Pesan Damai Sudjojono
Lukisan pertempuran ingin disampaikan Sudjojono sebagai peristiwa yang tidak tragis. Tidak ada setetes darah merah yang tertumpah. Sudjojono menawarkan gagasan memuliakan kehidupan.
Lukisan peperangan tidak selamanya untuk membicarakan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Maestro pelukis Sindudarsono Sudjojono (1913-1985) membaliknya. Ia membungkus pesan damai lewat sebuah lukisan pertempuran. Ia mendedah ampuhnya seni rupa untuk menawarkan gagasan masa depan yang lebih baik.
Begitulah yang dirasakan Iwan Kurniawan Lukminto (38), pemilik Museum Tumurun di Solo, yang mengakuisisi, kemudian memamerkan 38 sketsa spesial karya Sudjojono. Sketsa-sketsa spesial itu merupakan jurnal visual Sudjojono untuk persiapan pembuatan lukisan besar di Museum Sejarah Jakarta pada tahun 1973.
Karya itu kemudian dikenal sebagai lukisan Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterszoon Coen pada 1628-1629. Lukisan ini atas permintaan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada waktu itu.
Ali Sadikin meminta Sudjojono menciptakan lukisan itu senyampang mempersiapkan sambutan atas rencana kehadiran Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip dari Inggris pada 1974. Ukuran lukisannya cukup besar. Tinggi kanvasnya mencapai 3 meter, lebarnya 10 meter. Lukisan terbagi atas tiga bagian.
Dari buku berjudul Sang Ahli Gambar-Sketsa, Gambar & Pemikiran S Sudjojono, karya Aminudin TH Siregar (2010), dituturkan, kanvas itu dipesan khusus dari Belgia. Kanvas itu tebal dan berat seperti terpal truk.
Kanvas dibentangkan dengan kerangka enam balok kayu jati dengan setiap balok sepanjang lima meter. Sudjojono selama meriset di Belanda tidak menemukan kanvas seperti yang diinginkan dari Belgia itu.
Di dalam risetnya di Belanda, Sudjojono mengunjungi beberapa tempat selama tiga bulan. Kebetulan itu bersamaan dengan rencana pameran tunggal Sudjojono di Hotel des Indes, Den Haag, 3-10 Mei 1973.
Beberapa museum di Belanda disinggahi Sudjojono. Ia membuat sketsa tentang banyak hal, terutama yang sulit dijumpai di Indonesia, seperti renik busana prajurit JP Coen pada masa itu dan sebagainya.
Sudjojono mengunjungi pula kota kelahiran JP Coen di Hoorn, sebelah utara Amsterdam. Hoorn sebagai salah satu kota ekonomi penting di masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Di sinilah terdapat patung JP Coen. Pada masanya, JP Coen sebagai kepala dagang VOC itu dielu-elukan masyarakat Belanda.
Sudjojono meriset figur JP Coen dan menuangkannya di bagian ke tiga lukisannya. Itu bagian terakhir yang mengisahkan peristiwa negosiasi antara JP Coen dan utusan Sultan Agung, Kyai Rangga.
Tidak ada darah
Sebanyak 38 sketsa Sudjojono sebagai jurnal visual lukisan ”Pertempuran Sultan Agung Melawan JP Coen” dipamerkan di Museum Tumurun selama enam bulan. Pameran berlangsung dari 28 Agustus 2021 hingga 28 Februari 2022.
”Tidak ada setetes darah pun dilukiskan di dalam sketsa dan lukisan pertempuran itu,” ujar Iwan dalam perbincangan melalui telepon dari Solo, Jumat (3/9/2021).
Lukisan pertempuran ingin disampaikan Sudjojono sebagai peristiwa yang tidak tragis. Tidak ada setetes darah merah yang tertumpah. Sudjojono menawarkan gagasan memuliakan kehidupan.
Iwan mencecap hasrat simbolisme itu. Sudjojono menuangkan situasi pertempuran dan kondisi persiapan-persiapannya di bagian kedua. Ini mungkin sebagai bagian utama dengan porsi kanvas paling luas.
Situasi di bagian ini disuguhkan dengan ragam latar dan peristiwa yang kompleks. Kurator pameran Santy Saptari menemukan 31 lembar sketsa menyangkut detail lukisan peristiwa pertempuran itu. Ada jenis-jenis tenda prajurit Sultan Agung dituangkan di dalam sketsa.
Sudjojono menuliskan, semua atapnya menggunakan daun pisang. Tampak pula sejumlah prajurit sedang mendirikan tenda besar. Pohon-pohon kelapa terlihat habis ditebang. Perkakas pisau dan palu juga digambar Sudjojono, selain tombak-tombak prajurit yang berdiri tegak mengisyaratkan kesiagaan prajurit.
Panji-panji sebanyak tiga bendera berkibar di atas tenda besar. Sudjojono menggambarkan loyalitas prajurit Sultan Agung menjelang pertempuran. Sketsa lain menggambarkan renik busana prajurit JP Coen. Detail bentuknya seperti lipatan celana prajurit, rok, model sepatu, pita, serta warna-warni yang melekat di busana prajurit.
Sketsa hasil studi posisi tangan juga dituangkan. Posisi tangan berimpitan sebagai adegan prajurit Sultan Agung membanting prajurit JP Coen. Mimik atau raut muka para prajurit pun tak luput dituangkan ke dalam sketsa-sketsa.
Selebihnya, lima sketsa untuk panel pertama berkisah tentang figur Sultan Agung di kursi takhtanya. Sebanyak dua sketsa untuk figur JP Coen dan Kyai Rangga di panel ketiga atau terakhir.
Sketsa-sketsa Sudjojono berusaha mendekati kebenaran sejarah. Sudjojono menulis, ”Saya sebagai pelukis boleh membuat imajinasi dan fantasi semau saya, tetapi 70 % harus benar atas dasar historis. Dan 30 % yang salah tidak boleh karangan sebab mau memihak, akan tetapi harus disebabkan laporan-laporan dan fakta-faktanya yang tidak lengkap dari kedua belah pihak.…”
Catatan-catatan Sudjojono ternyata tidak hanya terkait riset bentuk detail untuk jurnal visualnya. Aminudin TH Siregar, yang akrab disapa Ucok, mengutip catatan Sudjojono yang menyinggung persoalan kekurangan dana. Ia mengutipnya sebagai berikut.
”Saya membuka harga terlalu rendah. Harga karya ini Rp 3.500.000. Namun, ini risiko saya. Saya telah menyepelekan kenaikan harga. Sejak Maret 1973 sampai dengan Juni (4 bulan) harga bahan naik hampiur 100 %. Bagaimana 6 bulan lagi? Dapatkah seseorang menolong saya keluar dari masalah ini?”
Sudjojono menerima uang Rp 3.500.000 untuk lukisan yang dikerajakan selama tujuh bulan pada tahun 1973 tersebut.
Kesetaraan bangsa
Ada semangat lain yang tak kalah penting diembuskan Sudjojono lewat lukisan itu. Iwan Kurniawan menangkap embusan napas kesetaraan dan kesederajatan bangsa-bangsa lewat penggambaran lukisan negosiasi antara JP Coen dan utusan Sultan Agung, yaitu Kyai Rangga, di bagian akhir lukisan.
”Sudjojono pada akhirnya lewat lukisan ini menyampaikan pesan-pesan perdamaian, kesetaraan, dan semangat nasionalisme,” kata Iwan.
Hanya ada dua sketsa untuk lukisan negosiasi antara JP Coen dan Kyai Rangga. Di situ diperlihatkan perbedaan gestur tubuh yang tajam. JP Coen dengan kostum spesifiknya sedang berkacak pinggang, sedangkan Kyai Rangga bersidekap tenang.
Sudjojono menunjukkan pancaran wajah Kyai Rangga yang sejuk itu meredam karakter JP Coen yang arogan. Bersedekapnya Kyai Rangga ditunjukkan pula untuk menyatakan sikap yang tidak rendah diri.
Sudjojono menunjukkan sikap kearifan budaya Timur lewat gestur tubuh Kyai Rangga. Gestur tubuh JP Coen direfleksikan sebagai bentuk kapitalisme Barat dengan napsu kekuasaannya.
Kedua tokoh yang sedang bernegosiasi itu berdiri sama tinggi. Ini simbolisme persamaan derajad bangsa yang begitu deras terasa. ”Sketsa-sketsa ini memberi pengetahuan penting bagi generasi perupa sekarang. Riset untuk sebuah karya itu menjadi sangat penting,” tutur Iwan.
Tidak terelakkan, peristiwa sejarah banyak menerbitkan amarah terhadap penjajah atau kolonial. Akan tetapi, Sudjojono mengajarkan seusai peristiwa pedih-perih itu seharusnya mampu melupakan persengketaan dan menuju hidup berdampingan.
Sejarah semestinya tidak untuk mengajarkan kebencian. Seni rupa bukan pula sekadar imajinasi atas suatu keindahan yang kosong.