podium untuk mengumumkan pemenang Golden Leopard. Sutradara asal Amerika Serikat itu sekaligus mengungkapkan kekagumannya pada malam puncak Locarno Film Festival di Swiss, Sabtu (14/8/2021).
Ia begitu tersentuh dengan film kampiun kali ini yang digarap dengan kepekaan, berikut eksplorasinya soal feminitas dan maskulinitas dalam dunia kekerasan. ”Juaranya, Vengeance is Mine, All Others Pay Cash,” ucap ketua dewan juri Locarno Film Festival itu.
Gemuruh tepuk tangan hadirin seketika membahana. Film berjudul asli Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas itu karya sineas Indonesia. Sang produser, Muhammad Zaidy, menerima piala prestisius tersebut. Sontak, kebanggaan berpadu optimisme meruyak di kalangan penggiat film Nusantara.
Betapa tidak, Locarno yang bersanding dengan festival dunia lain macam Venice, Berlin, dan Sundance, sudah digelar ke-74 kali, tetapi baru kali ini karya anak bangsa mampu menyabet penghargaan tertinggi. ”Padahal, produksi sempat terkendala pandemi,” ujar sutradara Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Edwin.
LOCARNO FILM FESTIVAL / TI-PRESS / MASSIMO PEDRAZZINI
Produser film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Muhammad Zaidy Amiruddin, menerima penghargaan Golden Leopard (Pardo d\'Oro) dalam Festival Film Locarno ke-74 di Locarno, Swiss, Sabtu (14/8/2021).
Sejak dibahas pada 2016, produksi akhirnya dimulai pada awal 2020, seusai pendanaan tuntas. Menurut rencana, shooting berlangsung 28 hari. ”Sayangnya, tiga hari menjelang selesai, PSBB (pembatasan sosial berskala besar) diterapkan. Akibatnya, shooting terhenti,” katanya.
Shooting dilanjutkan enam bulan kemudian. Edwin sempat memulangkan juru kamera asal Jepang dan mendatangkannya lagi. Pengeditan pun dilakukan di Bangkok, Thailand. ”Biaya pasti nambah. Apalagi, film ini international co-production. Ada pihak asing, seperti orang Jepang,” papar Edwin.
Saat dihubungi, ia sedang mengikuti Toronto International Film Festival (TIFF) 2021 di Kanada. Karya Edwin dijadwalkan tampil di ajang bergengsi itu, menyusul diikutsertakan di Busan International Film Festival (BIFF) 2021, Korea Selatan, Oktober mendatang. Hal itu ditempuh untuk memperluas pemasaran film. ”Festival itu sebetulnya pasar. Harapannya, setelah kita putar bisa dilempar ke pasar film lain,” tambahnya.
Produser Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Meiske Taurisia, mengungkapkan, Locarno Film Festival begitu kompetitif. ”Sangat banyak sineas yang mendaftar dari seluruh dunia. Ibaratnya, festival itu olimpiade film,” ucapnya.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas membuktikan sineas Indonesia kompeten dan karyanya berdaya saing. Meiske lantas menarik konklusi lebih dalam dari sekadar kemenangannya. ”Ambillah rata-rata Indonesia bikin 100 film per tahun. Kalau 10 tahun, ada 1.000 film. Lalu, kenapa cuma dua film yang tembus Locarno,” ujarnya.
LOCARNO FILM FESTIVAL / TI-PRESS / MARCO ABRAM
Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas besutan sutradara Edwin memenangi penghargaan tertinggi Golden Leopard (Pardo d\'Oro) sebagai Film Terbaik di Festival Film Locarno ke-74 di Locarno, Swiss, Sabtu (14/8/2021). Tampak produser film ini, Muhammad Zaidy Amiruddin, dengan trofi penghargaan itu.
Pada tahun ini saja, hanya lima film Indonesia yang dikompetisikan di BIFF. Ia terus memupuk asa film Indonesia konsisten mendobrak festival dunia lain. ”Bisa enggak, menang lagi. Kalau kita senang dapat Golden Leopard, ayo dibina. Adakah pendanaan buat film yang ikut festival dunia,” ujarnya.
Ia mengumpamakan perfilman nasional dengan perkebunan. Tanaman tentu membutuhkan pupuk agar subur dan buahnya bermutu. ”Apakah pemerintah, misalnya, memberikan dukungan berupa pupuk. Tujuannya, ekosistem yang lebih kondusif sehingga sineas bisa bikin film bagus,” ujarnya.
Meiske mengaku tak terlalu memikirkan respons publik terhadap Golden Leopard karena skalanya sangat luas. Ia pun tak memungkiri jika keragaman film di Indonesia masih amat rendah. ”Konsumsinya kebanyakan film Hollywood. Tontonan kita minim. Penonton lebih akrab dengan Academy Awards atau Locarno, itu kebiasaan saja,” ujarnya.
Berani bermimpi
Makbul Mubarak ikut gembira dengan raihan Golden Leopard. Mimpi yang menjelma nyata itu sungguh dekat. Tak heran karena sutradara Sugih, Ruah, dan A Plastic Cup of Tea Before Her itu pernah mengecap panasnya persaingan Locarno. ”Susah karena pendaftar dari seluruh dunia. Terpilih saja sudah senang banget karena lewat kurasi,” katanya.
Ia bersama produser Yulia Evina Bhara menjuarai Open Doors Hub, seleksi tahunan untuk menentukan skenario, urgensi ide, dan visual terbaik pada 2019. Makbul menilai penting gencarnya keikutsertaan sineas Indonesia di festival global, berikut promosi filmnya di Tanah Air.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Produser Yulia Evina Bhara (kiri) dan sutradara Makbul Mubarak bersenda gurau seusai meraih penghargaan utama Open Doors Hub. Penghargaan itu diserahkan di Locarno, Swiss, Selasa (13/8/2019) atau Rabu (14/8/2019) WIB.
”Ternyata, tak ada yang mustahil dengan perolehan Golden Leopard. Kita jadi berani bermimpi lebih jauh. Toronto dan Busan kita libas. Kenapa tidak,” katanya. Momentum kemenangan di Locarno hendaknya bisa dipertahankan. Ia agak gundah karena respons soal Golden Leopard masih riuh di kalangan terbatas.
”Kalau dibahas pencinta film, ramai banget. Tapi, di luar itu belum teramplifikasi dengan baik. Yang penting bagaimana caranya supaya orang-orang nonton film itu,” ucapnya. Padahal, Locarno yang digelar sejak 1946 termasuk festival film tertua.
Platform-platform seperti itu sepatutnya lebih intens dikenalkan sehingga khalayak lebih memahami beberapa festival dunia yang menjadi tolok ukur sineas. ”Itu bagian dari literasi film. Secara historis, Locarno sangat penting,” kata Makbul.
Ia tak menampik jika kegembiraan publik terhadap pencapaian di Locarno belum maksimal. Makbul tak menyalahkan siapa-siapa, tetapi sebagian besar masyarakat hanya tahu Piala Oscar adalah kenyataan. ”Academy Awards atau Locarno bukan hierarki. Menang Oscar dan Golden Leopard, ya, sama,” ujarnya.
Makbul malah menganggap Locarno lebih bisa dianggap representasi perfilman dunia karena semua film punya kans yang sama untuk menang. ”Sementara Oscar mewakili perfilman Amerika Serikat. Oscar untuk film yang pernah tayang di sana,” ujarnya.
ARSIP WATCHDOC
Tim Watchdoc sedang melakukan proses produksi untuk film dokumenter yang dilaksanakan di tengah pandemi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Magsaysay Award
Sesak karena pandemi ditambah kacaunya demokrasi negeri pun sedikit terobati saat Watchdoc yang aktif melahirkan dokumenter mendapatkan Ramon Magsaysay Award kategori Emerging Leadership.
Sejak berdiri 12 tahun lalu, rumah produksi itu konsisten dengan tema advokasi untuk isu lingkungan, demokrasi, antikorupsi, dan HAM. Keteguhan ini membuahkan hasil karena keberanian mengupas masalah sosial secara jujur dengan jurnalisme investigasi dan memanfaatkan pelantar baru, seperti Youtube, yang menjangkau anak muda.
Mengutip situs Ramon Magsaysay, pemilihan nomine hingga pemenang dilakukan melalui investigasi dan evaluasi yang detail. Bahkan, pihak Ramon Magsaysay tak menerima rekomendasi nominasi secara terbuka. Penghargaan ini pun kerap dianggap semacam nobel versi Asia.
Pada tahun ini, karya Watchdoc, yakni KPK Endgame, mendapat apresiasi dan menyedot minat masyarakat lewat isu tes wawasan kebangsaan yang dianggap alat menyingkirkan pegawai berdedikasi terhadap gerakan antikorupsi. Sebelumnya, ada Kinipan yang bertutur kehancuran ekosistem Indonesia.
ARSIP WATCHDOC
Tim Watchdoc sedang melakukan proses produksi untuk film dokumenter yang dilaksanakan di tengah pandemi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Produser Watchdoc, Marcellinus Indra, bercerita, dua film itu digarap pada pandemi. ”Kinipan sudah jalan saat 2018 tapi akhirnya follow up saat 2020 sekitar Oktober. Selama tiga minggu, kami jalan darat ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu,” tuturnya.
Jalan darat bersama Dandhy Laksono dan dua rekan lain untuk menelusuri lokasi pengambilan gambar dilakukan salah satunya untuk menekan biaya. Anggaran perjalanan melonjak karena tak hanya membayar ongkos penerbangan, tapi juga perlu tes sebelum berangkat. Jalur darat pun dinilai lebih ekonomis. Watchdoc tengah menyiapkan proyek lain, mengingat persoalan negeri ini yang kian karut-marut dan butuh sarana menyuarakannya dengan jernih.
Dosen mata kuliah Komunikasi Massa Program Studi Komunikasi Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Wahyutama, berpendapat, perolehan Golden Leopard dan Ramon Magsaysay Award menyalakan semangat untuk memenangi festival-festival global lain.
Sinematografi Indonesia sebenarnya sudah mumpuni. Beberapa pemeran, seperti Iko Uwais, Joe Taslim, dan Yayan Ruhian, juga diajak main film dunia. ”Tinggal idenya saja harus lebih kreatif untuk mengangkat tema yang membumi,” kata Wahyutama.