Band The Panturas tak sebenar-benarnya berlabuh di dermaga, karena mereka bukan pelaut. Dermaga adalah metafora dari ragam bunyi instrumen di album "Ombak Banyu Asmara" ini.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Grup The Panturas adalah band yang terbentuk di dataran tinggi Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jabar. Namun, mereka justru memainkan musik rock beraroma laut dan pantai sejak 2015. Dalam album keduanya, Ombak Banyu Asmara para lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini berfantasi menyinggahi dermaga-dermaga.
Corak rock yang mereka pilih enam tahun lalu identik dengan kultur peselancar; istilahnya surf rock. Gaya ini dipopulerkan antara lain oleh The Beach Boys dan The Ventures, juga sering dipakai di film-film besutan Quentin Tarantino.
Warna musik ini mereka pilih justru ketika kancah musik sedang dibuai oleh genre folk atau pop akustik. Sebenarnya, musik folk lebih tepat dengan identitas mereka yang sama-sama kuliah di Jatinangor, yang kalau pagi dan senja masih sering berkabut itu.
“Aku pernah main folk di band Alvin and I, tapi bosan, pengen yang lain. Kebetulan waktu itu lagi suka Beach Boys,” kata drummer Surya Fikri Asshidiq, alias Kuya, putra asli Kecamatan Tanjungsari di Sumedang. Wawancara dengan personil The Panturas berlangsung via aplikasi Zoom pada Senin (6/9/2021) malam.
Bagus Patria alias Gogon, pemain bas, menimpali, “Di kampus yang main folk sudah banyak, termasuk si Kuya. Kami pengen bikin yang keren aja di kampus. Pilihan pada surf rock sesimpel belum ada yang main musik seperti ini di kampus. Referensi musiknya, ya, dari internet,” kata Gogon.
Di Indonesia, surf rock sempat dipopulerkan Sam Saimun di dekade 1960-an. Di kancah musik independen di milennium baru, grup Southern Beach Terror dari Yogyakarta sempat menyeruak. Pentolan Southern Beach Teror kini membuat band Sundancer dengan corak serupa dari domisilinya sekarang di Lombok, NTB.
Ciri khas surf rock sebenarnya terletak pada bunyi gitar yang cenderung nyaring berefek gaung (reverb). Rata-rata lagu surf rock adalah nomor instrumentalia tanpa vokal, seperti yang dimainkan Dick Dale, pemusik sekaligus peselancar dari California, AS.
Referensi itu jadi modal bagi Kuya membentuk The Panturas di akhir 2015 bersama gitaris Rizal Taufik dan Abyan Zaki Nabilio alias Acin, yang juga vokalis. Panggung pertama mereka di malam tahun baru 2016 di kampus, bersama dua personil lain yang kelak mengundurkan diri. Gogon, yang juga pemain bas orkes melayu Orkes Bagong Februari, masuk belakangan.
“Acaranya agak sepi, sih. Yang nonton, ya, teman-teman setongkrongan, yang juga main di acara itu. Kami bawa massa sendiri,” kenang Acin. Panggung pertama itu ditetapkan sebagai hari jadi The Panturas. Koneksi antarmusisi di Jatinangor dan Bandung, serta nomor “Fisherman’s Slut” yang dipajang di Soundcloud mengerek popularitas mereka.
Lagu-lagu lainnya mereka buat, dan dapat kesempatan rekaman album bertitel Mabuk Laut di Palm House Studio, Pejaten, Jaksel. Label La Munai Records yang menaungi The Panturas. Produsernya adalah mereka sendiri. Proses rekamannya singkat, dua minggu saja.
Terganjal pandemi
Berbekal album dan pengalaman main di panggung kecil, mereka merambah festival besar seperti Synchronize, We The Fest, dan Soundrenaline. Pada perhelatan We The Fest tahun 2019 lalu, misalnya, penampilan The Panturas termasuk yang ramai didatangi. Penonton yang “berselancar” di antara kerumunan kepala penonton lainnya jadi pemandangan yang seru.
Di awal 2020, mereka sudah menyusun materi lagu baru dengan harapan bisa direkam di bulan puasa. “Dua minggu kami ngumpul di studio bikin bagan lagu, dasarnya sudah dapet, tapi rekamannya ditunda dulu untuk ngisi waktu selama bulan puasa,” kata Rizal. Wabah Covid-19 mengacaukan program itu.
Mereka lalu belajar teknis rekaman audio di rumah masing-masing. Nihil jadwal panggung membuat mereka punya waktu lebih serius memikirkan album berikutnya. Tercetus ide melibatkan produser Lafa Pratomo, yang telah berkiprah bersama musisi kenamaan macam Danilla, Polka Wars, dan banyak lainnya, untuk memasak karya baru The Panturas.
“Waktu mau kerja sama dengan Lafa, kami kayak audisi, mainin 10 lagu baru di studio dengan Lafa sebagai ‘jurinya’. Aransemen lagu itu masih mentah, malah belum ada liriknya,” kata Kuya.
Lafa lantas memberi masukan detil-detil isian gitar, bas, dan drum, instrument konvensional band. Tapi bukan cuma itu, aransemen itu diperkaya dengan tambahan instrumen lain seperti akordeon, tehyan—alat musik gesek yang terpengaruh budaya China, terompet dan trombone, hingga vokal latar. Lafa yang menempatkan bunyi instrumen itu pada lagu yang dirasa membutuhkan.
Metafora dermaga
Keragaman suara instrumen itulah yang menjelaskan metafora dermaga di berbagai pesisir. Nuansa irama calypso pada lagu “Tipu Daya” terdengar seperti mereka sedang berlabuh di salah satu kepulauan Karibia.
“Lagu ‘Balada Semburan Naga’ dengan instrumen tehyan seperti kami sedang berlabuh di negeri China. Bunyi akordeon di ‘Tafsir Mistik’ untuk mendapat nuansa musik melayu di semenanjung Malaka,” kata Gogon.
Nomor “Balada Semburan Naga” rasanya pantas diberi garis bawah di antara 9 lagu lainnya. Lirik lagu ini panjang. Acin beradu sahutan dengan Adipati dari band punk The Kuda asal Bogor. “Ceritanya soal quarter life crisis-lah, ditolak calon mertua kalah sama anak orang kaya,” kata Kuya. Penulis liriknya adalah Kuya, Acin, dan Gogon sekaligus.
Begini kutipan lirik gamblang itu, “Pagi, pagi, Pak. Apa Putrinya ada? Kami janji kencan ke pusat kota.” Sapaan ditanggapi sinis, “Oh, jadi Anda yang namanya Topan? Saya dengar Anda seniman, pantas tak keruan….” Dan perdebatan berlanjut.
Nomor “Jim Labrador” yang liriknya ditulis Gogon tak kalah seru. Ini bisa jadi “lagu latar” tawuran, keributan yang sering dilihat Gogon yang besar di daerah timur Jakarta. Begini petikannya, “Batu t’lah berhamburan/Golok sisir sudah diayunkan/Semua mengamuk bak kesetanan/Bagai zona tempur Afganistan.” Pesisir Batavia terasa keras!
Enam lagu di album ini berlirik, dua di antaranya dinyanyikan Acin bareng Nesia Ardi dari trio Nona Ria. Empat lagu lainnya adalah instrumentalia, yang memang diniatkan demikian.
Frasa judul “ombak banyu asmara” terdengar puitik. Itu justru menggambarkan kehidupan pelaut: keras, sekaligus penuh kerinduan pada rumah dan orang tersayang. Nuansa sentimentil terasa di nomor instrumentalia “Intana”, juga di “Masalembo” yang riang dan “All I Want” yang romantis.
Format digital album ini mulai beredar pada Jumat (10/9/2021). Jika ada anggaran, silakan pesan paket format CD di situs label mereka lamunairecords.com seharga Rp 150.000. Membeli paket CD lebih mendukung keberlangsungan ekosistem musik yang sedang seret panggung ini. Sampul album ini adalah reproduksi dari lukisan di atas kanvas berukuran 1x1 meter karya pelukis muda Andre Yoga.