Narasi Melahirkan Seni Visual
Dari sebuah narasi sosial mampu melahirkan keunikan yang muncul lewat pameran tunggal seni rupa karya perempuan bugar Tjutju Widjaja berusia 80 tahun di ruang seni Selasar Sunaryo.
Perhelatan seni rupa Bandung Art Month ke empat tahun 2021 kembali digelar. Keunikan serta kebaruan dinanti khalayak. Dari sebuah narasi sosial ternyata mampu melahirkan kedua hal itu dan satu di antaranya muncul lewat pameran tunggal seni rupa karya perempuan bugar Tjutju Widjaja berusia 80 tahun di ruang seni Selasar Sunaryo.
Tjutju begitu ramah dan senang sekali bercerita. Perempuan kelahiran tahun 1941 di Bandung itu memulai kisah di masa kecil sekitar usia tujuh hingga delapan tahun, sekitar tahun 1948 – 1949.
Ketika itu ia diajak ibunya mendatangi sebuah kelenteng khusus perempuan di Bandung. Ibunya ingin menengok seorang teman yang sedang bermasalah dengan suami dan kehidupan rumah tangga mereka, yang kebetulan pergi dari rumah dan ditampung di kelenteng itu.
Tjutju tidak menyangka bisa menemui anak-anak seusianya tinggal pula di kelenteng. Pelan tapi pasti, Tjutju akhirnya mengetahui cerita tentang nasib mereka sebagai anak perempuan buangan yang kemudian ditampung di situ.
“Dulu ada keyakinan jika sebuah keluarga memiliki dua anak perempuan, dan lahir kembali anak ketiga perempuan juga, maka anak terakhir ini sebaiknya dibuang. Ada juga karena berbagai alasan lain, anak perempuan bisa benar-benar dibuang di tempat sampah, dan pengelola kelenteng mau memungut dan merawatnya,” kenang Tjutju dalam perbincangan melalui telepon, Kamis (26/8/2021) pagi menjelang siang.
Tjutju tumbuh di lingkungan keluarga pengusaha di Bandung. Ia pun berdagang seraya merawat ingatan akan kelenteng perempuan itu dan sesekali terus menyambanginya.
Menangis
Anak-anak perempuan di kelenteng tumbuh menjadi pendeta yang melayani umat dan mengajarkan kebaikan lewat ajaran Konfusianisme, Taoisme, atau Buddha. Mereka hidup selibat atau tidak menikah. Tjutju kerap bicara akrab dengan mereka sampai menyinggung soal anak buangan.
“Mereka tahu dan menyadari sebagai anak buangan. Akan tetapi, mereka sudah terbebas dan tidak mendendam terhadap keluarga yang meninggalkan hingga mau hidup melayani umat dengan penuh welas asih. Saya menangis ketika mendengar itu,” ujat Tjutju, yang di tahun 2003 atau di usia 62 tahun memutuskan menjadi mahasiswa di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha di Bandung.
Tjutju menyelesaikan studi S-1 pada tahun 2008. Setelah lulus, Tjutju langsung melanjutkan jenjang studi S-2 di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) dan selesai di tahun 2010.
Tidak terhenti di situ. Pada 2017 – 2020 Tjutju kembali melanjutkan jenjang studi S-3 di ITB dan dinyatakan lulus sebagai doktor dalam usia 79 tahun dengan disertasi berjudul, Representasi Feminisme Kelenteng Perempuan dan Zhai Ji di Bandung. Zhai Ji bermakna sebagai pendeta perempuan yang tinggal di kelenteng perempuan.
“Saya menjadi lulusan doktor seni rupa ITB yang paling tua,” ujar Tjutju sambil tertawa.
Ketika ditanya alasan atau motivasi menempuh studi seni rupa, Tjutju spontan menjawab. Ketika itu Tjutju ingin mengembangkan berdagang kaca gravir dan di situ ada seni di dalam teknik membuat gravir di kaca.
Tjutju selama ini menekuni kaligrafi dengan huruf China. Ia terinspirasi kisah Dinasti Sung di China yang banyak berkembang seni kaligrafi sebagai ungkapan isi hati. Pada 2010 Tjutju pernah memenangi sebagai juara kedua kompetisi internasional kaligrafi China di Shanghai.
Tjutju juga aktif di perhimpunan seniman kaligrafi. Sekarang ia menjadi Ketua Kehormatan Perkumpulan Kaligrafi Indonesia yang beranggotakan sekitar 120 seniman kaligrafi dari berbagai wilayah di Indonesia.
Sumarah
Sejalan dengan rangkaian pameran seni rupa Bandung Art Month ke empat, Tjutju menghadirkan 16 karya lukisan abstrak bertitik tolak dari seni kaligrafi huruf China untuk pameran tunggal di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), 3 Agustus hingga 5 September 2021. Kurator pemangku SSAS Heru Hikayat membingkai semangat karya Tjutju sebagai semangat Sumarah, semangat penuh penyerahan dan penerimaan diri secara ikhlas.
Heru menautkan semangat Sumarah dari karakter tokoh perempuan Sri Sumarah dalam cerpen karya Umar Kayam. Karya itu pernah diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1986.
Para perempuan di kelenteng perempuan dalam imajinasi Tjutju itulah pemilik semangat Sumarah. Tjutju menghayati itu.
Heru memangkap sebuah keunikan “modus operandi” atau cara berkarya bagi Tjutju yang berpijak dari semangat Sumarah ini. Di dalam catatan kuratorial pameran yang diberi tajuk, Sumarah, itu Heru menuangkan proses Tjutju melukis dan menjadi karya yang kemudian diberi judul, Brave (Berani).
Peristiwa Tjutju melukis itu terjadi pada 9 Juni 2021 di Selasar Sunaryo dan direkam menjadi video. Tjutju menggelar sebuah kanvas berukuran dua kali tiga meter persegi yang dilapisi kertas xuan, kertas khusus untuk kaligrafi China. Ia mempersiapkan tiga wadah tinta china dengan tingkat kekentalan berurutan dari encer, sedang, dan pekat.
Tjutju mulai membuat kaligrafi dengan tinta paling encer dengan kuas kecil. Ia menulis dengan aksara China yang bermakna takut, takut sekali, sedih, tersendiri, bingung tak berdaya.
Tjutju melanjutkan tulisan berupa kalimat yang bermakna, “Waktu kecil papa mama tak ingin saya. Saya dibuang.”
Usai membuat kaligrafi itu, Tjutju menepi di pinggir kanvas yang digelar di lantai tersebut. Sesaat ia terdiam mengamati kanvas itu, lalu mengambil kuas lebih besar dan menyapu kaligrafi tadi dengan tinta dengan kekentalan sedang.
Setelah itu Tjutju mengambil kuas yang paling besar lagi. Ia mencelupkannya ke wadah tinta hitam legam dengan kekentalan paling pekat. Tjutju lalu menuliskan kembali di kanvas dengan aksara China yang berbunyi “yong gan”, bermakna berani.
Tjutju lalu berdiri di pinggir kanvas. Ia membungkukkan badan sebagai tanda karya itu sudah usai.
Heru menilai karya Tjutju sudah bukan lagi kaligrafi, tetapi sebagai sebuah karya lukisan abstrak kontemporer. Direktur SSAS Sunaryo melihat karya Tjutju sebagai letupan rasa tak berdaya dari kenangan masa lalu.
“Karya ini berpijak dari kenangan lokal, tetapi bunyinya internasional. Narasi sosial menjadi karya seni visual,” ujar Sunaryo.
Sunaryo berkisah tentang perjumpaan pertama kali dengan Tjutju di antara tahun 1973-1974, usai pernikahannya. Waktu itu Sunaryo datang ke toko Tjutju untuk membeli sebuah kompor dan mereka sempat berkenalan.
Perkenalan terus berlanjut, khususnya bagi isteri Sunaryo yang terus berinteraksi dengan Tjutju. Sunaryo mengetahui Tjutju tertarik terhadap seni rupa, tetapi Tjutju masih terlihat sungkan-sungkan untuk mengutarakan hal itu kepadanya. Sampai pada akhirnya Sunaryo merasa kaget ketika Tjutju berhasil meraih gelar doktor seni rupa di ITB pada tahun 2020.
“Saya kemudian menawarinya untuk menggelar pameran di Selasar Sunaryo. Saya ingin pula berkolaborasi melukis bersama Tjutju di satu bidang kanvas pada penutupan pameran, 5 September 2021,” ujar Sunaryo.
Baca juga : Bentara Budaya 39 Tahun Merawat Seni
Pameran Sumarah di Selasar Sunaryo beriringan dengan pameran-pameran seni rupa lain di Bandung. Penggagas Bandung Art Month, Rifky Effendi, menyampaikan, ada pula Trienale Fotografi Bandung pada 1 September – 10 Oktober 2021.
Pameran karya desain grafis ITB juga digelar di Galeri Ruang Dini bertema, Bermain di Dua Kaki. Ini dibuka pada 20 Agustus 2021 selama sebulan. Di Galeri Orbital Dago digelar pameran tunggal karya Zahra dengan judul, Quarantine Studies, 20 Agustus – 9 September 2021.
“Masih banyak lagi agenda pameran seni rupa di Bandung. Pokoknya, kami terus bergerak di tengah pandemi Covid 19,” ujar Rifky.