”Pun Aku”, Iwan Rasa Baru
Rasanya bakal sulit membayangkan bahwa suatu hari nanti sosok pemberontak jalanan itu akan melahirkan album yang sepenuhnya dapat dinikmati oleh generasi “rebahan”.
Generasi yang sempat larut meneriakkan ganasnya lirik lagu-lagu Iwan Fals bersama puluhan ribu penonton lainnya di panggung-panggung raksasa di penjuru Indonesia, rasanya bakal sulit (kalau bukan mustahil!) membayangkan bahwa suatu hari nanti sosok pemberontak jalanan itu akan melahirkan album yang sepenuhnya dapat dinikmati oleh generasi ”rebahan”.
Sebuah album yang enak dinikmati sambil duduk di sofa, memandangi butir hujan memukul kaca jendela sembari menyesap secangkir kopi. Dan, hari yang mustahil itu kini sungguh telah tiba.
Melalui Pun Aku, album penuh yang dirilisnya bertepatan dengan perayaan ulang tahunnya yang ke-60, Iwan Fals seperti lahir dalam warna yang sama sekali berbeda. Bukan hanya lembut, lagu-lagunya juga terasa relaks. Betul-betul santai. Tidak ada gugatan di sana. Apalagi pemberontakan.
Album ini dibuka dengan ”Pun”, sebuah nomor yang lebih mirip musikalisasi puisi ketimbang lagu yang utuh. Melalui potongan lirik seperti ”Aku adalah kau yang sejatinya tunduk pada harmoni/Mengakui bahwa perbedaan adalah sebuah keindahan yang luhur”, Iwan bertutur—lebih tepatnya bertanya—apakah kita tidak sebaiknya menanggalkan saja segala perbedaan dan kemudian berpelukan merayakan keberagaman. Petikan gitar dan vokalnya, seperti biasa, terdengar magis. Di getar pita suara emasnya, pesan tentang keberagaman terasa kuat. Tidak jatuh menjadi klise atau membosankan.
”Selamat” hadir kemudian. Sebuah lagu sederhana tentang ucapan selamat ulang tahun. Mudah menebak bahwa lagu ini ditulis untuk orang-orang yang dikasihi Iwan Fals atau bahkan dirinya sendiri. Namun, bagi yang memahami tingginya mimpi yang pernah ia sematkan ke dalam lagu ”Galang Rambu Anarki” sebelum kemudian kandas digilas kematian anak pertamanya itu, ”Selamat” akan punya makna berbeda. Sangat berbeda.
Pada lagu ketiga berjudul ”Sebuah Genteng”, suasana mendadak jadul. Dan jenaka. Bersama NonaRia, Iwan membawakan kisah genteng rumah. Enak sekali ia bernyayi tentang keping-keping tanah liat yang sudah ratusan tahun jadi pelindung orang Indonesia dari sengatan matahari atau guyuran hujan. Meski, tentu saja, genteng dalam lagu ini memiliki makna yang lebih dalam. Sesuatu terkait peran sosial kita semua dan persatuan bangsa.
Nesia Ardi, Nanin Wardhani, dan Yasintha Pattiasina kompak menjaga harmoni. Kejenakaan lagu ini ditutup sempurna dengan pecahnya tawa Iwan dan trio jazz yang melambung namanya berkat single ”Antri, Yuk!” yang diganjar penghargaan Artis Vokal Jazz Terbaik dalam gelaran Akademi Musik Indonesia 2018.
Berikutnya adalah sebenar-benarnya Iwan Fals. Pelan, lembut, tetapi dalam dan menghanyutkan. Tidak ada paksaan dalam tarikan napasnya. Seperti juga tidak ada tekanan berlebihan di petikan gitarnya. Dalam untaian nada-nada yang terdengar sederhana, tetapi jauh dari seadanya itu, ia melantunkan lirik yang membius. ”Kata siapa cinta itu menyakitkan/Kata siapa rindu itu menyedihkan/Jika terasa sakit, mungkin bukan cinta/Jika terasa pedih, mungkin bukan rindu”.
Kekuatan lirik itu kemudian disempurnakan tarikan khas harmonika. Mendengar ”Kata Siapa Cinta Itu Menyakitkan?” ini rasanya tidak mungkin bertahan dari terjangan gelombang kenangan yang menyeret kita ke masa lalu. Ke sebuah album mahadahsyat yang pernah ditulisnya dengan ”telanjang” tak kurang dari tiga dekade lalu: Belum Ada Judul.
”Bunga Kayu” menggelinding indah. Kalau ada yang patut diacungi jempol, itu adalah siapa pun yang bertanggung jawab menyusun lagu-lagu di album ini. Paruh pertama album ini—kalau kita bicara format kaset yang sangat analog tapi anehnya dekat sekali dengan generasi hari ini—mulus meluncur ke telinga.
Dengan lagu kelima yang bahkan lebih lambat dari lagu sebelumnya, Iwan seperti pelan-pelan membelai jiwa dan tanpa disadari kita semakin dalam terhenyak di sofa. Dengan gembira membiarkan lagu-lagunya membuat kita terasing dalam pikiran kita masing-masing.
Nuansa album bergeser mistis dengan hadirnya ”Kabar Aroma Tanah”. Ada perenungan di sana. Juga sebersit kesedihan. Apakah Iwan diam-diam meratapi keadaan bangsa? Keadaan yang, sejujurnya, tidak banyak membaik ketimbang tiga dekade lalu ketika dia dengan gagah berani mengangkang di jalanan sambil mengacungkan kepalan tangan perlawanan bersama WS Rendra dan Sawung Jabo? Entah.
Keputusannya untuk membawakan lagu ini bersama nama-nama dari generasi yang jauh lebih muda jelas melahirkan tanya: kenapa Zara Leola, Maizura, Stevan Pasaribu, Difki Khalif, Regina Poetiray, dan Rheno Poetiray?
Siapa tak kenal Danilla. Suara ”miring”-nya membalut ”Penghibur Hati” dalam nuansa murung yang menghantui. Rasanya memang sudah sepantasnya lagu yang penggalan liriknya menyebut-nyebut soal ajal ini disuguhkan dengan demikian gelap. Dan menekan.
Iwan dan Danilla, diselingi tiupan terompet yang seperti berasal dari alam lain, sejenak menggulung segala kesan santai yang menyapa sejak nada pertama di album ini.
Setelah menyelam demikian dalam ke kegelapan yang menekan, bersama Nadin Amizah, Iwan kembali ke warna cerah. Kepada semangat hidup yang tulus. Sebuah puja-puji bagi Ilahi yang indah. ”Siang berganti malam/Terdengar panggilannya/Suara anak-anak kecil yang pergi ke langgar” bergulir.
Dengan akurat, potongan lirik untuk memotret kehidupan religi masyarakat Indonesia sesungguhnya. Tenang. Tenteram. Riang gembira. Jauh sekali dari gambaran beringas yang selama ini tak henti kita saksikan di media massa.
Lagu nomor sembilan bicara soal cinta dan kehilangan. Dua kenyataan yang sepertinya jarang sekali terjadi sendiri-sendiri. Mencintai tidak melulu berarti berbahagia, tetapi pasti harus bersiap untuk menangis. Begitulah Iwan menyanyikan kegundahannya dalam ”Patah”, lagu yang terasa paling pop di album ini. ”Apa yang harus aku lakukan/Bila kau pergi tinggalkanku/Sungguh ku tak bisa jauh/Dari dirimu”.
Meski jauh dari ganas, ”16/01” jadi yang paling kental nuansa politiknya. Cebong, kampret, kadrun, hingga Taliban tersebut dalam penggalan lirik dari lagu yang ditulis Iwan bersama Sandrayati Fay. Lagu ini juga jadi yang terpanjang durasi serta liriknya.
Nuansa musik rakyat kecil yang berupaya gembira sambil menopang beban hidup yang kian tak tertanggungkan, citra yang abadi melekat dalam diri Iwan, terasa sekali di lagu ini. Nada yang asyik untuk ”dijogetin” diulang-ulang menyanyikan penggalan lirik ”Lagu tercipta yang penting sehat/Digoyang-goyang sambil berdoa/Sambil berdoa digoyang-goyang/Yang penting sehat lagu tercipta”.
Denting piano mengalun di nomor sebelas, ”Merah Putih”. Bukannya bicara soal kekasih, Iwan memilih bicara tentang bangsa. Tentang Indonesia. Kepedihan yang terselip di ”Kabar Aroma Tanah” seolah ditolak mentah-mentah oleh lagu ini. ”Merah Putih” dengan gagah menorehkan janji di dalam hati. Sebuah janji untuk terus membela panji-panji negara kita tercinta, Indonesia.
Petualangan bunyi ini sampai di ujung jalan dengan ”Aku”. Seperti ”Pun” yang jadi pembuka, ”Aku” menutup album dengan nuansa musikalilasi puisi. Yang luar biasa, ”Aku” merangkum lirik dari semua lagu yang sebelumnya sudah terlebih dulu disuguhkan. Sepuluh lagu jadi satu. Jadi ”Aku”. Jadi Iwan dengan warna baru.
Eko Wustuk
Penikmat musik tinggal Ciputat, Tangerang Selatan