God Bless, Berkabar Lewat Lagu
Berkiprah selama 48 tahun, banyak peristiwa dilintasi band rock God Bless. Peristiwa-peristiwa itu dikabarkan lewat lagu, yang bakal menjadi penanda zaman.
Menyimak lirik-lirik lagu God Bless di beberapa album awal ibarat membuka lembaran surat kabar. Beragam isu hangat dikabarkan lewat nyanyian. Ada kisah soal eksekusi Kusni Kasdut, kerakusan penguasa, perjuangan hidup rakyat jelata, hingga perang yang tiada henti.
Koran, juga portal berita daring, punya rubrikasi berdasarkan topik. Ada rubrik politik dan hukum, rubrik perkotaan dan kriminal, rubrik berita internasional, rubrik kebudayaan, juga rubrik olahraga. Katalog lagu God Bless bisa dimasukkan ke rubrik-rubrik tersebut berdasarkan topiknya.
Mari kita mulai dengan lagu ”Kehidupan”, nomor pembuka album Semut Hitam (keluaran 1988). Lagu dengan beat padat yang musiknya dibuat Jockie Surjoprajogo ini dimulai dengan larik, ”Ku kejar prestasi itu/Seribu langkah ku pacu/(Cepat lari) Ya, aku lari.” Tokoh Aku berjuang sekuat tenaga untuk berlari, tetapi dia perlu menghela napas, ”(Ayo lari) Hei, hei, tunggu dulu…”.
Jeda dari lari itu menyiratkan masalah: ”Tak dapatkah sejenak/Hentikan ambisimu/Lihatlah peluhku/Tengoklah hatiku”. Apakah masalah yang disebut ”menyesak di dalam dada” itu? ”Susu anakku!” Inilah urusan konkret kebutuhan hidup masyarakat kecil.
Achmad Albar yang ikut merangkai kata-kata dalam lagu itu menceritakan, lagu ”Kehidupan” terkait dengan nasib para olahragawan yang seolah-olah selalu dituntut mencetak prestasi. Namun, kesejahteraan mereka tidak diperhatikan.
”Pemerintah jangan cuma maunya menggembleng saja, menuntut bekerja keras, tanpa memperhatikan penghidupan atlet,” kata Albar, pekan lalu. Kisah ini cocok masuk rubrik olahraga.
Baca Juga: God Bless Rumah Terberkati bagi Para Raksasa
Albar mengakui, tetes keringat atlet tak ada bedanya dengan kerja keras warga awam menjadi juara bagi keluarganya. Pergulatan rakyat jelata juga terpancar dalam lagu ”Bis Kota”. Memang, lagu ini tak masuk katalog God Bless, tetapi dari album solo Achmad Albar. Namun, God Bless sering mainkan lagu ini di panggung.
Albar menyanyikan larik ciptaannya, ”Memang susah jadi orang yang tak punya/Ke mana pun naik bis kota. Rakyat jelata digambarkan, berhimpitan, berdesakan, bergantungan… ’Tuk sekadar mencari tempat yang ada”.
Topik transportasi publik ini kerap mengisi rubrik perkotaan di koran. Kalau lagu ini berita surat kabar, akan ditempatkan di rubrik metropolitan atau kota.
Cerita dan gaya penulisan lirik lagu ”Bis Kota” lekat dengan gaya penceritaan God Bless era album Semut Hitam (1987) dan Raksasa (1989). Ini dikuatkan dengan pengakuan Donny Fattah, pemain bas. Dia mencuplik sebagian nada ”Bis Kota” jadi intro lagu ”Raksasa”.
”Yang disebut ’raksasa’, ya, para konglomerat itu. (Sebagian dari mereka) kekayaannya didapat dengan cara tidak halal, tetapi lagaknya bak pahlawan dan tidur berselimut nyaman,” kata Donny, pencipta lagunya. Cuplikan liriknya begini, ”Kau raksasa/Tidurmu lelap berselimut nikmat/Dunia ini semakin pengap”.
Konglomerasi era Orde Baru juga ada di lagu ”Tuan Tanah” di album Semut Hitam. Lirik lagu ini gamblang, ”Jangan paksa kami semua/Tanah yang subur jangan dibilang gersang”.
Pemberitaan media di sekitar tahun penerbitan album kerap mengangkat penggusuran besar-besaran untuk membangun Waduk Kedungombo.
Era transisi
Mundur ke belakang, album Cermin (1980) punya banyak kisah tajam. Salah satu lagu ciptaan Donny, ”Cermin”, terinspirasi dari album opera rock Tommy karya band Inggris The Who.
”Saya merasakan cerita Tommy itu dekat dengan yang sedang terjadi di sini, yaitu peralihan kekuasaan. Era transisi, kok, sampai harus memakan korban. Ada yang dibunuh, dipenjara, juga harus seragam,” kata Donny yang berlatar keluarga militer ini.
Pada era transisi itu, Donny sering turun berdemonstrasi daripada duduk di kelas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di rumah, dia dengar lagu-lagu The Beatles atau Rolling Stones, yang menurut dia beraroma liberalisme idaman banyak kaum muda ketika itu. Grup Koes Bersaudara yang dianggap kebarat-baratan jadi korban antiliberalisme ala pemerintah Orde Lama.
Baca Juga: Sepenggal Wajah Rock Negeri Ini
Memori itu membekas di benak Donny hingga ia tuangkan dalam lagu ”Cermin” yang ia tulis antara 1977-1978 ketika era industrialisasi gaya Orde Baru justru diwarnai kerusuhan Malari tahun 1974. Militer Indonesia juga baru saja menduduki Timor Timur (kini Timor Leste).
Cerita transisi penguasa dan pergeseran ideologi makin gamblang menjelang akhir lagu. ”Dengan senjata di tanganmu/kau hancurkan dunia/Mitos, ego, lambang marxis membangkitkan jerit tangis”.
God Bless mempertahankan kata marxis di rezim yang ketika itu sangat alergi pada hal-hal yang berbau kiri. ”Itulah ciri-ciri anak muda 20-an tahun; dinamis, enggak banyak mikir, mahasiswa yang memberontak. Rock adalah panggungnya,” kata Donny.
Di album Cermin juga ada lagu ”Selamat Pagi Indonesia” yang musiknya dibuat Ian Antono. Penulis lirik Theodore KS menceritakan peristiwa eksekusi gembong perampok Kusni Kasdut, yang bagi sebagian orang justru seperti Robin Hood. Liriknya puitik, ”Di bibirnya terlukis senyum/Yang yakin akan kebenaran/Matanya berbinar dalam keredupan”.
Selain menyoroti isu dalam negeri, God Bless juga berulang kali mengambil tema-tema internasional. Simak saja lagu ”Maret 1989” dari album Raksasa. Lagu itu tentang gonjang-ganjing di Timur Tengah yang dipantik oleh buku Satanic Verses karya Salman Rushdie. ”Isu itu sedang jadi omongan di mana-mana. Kami juga agak tersinggung dengan karya Rushdie itu,” ucap Donny.
Di luar isu sosial dan politik yang hangat, God Bless punya lagu yang meneguhkan jalan mereka sebagai musisi rock. Album perdana bertitel God Bless memuat ”Rock di Udara”. Lagu glorifikasi musik di sebuah album pertama menggambarkan tekad kuat mereka mengepakkan sayap rock tinggi-tinggi.
Lagu bernuansa serupa juga ada di album Cermin berjudul ”Musisi” ciptaan Donny. Menurut Abadi Soesman, yang bergabung dengan God Bless di album ini, lagu tersebut meneguhkan jalan hidup mereka, merefleksikan sikap God Bless. ”Betul-betul filosofi bahwa musik tak terpengaruhi hal lain. Tugas (musisi) adalah berkarya. Kami habis-habisan di situ,” kata Abadi.
Baca Juga: Saksikanlah Artis-artis Kita
Kelak, lagu ”Musisi” dan ”Rock di Udara” jadi lagu wajib banyak kompetisi band rock. Keteguhan pilihan hidup mereka ketika itu berandil mencetak band-band rock berkualitas.
Mulai hari ini
Penulisan lirik yang melihat persoalan dari jarak dekat seperti itu terasa beda pada lagu-lagu mereka di milenium baru. Pada 2009, God Bless merilis album 36 Tahun dengan singel jagoan ”N.A.T.O.”, singkatan dari no action talk only.
Lagu itu diedarkan dua bulan menjelang kontestasi Presiden RI yang dimenangi Susilo Bambang Yudhoyono. Begini cuplikan refrain lirik yang ditulis Cahya Sadar, ”Yo ayo sebaiknya kita mulai beraksi/Yo ayo daripada ngritik tanpa solusi”.
Di masa pandemi, God Bless merilis lagu ”Untuk Indonesiaku” yang liriknya adalah warisan mendiang Areng Widodo, khusus untuk God Bless sehari sebelum dia tutup usia. Lagu itu diedarkan secara digital pada 18 Agustus 2020.
Lagu teranyar mereka adalah ”Mulai Hari Ini” keluaran Mei 2021, yang sebelumnya pernah muncul sekilas di film bernuansa religi Alangkah Lucunya Negeri Ini (2010) karya sutradara Deddy Mizwar. Lagu yang dibuka dengan penggambaran proses berwudu ini seperti litani.
Ian bilang, tema lagu itu pas dengan kondisi zaman sekarang ketika banyak orang kalut dan cemas oleh wabah penyakit. ”Sebenarnya banyak kok lagu God Bless bertema spiritual. Nama bandnya saja God Bless, berkah Tuhan. Ya, memang, kami enggak bisa membicarakan masalah ketuhanan terus, nanti jadi band religi, dong,” seloroh Ian.