Lukisan-lukisan yang dihasilkan para pelukis hari ini, ketika pandemi nyaris meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan manusia modern, niscaya akan memancarkan aura positif di kemudian hari.
Oleh
Putu Fajar Arcana/Nawa Tunggal/Dwi Bayu Radius
·5 menit baca
Para pelukis tak mau terjebak terus-menerus di rumah karena itu akan membuat mereka mati gaya. Lebih dalam lagi, keterkungkungan di dalam rumah, termasuk di studio, membuat mereka kehilangan energi kreativitas. Ujung-ujungnya, sama sekali tidak produktif di masa pandemi dan waktu terbuang sia-sia, tanpa berbuat apa-apa.
Pelukis Putu Sutawijaya, yang menetap di Yogyakarta, menyadari bahwa ada bahaya besar jika ia tidak segera mengambil keputusan. Ketika pandemi mengharuskan pemerintah mengambil keputusan memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) pada awal 2020, ia sudah merasa akan terbelenggu. Terjebak di rumah dengan orang yang selalu sama bisa menimbulkan banyak persoalan.
Secara nekat, Sutawijaya mengambil keputusan menjajal pantai-pantai di sekitar Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Niatnya, katanya, ingin mendokumentasikan situasi dan kondisi di masa pandemi.
”Saya lihat masyarakat taat semua menjalankan social distancing. Pantai yang biasanya ramai kini sepi sekali. Ini justru waktu yang baik untuk terhubung kembali dengan alam,” kata Sutawijaya, Jumat (10/9/2021), dari Yogyakarta. Selama beberapa kali menjajal pantai-pantai Wonosari, ia telah menghasilkan setidaknya lima lukisan besar.
Setelah itu, sejak tujuh bulan lalu ia punya project pribadi menjajal sungai-sungai di sekitar lereng Gunung Merapi. Ia menargetkan akan mengunjungi 12 sungai. ”Sekarang sudah dijajal enam sungai. Jadi saya melukis dari sungai-sungai dengan latar Gunung Merapi,” kata Sutawijaya.
Project ini, ia sebut, sebagai segara-giri (laut dan gunung) atau kaja-kelod (utara-selatan), sebagai kiblat kosmologis dalam menjalani hidup. Kata Sutawijaya, ia tak sekadar memindahkan keagungan alam, tetapi juga menyerap energi positif di dalamnya, untuk kemudian diabadikan sebagai lukisan. ”Dari Merapi sudah ada delapan karya besar-besar. Suatu saat akan saya pamerkan,” katanya.
Anyer-Panarukan
Pelukis Bayu Wardhana selama pandemi punya project pribadi yang tak main-main. Bersama pelukis Budi Ubrux, sejak 18 Agustus 2021, Bayu menyusuri jalan raya dari Anyer ke Panarukan sepanjang 1.000 kilometer. ”Saya menempuh jalan sepanjang ini selama dua minggu dan sesekali berhenti untuk melukis on the spot,” kata Bayu Wardhana, Jumat, dari Yogyakarta.
Selain ingin menghirup sejarah panjang Anyer-Panarukan yang mulai dibangun saat Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) memerintah Hindia Belanda, Bayu ingin merekam emosinya saat melintas di masa kini di atas jalan itu. Menurut Bayu, sebagai pelukis on the spot, ia selalu membutuhkan semacam pemantik untuk bekerja. Ketika melintas di daerah Citatah, Jawa Barat, secara spontan Bayu berhenti dan melukis bukit-bukit kapur di sepanjang jalan itu.
Ketika awal memulai perjalanannya dari Anyer, tutur Bayu, ia melukis mercusuar di daerah itu. Dengan gaya ekspresionisme, sebagaimana cara kerja pelukis Affandi, Bayu membuat pelototan-pelototan cat dari tubenya. Gaya melukis semacam ini, kata Bayu, mengingatkan dia pada masa-masa di mana pelukis seperti Affandi, Basuki Abdullah, S Soedjojono, Dullah, dan Lee Man-fong pada tahun 1960-an-1970-an menjadikan kegiatan melukis sebagai bagian dari performance. Pada masa-masa itu, tutur Bayu, melukis selalu menjadi metode untuk menjaga keterhubungan dengan alam.
Setidaknya, katanya, di masa pandemi para perupa harus menemukan cara untuk tetap kreatif di tengah-tengah berbagai pembatasan sosial. Memamerkan karya di galeri secara langsung memang sedang tidak dimungkinkan, tetapi, kata Bayu, kreativitas tak boleh mati. ”Pelukis harus jalan terus ada atau tidak ada pameran. Barangkali ini akan jadi rekaman berharga kelak setelah pandemi ini berakhir,” katanya.
Aktivitas serupa dilakukan pelukis I Made Somadita di kisaran Bali. Hampir setiap minggu seorang diri ia menyusur daerah-daerah seperti Bedugul, Kintamani, Amed, dan daerah wisata seperti Seminyak, Kuta, Sanur, dan Ubud. ”Saya ingin merekam semuanya di kanvas dan dari sini belajar banyak tentang watak alam,” kata Somadita.
Usahanya belajar dari alam membuatnya tumbuh menjadi pelukis yang rendah hati. Bahwa bekerja adalah bagian dari pengorbanan suci yang disebut yadnya. ”Kita bekerja saja itu cara kita berbakti. Soal karya itu akan dikoleksi oleh kolektor atau tidak itu persoalan nanti saja,” katanya.
Hasil pengembaraannya ke berbagai sudut Bali itu, kata Somadita, setidaknya telah berwujud menjadi ratusan lukisan, baik cat akrilik maupun cat air. Pada suatu hari, ia ingin memamerkan seluruh hasil perjalanannya dalam memahami alam itu di sebuah galeri.
Sebenarnya metode serupa juga dilakukan oleh pelukis senior Godod Setedjo. Bedanya, belakangan Godod memilih mengabadikan terlebih dahulu momen-momen yang dilihatnya dalam perjalanannya dengan kamera. ”Nanti di studio saya akan garap menjadi lukisan,” katanya.
Pelukis-pelukis seperti Putu Sutawijaya, Bayu Wardhana, dan Somadita sepakat bahwa pengembaraan mereka di alam luas menjadi satu cara untuk tetap menjaga kewarasan kreativitas. ”Kalau tidak dengan cara begitu, kita bisa mati kutu,” kata Bayu Wardhana.
Kurator dan pengajar seni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Mikke Susanto, mengatakan, melukis on the spot sebenarnya telah berkembang sejak zaman Renaisans. Secara khusus, para pelukis Perancis, kata Mikke, melukis di hutan bernama Fontaneblueau sehingga muncul kelompok pelukis pemandangan yang bahkan tinggal di hutan itu. ”Dengan pakaian seadanya, mereka bergumul dengan atmosfer hutan dan gunung. Ini tradisi yang kemudian menular ke seluruh dunia,” kata Mikke.
Di Hindia Belanda, banyak pelukis Eropa yang menjajal alam tropis pada masa kolonialisme. ”Karya-karya mereka kemudian dikenal dengan sebutan Mooi Indie? Kita kemudian mengenal pelukis seperti Affandi, Basuki Abdullah, dan S Soedjojono yang meneruskan tradisi ini,” kata Mikke.
Pada masa pandemi, di mana segala sesuatu dibatasi, untuk memperkecil kemungkinan penyebaran Covid-19, para pelukis seolah kembali menyisir masa lalu. Bahwa keterhubungan dengan alam, kata Mikke, adalah salah satu cara untuk tetap menjaga elan vital, daya hidup, sekaligus daya kreativitas untuk menghindari mati gaya. ”Hakikat menjadi pelukis kan mencipta. Kalau pelukis melukis alam, ia tidak sedang meniru, tetapi mencurahkan emosinya sehingga terhubung dengan alam itu,” ujar Mikke.
Putu Sutawijaya, Bayu Wardhana, dan Somadita merasa kewarasan mereka sebagai seniman justru telah pulih kembali ketika mereka memutuskan menjalin keterhubungan dengan alam. Kreativitas, menurut mereka, harus diledakkan dan kemudian memperoleh saluran yang tepat agar menjadi energi positif.
Lukisan-lukisan yang mereka hasilkan hari ini, ketika pandemi nyaris meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan manusia modern, niscaya akan memancarkan aura positif di kemudian hari. Semuanya karena didasari oleh keinginan yang mewujud menjadi tindakan estetik, yang akan menampung seluruh aspirasi, kegelisahan, kepasrahan, dan ketulusan, dalam menjalani kehidupan.