Pameran Koleksi Bentara Budaya, Gerbang Menuju Empat Dasawarsa
Sejak tahun 1970-an, PK Ojong kecanduan membeli barang antik. Demikian juga, Jakob Oetama tak kalah besar kecintaannya terhadap seni. Minat para perintis Kompas Gramedia itu jadi cikal-bakal berdirinya Bentara Budaya.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Pameran Koleksi Bentara Budaya dan Foto Perintis ”Dua Menguak Seni” digelar secara daring dan luring. Pameran ini juga dapat diakses melalui kanal Youtube Bentara Budaya pada 1-27 September 2021. Publik dapat berkunjung langsung ke Bentara Budaya Jakarta setiap Sabtu dan Minggu pada pukul 11.00-15.00 setelah lebih dulu melakukan reservasi.
Pameran bertajuk Dua Menguak Seni menghadirkan karya seni dengan trimatra medium. Lukisan, keramik, dan foto merepresentasikan keluwesan Bentara Budaya meniti zaman. Lembaga budaya tersebut menjejaki usianya yang ke-39, tahun ini.
Begitu memasuki pameran di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), karya Affandi sontak menyita perhatian. Galur-galur gumpalan cat sekaligus sapuan jari seniman ekspresionis menggurat dalam ”Potret Diri”. Lukisan sang maestro itu menjadi salah satu koleksi Bentara Budaya.
Lukisan yang dibuat pada tahun 1981 itu menggambarkan Affandi asyik mengisap cangklong. Paduan warna minim dengan akrilik kuning, coklat, dan hitam yang tak rata melumuri kanvas. Khas gaya pelukis yang kerap membubuhkan cat langsung dari tubenya itu.
Pencinta seni tentu mafhum jika Affandi langsung menatap wajahnya sendiri dengan cermin saat menghasilkan lukisan tersebut. Sekejap saat mengamati ”Potret Diri”, pengunjung bakal menarik benang merah dengan tema lukisan lain yang dipajang.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Lukisan karya Sudjojono berjudul ”Pasar Ikan” (kiri) dan karya Affandi berjudul ”Potret Diri” dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Bentara Budaya menggelar Pameran Koleksi Bentara Budaya dan Foto Perintis ”Dua Menguak Seni” secara daring dan luring. Pameran ini menandai 39 tahun perjalanan Bentara Budaya dalam merawat seni dan mengapresiasi karya para seniman.
Wajah Affandi yang renta, sublim, tetapi juga teduh merefleksikan liku-liku riwayatnya dengan tempaan pergantian zaman. Demikian pula Bentara Budaya yang diresmikan pertama kali di Yogyakarta dan ikut menambah khazanah seni Tanah Air. Lembaga tersebut menggelar pameran koleksinya hingga 27 September 2021 secara virtual.
Pameran itu sekaligus menjadi gerbang dari rangkaian program menuju empat dasawarsa Bentara Budaya pada 2022. Lukisan yang dipajang menganyam makna mengenai perjalanan hidup, kerja keras, dan kekeluargaan. Kebersamaan umpamanya, dihadirkan S Sudjojono dengan ”Gerilya” yang dibuat pada tahun 1968.
Dengan cat minyak, pelukis legendaris itu menghidupkan celoteh sepasang bocah perempuan yang meningkahi obrolan empat orang dewasa berkerabat. Mereka bercengkerama di perbukitan dengan pepohonan yang rimbun. Representasi Bentara Budaya selain kedekatan, digambarkan pula lewat perjuangan yang disimbolkan dengan gerilyawan.
Tak sekadar kehangatan dan keindahan panorama bernuansa realisme yang dideskripsikan, tetapi juga kesiapsiagaan dengan bedil tersandar di samping pejuang. Seniman yang akrab disapa Mas Djon tersebut memang sudah melahap asam garam kesenian sejak sebelum kemerdekaan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Lukisan karya Sudjojono berjudul "Pasar Ikan" dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Bentara
”Di tengah wabah Covid-19 yang masih melanda, Bentara Budaya memperingati pertambahan usianya,” ujar Manajer Bentara Budaya Paulina Dinartisti. Pergulatan telah dilalui lembaga tersebut mulai era Orde Baru, Reformasi, eskalasi politik beberapa tahun terakhir termasuk unjuk rasanya, hingga pandemi saat ini.
Bentara Budaya juga berupaya menjalin keguyuban melalui persahabatan dengan banyak pihak untuk menggelar berbagai program. ”Banyak cara memaknai pertambahan usia baik individu maupun lembaga. Bagi lembaga budaya, 39 tahun bukan waktu yang singkat,” ucapnya.
Sederet pelukis ternama lain turut mewakilkan eksistensinya dalam koleksi Bentara Budaya ini, seperti Dullah, Barli Sasmitawinata, Popo Iskandar, Rudolf Bonnet, Sudjono Abdullah, Trisno Sumardjo, Trubus Sudarsono, Rustamadji, Tedja Suminar, Hendra Gunawan, Hendro Djasmoro, Basuki Resobowo, Djajeng Asmoro, dan Otto Suastika.
Banyak cara memaknai pertambahan usia, baik individu maupun lembaga. Bagi lembaga budaya, 39 tahun bukan waktu yang singkat. (Paulina Dinartisti)
Kecanduan membeli
Bentara Budaya tak ketinggalan menghadirkan karya-karya pelukis Bali. ”Melis (Upacara ke Pantai)”, karya Ida Bagus Made Poleng yang dibuat tahun 1971, misalnya, mengisahkan upacara adat secara runut. Seperti biasa, ia menorehkan warna-warni kelam dan ragam postur yang liat. Goresan akrilik dengan tempera di atas kanvas itu dapat dinikmati bagai menyimak tuturan bernas.
Lazimnya proses dengan awal yang jelas, Bentara Budaya pun bertahan untuk memberi ruang ekspresi bagi seni tradisi hingga modern. Pameran yang didedikasikan untuk dua perintis Kompas Gramedia, Jakob Oetama dan PK Ojong, itu, menunjukkan pula kecintaan mereka terhadap seni.
Dalam buku Jejak-jejak PK Ojong: Pameran Koleksi Bentara Budaya yang diterbitkan BBJ pada 2008, mantan pengelola BBJ Rudy Badil menjelaskan Ojong yang kecanduan membeli barang antik sejak tahun 1970-an. Koleksi lukisan yang dirintis Ojong jauh lebih mengesankan.
Pasar Rumput atau pasar loak di Jakarta menjadi daerah perburuan Ojong yang sering mengajak GM ”Om Pasikom” Sudarta. Awalnya atas dasar keterpukauan Ojong saat bergaul dengan seniman Bali. Ia lantas membeli lukisan seniman asing besar yang tinggal di Bali seperti Rudolf Bonnet. Ojong tak lupa membeli karya pematung Bali sohor, I Nyoman Tjokot.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Lukisan karya Wayan Ketig berjudul ”Upacara Odalan” dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.
Tak ayal, pameran di Bentara Budaya diisi pula dengan kreasi I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Togog, I Ketut Nama, Ketut Regig, I Made Gatera, I Gusti Nyoman Lempad, Nyoman Mandera, Wayan Djudjul, Nyoman Daging, Ketut Kasta, Wayan Turun, Wayan Ketig, dan Ketut Sudana.
Bentara Budaya juga mengeluarkan koleksi keramiknya yang tak lekang ditelan waktu. Tempayan, gentong, dan figurin dari tanah liat terlihat masih terawat sangat baik. Begitu pula wadah tongkat, bangku, dan piring dari porselen yang tak tampak getas.
Daya tahan dibarengi perawatan intensif ditunjukkan barang-barang pecah belah yang berasal dari Dinasti Ching, Ming, dan Yuan. ”Proses pembakarannya tingkat tinggi. Sekitar 1.050-2.000 derajat celsius,” ujar Ketua Pengelola BBJ Ika W Burhan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Foto-foto bertema ”Perintis” dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.
Pembuatan keramik-keramik itu terentang mulai abad ke-9 hingga abad ke-19. Keragaman dekoratif keramik berbeda tergantung masanya. Pot bak batuan, botol merkuri, cetakan sagu Papua, teko jamu, wadah air, hingga celengan babi Trowulan juga dipamerkan.
Dua Menguak Seni sebagai tema pameran tersebut tentu saja merujuk kepada Jakob dan Ojong. Mereka ditampilkan lewat dokumentasi bersejarah. Foto-foto yang dipasang menyuguhkan mereka tengah bersanding dengan para tokoh dunia dan Tanah Air.
Arsip lain menunjukkan duo pendiri harian Kompas itu berkumpul dengan pegawai-pegawainya. Panel berbeda menunjukkan kantor lama, Jakob menghadiri sejumlah acara, dan Ojong sedang melanglang buana. Foto yang berjumlah hampir 30 lembar itu dicetak dengan pelat.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Foto-foto bertema ”Perintis” dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.
Tetap berkobar
Kurator Bentara Budaya Ipong Purnama Sidhi menyebutkan, koleksi Bentara Budaya berjumlah 738 lukisan dan koleksi keramik China sebanyak 990 buah. Semua koleksi dirawat dengan baik di ruang bersuhu 18 derajat Celcius dan dibersihkan secara berkala.
Efix Mulyadi, kurator Bentara Budaya mengutip kesaksian GM Sudarta yang menyitir Ojong bahwa membina kesenian tidaklah hanya dengan penataran, seminar, dan diskusi. Lebih penting lagi membeli karya mereka, menyelenggarakan pameran, dan merawatnya.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid menyambut baik pameran Dua Menguak Seni, terutama di masa pandemi. ”Lagi-lagi, kita memperlihatkan di tengah keterbatasan, nyala kebudayaan tetap berkobar,” ucapnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Lukisan karya Hendra Gunawan berjudul "Topeng" dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Bentara Budaya menggelar Pameran Koleksi Bentara Budaya dan Foto Perintis "Dua Menguak Seni" secara daring dan luring. Pameran ini menandai 39 tahun perjalanan Bentara Budaya dalam merawat seni dan mengapresiasi karya para seniman.