Sepenggal Wajah Rock Negeri Ini
Meski tidak selalu jernih, perjalanan industri rock di Indonesia bisa jadi cermin untuk melihat sepenggal wajah Indonesia.
Industri rock Indonesia berjalan seiring manis-getirnya dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Boleh dikata, rock adalah cermin yang bisa dipakai untuk melihat sepenggal wajah negeri ini.
Awal 1960-an, Heriyanto masih sering mendapatkan kiriman piringan hitam mini berisi lagu-lagu rock Barat terbaru dari pamannya yang bekerja sebagai diplomat di Beirut, Lebanon. Lewat piringan hitam itulah Heri mengikuti perkembangan band-band rock Barat. Namun, pada 1964 kiriman piringan hitam dari pamannya terhenti seiring kian runcingnya perseteruan Presiden Soekarno dan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris.
”Waktu itu negara-negara Barat mengucilkan Bung Karno. Bung Karno membalas dengan memblokir semua hal yang berbau budaya Barat,” cerita Heri yang saat itu baru kelas V SD, Kamis (19/8/2021).
Apa pun yang berbau Barat, lanjut Heri, dianggap simbol imprealisme sehingga dimusuhi. Piringan hitam, sepatu tinggi ala The Beatles, dan celana yankee dirazia di jalan-jalan. Pertunjukan musik dengan lagu-lagu Barat dilarang. ”Penggemar musik Barat seperti saya hanya bisa mendengar lagu-lagu rock di rumah pakai piringan hitam atau lewat radio BBC, Hilversum Belanda, dan Radio Australia,” tambah Heri.
Situasi berubah 180 derajat ketika Orde Baru berkuasa pada 1966. Rezim baru justru membuka pintu seluas-luasnya untuk ekspansi investasi asing dan produk budaya Barat, termasuk musik. ”Meski sedih Bung Karno jatuh, tetapi saya mengalami euforia dengan masuknya lagi musik Barat,” kata Heri.
Selanjutnya, realitas sosial, politik, dan ekonomi baru benar-benar merangsang maraknya popularitas musik popular Barat pada tahun-tahun berikutnya. Terlebih saat itu mulai ada teknologi kaset yang lebih murah untuk mendistribusikan musik. Musik Deep Purple, The Beatles, The Rolling Stones, Genesis, Queen, Black Sabbath, dan Led Zeppelin digilai anak-anak muda perkotaan. Festival-festival musik muncul lagi di awal tahun 1970-an seiring menguatnya etos baru konsumerisme.
Dalam situasi seperti itu, sejumlah band rock Indonesia lahir, seperti SAS, Giant Step, AKA, Rhapsodia, God Bless, dan The Rollies. Kecuali Giant Step, band-band rock pada era itu hampir semuanya memainkan lagu-lagu Barat di atas panggung. God Bless, misalnya, biasa memainkan lagu-lagu Deep Purple, Genesis, Kansas, atau Easy Beast.
”Semakin mainnya mirip dengan band Barat yang ditiru, semakin hebat. Dan, yang ditiru bukan cuma musiknya, tetapi juga kostum dan aksi panggung sampai nama band banyak yang dicomot dari band Barat,” ujar Dhani Pete, pelaku industri konser.
Bahkan, bentuk festivalnya pun ditiru. Pada 1973, ada festival Summer 28 di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang merupakan tiruan Woodstock. Band main di udara terbuka dan penonton menikmati musik semalam suntuk.
Menurut Log Zhelebour, promotor konser dan produser musik rock, zaman itu memang semangat industri rock kita baru sebatas meniru Barat. ”Band-band kita dulu nyanyi pakai bahasa Inggris dan pakai kostum ala band Barat meski main di pasar malam dengan panggung gedhek. Penonton senang saja karena yang mereka nikmati sensasi di atas panggung, bukan lagunya.”
Seiring waktu, band-band besar mulai menulis lagu sendiri, sebagian dengan lirik berbahasa Indonesia. God Bless termasuk di jajaran band besar yang sudah mengeksplorasi lagu dan musiknya sendiri sejak album pertama pada 1975. Kecenderungan itu berlanjut pada pertengahan era 1980-an dan seterusnya, antara lain, untuk memenuhi tuntutan ekspansi industri musik.
Log menceritakan, kebutuhan untuk membuat lagu sendiri dengan bahasa Indonesia makin mendesak karena saat itu masih ada anggapan rock tidak sesuai dengan ”kepribadian bangsa”. ”Saya mengalami pelarangan ketika menggelar konser duel God Bless-The Rollies tahun 1983 di Bali dengan alasan konser rock identik dengan gaya hidup Barat, dekaden, dan dekat dengan narkoba,” ujar Log.
Peristiwa itu mendorong Log untuk melawan dengan cara halus. Ia yakinkan band-band rock untuk membuat lagu berbahasa Indonesia. Supaya lebih cepat, ia menggelar Festival Rock 1984 serta memaksa penampil untuk menulis dan membawakan lagu sendiri dengan lirik bahasa Indonesia.
”Awalnya kedengaran wagu, tetapi lama-lama asyik juga dan diterima publik. Lebih penting lagi, tidak ada alasan bagi penguasa untuk melarang konser rock karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Kita pakai bahasa Indonesia lho, ha-ha-ha,” tutur Log.
Bermunculannya lagu-lagu rock berbahasa Indonesia ternyata membuka aneka kemungkinan baru yang tidak terduga sebelumnya, baik secara politik maupun industri. Lagu rock berbahasa Indonesia membuat rock lebih membumi dan mudah diterima di semua kelas masyarakat.
”Bagaimanapun penggemar rock itu tadinya sebatas anak muda kelas menengah ke atas. Dengan lagu berbahasa Indonesia, rock bisa menyebar ke kelas bawah di kota-kota kecil yang lebih dulu digarap dangdut. Tanpa materi lagu-lagu rock berbahasa Indonesia, saya enggak mungkin bisa konser ke kota-kota kecil di seluruh Indonesia sampai era Jamrud tahun 2000-an,” kata Log.
Merekam Indonesia
Selain meleburkan sekat-sekat kelas di kalangan penggemar musik, lirik berbahasa Indonesia membuat band-band rock lambat laun peka menuturkan berbagai fenomena sosial politik lewat lagu. Mereka bercerita mulai dari perang, semangat nasionalisme, ketimpangan sosial, kerakusan penguasa, preman, bahasa prokem, hingga gaya hidup hedonistik kaum muda metropolitan yang diwarnai narkoba dan minuman keras.
Menyimak lirik-lirik lagu God Bless pada beberapa album awal, misalnya, kita seperti membuka lembaran koran dengan berita-berita aktual. Ada isu hukum tentang eksekusi Kusni Kasdut (”Selamat Pagi Indonesia”), isu perkotaan dan konglomerasi (”Raksasa” dan ”Tuan Tanah”), tentang konglomerasi, isu internasional (”Maret 1989”), nasib olahragawan (”Kehidupan”), kegalauan di era transisi kekuasaan (”Cermin”), hingga soal bahasa prokem anak muda (”Ogut Suping”).
Umumnya lirik lagu-lagu God Bless sebatas mengungkap persoalan sosial dengan bahasa puitis, tanpa menuding langsung ke wajah penguasa. Dengan begitu, God Bless relatif aman dari tindakan represif penguasa Orba.
Berbeda dengan Slank, Iwan Fals—termasuk ketika bersama Swami dan Kantata Takwa—serta Elpamas yang mengkritik secara langsung perilaku penguasa rezim Orba atau kroninya. Selain menyodorkan lagu-lagu cinta, Slank mempersoalkan ketimpangan sosial, kondisi perpolitikan, perilaku rakus penguasa, dan mafia politik dengan idiom-idiom yang keras, antara lain, lewat lagu ”An +.=+.’~>” (1991), ”Cekal” (1993), dan ”Bang Bang Tut” (1996). Setelah era Orba berakhir, Slank masih terus membuat lagu berlirik kritis, termasuk lagu ”Gosip Jalanan” (2004) yang nyaris digugat para anggota DPR yang merasa dilecehkan.
Swami menyorot perilaku penguasa dan sistem politik di Indonesia yang menindas lewat dua lagunya yang fenomenal, yakni ”Bento” dan ”Bongkar” (1989). Lagu ”Bento” sering diasosiakan dengan singkatan ”Benteng Soeharto”. Sementara itu, Elpamas menyoroti ambisi Soeharto yang tetap ingin bertahan di kursi kekuasaan lewat lagu ”Pak Tua” (1991). Lagu yang meledak di pasaran itu diciptakan Pita Haeng—nama samara Iwan Fals. Karena lagu-lagu kritis itu, Slank, Iwan Fals, Swami, dan Elpamas pernah kena sensor, bahkan pencekalan.
Tradisi merekam peristiwa dan mengkritik lewat lagu berlanjut di era band rock berikutnya. Seringai, misalnya, menyoroti fenomena kelompok politik yang suka menghakimi pihak lain dengan mengatasnamakan Tuhan lewat ”Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)”. Sementara Navicula mempersoalkan kerusakan lingkungan lewat lagu-lagunya.
Industri musik, termasuk rock di Indonesia, memang tidak berjalan di ruang hampa. Ia diwarnai dan dalam beberapa hal ikut mewarnai dinamika sosial politik yang terjadi pada masyarakat di setiap rezim di setiap era. Karena itu, meski tidak selalu jernih, ia bisa jadi cermin untuk melihat sepenggal wajah Indonesia. (DOE/BAY)