Selama pandemi, penggemar musik memilih ”streaming” genre-genre yang menimbulkan efek menenangkan tubuh.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Pandemi membuat raga mayoritas manusia di seluruh dunia harus menjaga jarak satu sama lain. Berkat keberadaan platform musik digital, telinga manusia tetap mampu berkelana ke seluruh dunia untuk mencari hiburan hanya dari rumah saja. Eksplorasi musik baru dan lama pun berlangsung.
Tahun lalu, sebuah fenomena menarik terjadi di Amerika Serikat. Alpha Data, penyedia data analitik untuk Rolling Stone Charts, menganalisis perilaku pendengar musik di platform pemutar lagu beraliran langsung atau streaming pada 2020 dibandingkan tahun 2019.
Alpha Data menemukan peningkatan streaming terbesar terjadi pada genre yang terlalu populer. Streaming genre-genre yang menimbulkan efek menenangkan tubuh, seperti Easy Listening (naik 39 persen), musik anak-anak (28 persen), dan New Age (27 persen).
Jika dibandingkan, kenaikan streaming musik pada genre yang lebih populer tidak terlalu signifikan, seperti hip-hop (11 persen), rock (12 persen), dan R&B (7 persen). Genre musik pop (1 persen) dan dance (2 persen) bahkan gagal bertumbuh selama 2019-2020. Adapun pertumbuhan genre country cukup baik, yakni 19 persen.
Temuan menarik lainnya adalah pendengar musik AS ternyata semakin tertarik mendengarkan genre lain. Streaming musik yang tergolong sebagai genre yang jarang didengar meningkat pesat, antara lain musik Latin (25 persen) dan subgenre-nya, Afrobeat (129 persen), serta K-pop (31 persen). Dengan kata lain, selera pendengar di AS mulai bervariasi.
Pandemi secara langsung atau tidak langsung mememengaruhi selera atau persepsi pendengar musik. Kritikus musik dari The Guardian, Alexis Petridis, misalnya, baru menyadari isi album The Soft Bulletin (1999) dari grup The Flaming Lips relevan dengan situasi tahun 2020.
”Hubungan kita dengan musik mungkin berubah selama kuncitara. Bukan hanya lagu-lagu tampak memiliki resonansi baru yang sesuai dengan situasi saat ini, musik yang secara tak terduga membuat Anda tertarik karena Anda merasa lagu itu sesuai dengan suasana hati: menghibur, membangkitkan, atau membawa (perasaan),” ujar Petridis.
Dalam buku Why You Like It: The Science and Culture of Musical Taste (2019), musisi Nolan Gasser menjelaskan, sosiologi memainkan peran penting terhadap selera musik seseorang. Seiring orang itu bertumbuh, selera musiknya juga membantunya untuk membentuk identitas individu.
”Musik menjadi sebuah pertaruhan bahwa ’inilah saya’. Ketika mereka tumbuh dewasa, musik itu akan menjadi bagian dari siapa mereka, terikat dengan kenangan dan tumbuh dewasa. Ini adalah mengapa musik sangat penting bagi kita,” ujar Gasser.
Gasser berpendapat, tidak peduli seberapa tua seseorang, manusia akan terus menemukan musik baru. Hal ini karena manusia sudah terprogram dengan canggih untuk memahami musik selama mereka memiliki pemikiran yang terbuka.
Kebangkitan nostalgia
Sementara itu, di negara-negara lainnya, pola streaming menunjukkan kecenderungan mencari musik nostalgia. Timothy Yu-Cheong Yeung, peneliti dari Centre for Legal Theory and Empirical Jurisprudence di Belgia, adalah contoh pendengar musik yang kembali mendengarkan lagu era tahun 1990-an, seperti Radiohead dan Blur, gara-gara pandemi.
Pada 2020, Yeung akhirnya meneliti tentang bagaimana pendengar Spotify mencari kenyamanan dengan mendengarkan musik nostalgia selama pandemi. Ia menganalisis data pemutaran lagu-lagu di Spotify dari enam negara Eropa.
Ia menemukan, meskipun pandemi dan penyebaran virus bukan penyebab utama, konsumsi musik nostalgia cenderung terjadi untuk merespons perubahan drastis akibat kuncitara.
”Emosi negatif itu beragam tetapi serupa dalam satu dimensi, yaitu menyakitkan sehingga membuat orang bereaksi, berubah, dan mencoba melawan perasaan negatif. Salah satu cara yang mungkin untuk memulihkan atau menghasilkan hal positif adalah mencari nostalgia yang mengingatkan orang akan masa lalu yang indah,” ujar Yeung.
Yeung menyimpulkan, temuan itu tidak hanya relevan bagi pendengar dan produser musik, tetapi juga pemangku kepentingan. Menurut dia, pusat perawatan, rumah sakit, toko, dan tempat musik dapat dimainkan harus mempertimbangkan efek positif dari memainkan musik nostalgia sebagai respons dari efek buruk pandemi.
Dorongan untuk mendengar musik nostalgia turut memicu kenaikan streaming musik country di Amerika Utara. Pada 2020, penyanyi Gabby Barrett memimpin di tangga lagu Country Streaming Songs Billboard berkat lagu ”I Hope” (2020), sedangkan streaming beberapa lagu dalam album What You See Is What You Get (2019) milik Luke Combs telah tembus 50 juta kali dengar.
Dikutip dari Time, para pengamat menilai kenaikan popularitas musik country terjadi karena perkembangan teknologi streaming. Ditambah lagi, lagu country mengandung semacam unsur nostalgia.
“Musik country itu autentik, dekat, dan memberi kenyamanan. Anda ingin berada di tempat yang terasa seperti rumah di saat dunia terasa tidak menentu,” ucap Brittany Schaffer, Kepala Pemasaran Artis & Label Spotify di Nashville.
Interaksi dengan musik
Sudah banyak studi membuktikan bagaimana musik bisa menimbulkan perasaan bahagia. Musik juga bisa berfungsi untuk membantu mengatasi stres, menghilangkan depresi, dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Studi yang dilakukan Max Planck Institute for Empirical Aesthetics, Jerman, menyelidiki perilaku penggunaan musik untuk mengatasi tantangan sosio-emosional selama pandemi. Tim peneliti mengumpulkan 5.000 responden dari enam negara di tiga benua saat kuncitara pertama selama April-Mei 2020, di antaranya Jerman, AS, dan India.
”Selama kuncitara, bukan musiknya, melainkan interaksi sadar dengan musik itu yang sangat penting dalam beradaptasi dengan situasi ini. Banyak responden mendengarkan musik sendirian dan, tidak seperti sebelumnya, tidak sambil melakukan hal lain,” kata Melanie Wald-Fuhrmann, Direktur Musik di Max Planck Institute for Empirical Aesthetics.
Dalam studi bertajuk Viral Tunes yang dirilis pada Juli 2021 tersebut, para peneliti menemukan lebih dari separuh responden menggunakan musik untuk mengatasi stres sosial dan emosional. Selain itu, responden yang memiliki emosi positif biasanya menggunakan musik sebagai pengganti interaksi sosial.
”Musik, dengan kualitasnya yang menghibur, berkontribusi untuk mengisi kekosongan emosional ini. Sering kali dalam lirik, panggilan ’kamu’ atau ’kita’ membuat pendengar merasa terlibat sebagai individu,” kata Wald-Fuhrmann.
Penelitian itu juga mengkaji genre coronamusic atau musik yang muncul untuk merespons pandemi virus korona, seperti lagu baru, daftar lagu, atau lagu yang diubah liriknya agar relevan dengan situasi saat ini. Mereka menemukan semakin responden tertarik, mendengarkan, atau membuat coronamusic, semakin mereka beradaptasi dengan situasi pandemi ini.
Karena itu, temuan itu menunjukkan respons kreatif yang aktual pada saat krisis terjadi menjadi sangat penting. Karya musik tentang pandemi atau virus korona ternyata berguna untuk memperkuat ketahanan individu dan komunitas. (Rolling Stone/NBC News/The Guardian/DW)